Fase Pemikirin Ghuluw Syaikh Ahmad bin Umar Al-Hazimi

Fase Pemikirin Ghuluw Syaikh Ahmad bin Umar Al-Hazimi - Kajian Medina
Fase Pemikirin Ghuluw Syaikh Ahmad bin Umar Al-Hazimi

Masih ingatkah dengan kasus yang terjadi beberapa bulan lalu berkaitan dengan masalah takfir ekstrem? Ya, takfir ekstrem hingga level tiga yang digaungkan oleh Syaikh Ahmad bin Umar Al-Hazimi. Kasus ini pun menyebabkan perpecahan di kalangan intern IS karena ada beberapa ulamanya yang berpendapat demikian. Hal ini bertentangan dengan pendapat Syaikh Turki Bin’ali, mantan murid Syaikh Al-Maqdisi yang menjadi ulama IS.

Syaikh Turki Al-Bin’ali sendiri berpendapat tidak ada alasan (udzur) atas kekafiran karena syirik akbar. Artinya, ahlu kiblat atau orang yang telah bersyahadat, lalu melakukan syirik akbar, seperti berdoa kepada mayit di kuburan, maka ia telah kafir. Namun, mantan murid Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi ini tidak mengafirkan orang yang memberi udzur pelaku syirik akbar karena ketidaktahuan. Pendapat inilah yang kemudian menuai kontra. Pada akhirnya, ada dua kubu yang berbeda pendapat dalam masalah kafir tidaknya pemberi udzur pelaku syirik akbar ini:

1. Kelompok pertama mengafirkan orang yang memberi udzur (tidak mengafirkan dengan alasan tertentu) pelaku syirik akbar. Kemudian, orang yang tidak mengafirkan orang yang memberi udzur pelaku syirik akbar tersebut juga divonis kafir oleh kelompok ini. Jadi, ini merupakan kekafiran berantai sampai tiga tingkatan. Kelompok inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Ahmad Al-Hazimi, yang dikenal sebagai ulama asal Arab Saudi.
2. Kelompok kedua, tidak menerima alasan (udzur) bagi pelaku syirik. Namun tidak mengafirkan orang yang memberi udzur (tidak mengafirkan dengan alasan tertentu) pelaku syirik.Kelompok ini dikuatkan oleh Syaikh Turki Al-Bin’ali.

Beberapa hal yang membuat rasa penasaran adalah identitas Syaikh Ahmad bin Umar Al-Hazimi. Sebenarnya ia dikenal sebagai ulama salafi Saudi yang unggul dalam ilmu bahasa dan ulumuddien. Namun, sungguh mengherankan jika ia mempunyai pemahaman takfir yang begitu ekstrem. Sebenarnya siapakah ia? Dan bagaimana fase pemikiran “ghulluw fi takfir” yang ia pahami?

Mengenal Syaikh Ahmad bin Umar Al-Hazimi

Syaikh Ahmad bin Umar Al-Hazimi adalah ulama dari Mekah. Ia merupakan salah satu ulama yang dikenal mempunyai ilmu yang luas dan  bermanhaj salafi. Ulama Saudi ini sudah menikah tetapi sampai sekarang belum diberi rezeki keturunan oleh Allah SWT.

Ia belajar dari Sheikh Muhammad Ali Adam dari Ethiopia dan kepada ahli ilmu yang lainnya selama 20 tahun  di Dar Al-Hadist di Makkah Al-Mukarromah. Al-Hazimi yang kesehariannya mengajar di Jami’ah Badr di Makkah ini mempunyai banyak sekali tulisan yang dijadikan bahan ajar dan tercatat di semua ilmu-ilmu syariah dan yang berkaitan dengan ilmu alat.

Syaikh dari Makkah ini menyelesaikan program sarjana di Universitas Ummul Quro spesialisasi kitab dan sunnah.Setelah lulus dari Ummul Quro, ia tidak pernah memegang pekerjaan baik pekerjaan pemerintahan maupun swasta melainkan hanya untuk thalabul ilmi. Akan tetapi dalam periode akhir ia menjadi seorang imam sekaligus khatib di Masjid Badr yang merupakan lingkungan  makmur di Mekkah.

Beberapa ulama yang menjadi gurunya adalah Syaikh Muhammad Khadir Asy-Syinqitiy, Syaikh Saidiy Habib Asy-Syinqitiy, Syaikh Muhammad Amin Harari, Syaikh Muhammad Usman, Syaikh‘Abdurrahman ‘Ajlan, Syaikh Ahmad bin Hamid, Syaikh Abdul Karim Al-Khudoir, Syaikh Utsaimin dan ulama-ulama yang lain.

Al-Hazimi juga memiliki situs resmi yang berisi  matan-matan ilmiyah, seperti Ushulu Tsalatsah, Kasyfu Syubhat, Kitabu Tauhid, Aqidah Wasathiyah, Alfiyah Ibnu Malik dan masih banyak lagi. Begitulah sekelumit hal yang dapat kita ketahui dari latar belakang Syaikh Al-Hazimi yang begitu kental dengan dunia keilmuan dan para masyayikh. Keilmuannya tidak diragukan lagi bahkan ia digadang sebagai ahli bahasa. Namun, tidak ada gading yang tak retak. Serentetan keilmuan yang ia miliki ternyata ada beberapa hal pemahamannya yang ghuluw.

Fase pemikiran “ghulluw fi takfir”  Syaikh Al-Hazimi

Akar pemikiran Syaikh Ahmad bin Umar Al-Hazimi sebenarnya bersumber dari Al-Haddadiyah Al-Madkhaliyah dan Al-Jamiyah. Ketika Al-Hazimi menjadi sosok yang unggul dalam disiplin ilmu bahasa,  apa yang tidak diketahuinya menjadi akar permasalahannya. Ia banyak mempengaruhi orang lain dalam berbagai macam permasalahan dengan memperindah pendapat tersebut dengan ilmu bahasa yang dimilikinya. Mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan mempengaruhi pemikiran orang awam yang baru beriltizam, serta membuka pemikiran mereka agar mau menerima pandangannya yang ghuluw.

Sebuah tulisan oleh Abu Abdurrahman At-Tunisi dalam Mimbar At-Tauhid wal Jihad memberikan beberapa keterangan tentang Syaikh Al-Hazimi. Ia, menjelaskan fase-fase pemikirannya dalam masalah ghuluw di dalam memvonis kafir. Paparan lebih jelasnya adalah berikut ini:


Al-Bazmul, pengganti Rabi’ Al-Madkhali, dalam salah satu klip audio yang diunggah di youtube menceritakan bahwa—antara Al-Bazmul dan Al-Hazimi selisih sekitar sepuluh sampai dua puluh tahun—Al-Hazimi adalah pengikut Mahmud Al-Hadad Al-Misri. Sedangkan Al-Hadad adalah sosok yang selalu mengikuti sikap Al-Madkhali dalam hal ghuluw ketika menvonis bid’ah, walaupun kemungkinan timbul perselisihan.  Salah satu sumber yang terpercaya mengatakan bahwa Al-Hazimi masih mengakui kepada khalayak bahwa ia adalah pengikut Al-Haddad sampai sekarang. Mereka ini dikenal juga dengan kelompok yang suka berdebat tentang hukum seputar thaghut.

Maka perkembangan pemikiran Al-Hazimi bisa dikatakan berada dalam aliran Al-Haddadiy Al-Madkhali Al-Jami. Oleh karena itu layaknya pemikiran al-Madkhali, ia sangat ghuluw dalam membid’ahkan orang di sekitarnya. Di antaranya adalah:
  • Membid’ahkan setiap pelaku bid’ah secara mutlak tanpa ada pengecualian dan kriteria yang jelas.
  • Melarang untuk memanggil dengan sebutan imam bagi ahlu ilmu yang masih melakukan bid’ah dalam aqidahnya, karena laqab syar’i tersebut tidak mutlak untuk semua yang alim, padahal bersamaan dengan itu ia menyatakan dirinya sebagai imam. Sehingga terlihat seolah-olah sebutan imam menjadi tidak syar’i jika dinisbatkan kepada ulama seperti an-nawawi.
  • Al-Hazimi menyalahkan pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa meng-hajer ahlu bid’ah karena tinjauan maslahat dan mafsadat. Alasannya karena menyelisihi para salaf. Semua ini berakar pada pemikiran Al-Madkhali. Seandainya ia (Al-Hazimi) mau melihat kembali kitab Majmu’ Fatwa jilid 28 secara utuh, tentu akan jelas persepsi buruknya atas pendapat Ibnu Taimiyah.

Semua pemikirannya bersumber dari kelompok Al-Haddadiyah, dan termasuk juga pemikiran ghuluwnya dalam masalah udzur bil jahl terhadap persoalan kesyirikan. Kemudian menganggap pendapatnya tersebut sebagai ijma’ sehingga yang menyelisihinya divonis murji’ah. Dan mereka tidak mengingkari hal ini.

Menuduh orang yang menyelisihi pendapatnya dengan irjai’, padahal belum ada yang memunculkan vonis tersebut sebelum masa Abdul Majid As-Syadzili al-Mishri. Orang yang memopulerkan vonis tersebut adalah penulis kitab Al-Jawab Mufid Fi Hukmi Jahil Tauhid, yaitu Abu Abdullah Abdurrahman bin Abdul Hamid. Kitab tersebut adalah risalah yang ketiga belas dari Majmu Aqidah Muwahidin karya Al-Ghamidi. Sebenarnya nama Abu Abdullah Abdurrahman bin Abdul Hamid hanyalah nama pinjaman saja, karena penulis yang sebenarnya adalah Thoriq Abdul Halim, ia merupakan salah satu murid Abdul Majid As-Syadzili yang cukup berprestasi.

Maka tak heran jika Al-Hazimi menvonis orang yang menganggap adanya udzur bil jahl dalam kesyirikan sebelum datangnya hujjah—berdasarkan ketentuan yang disepakati—dengan vonis Al-Jurjasah dinisbatkan kepada Ibnu Jirjis. Walaupun (mereka yang memberi udzur tersebut) menisbatkan perkataannya kepada pendapat Syaikh Utsaimin. Dan (anehnya) hingga saat ini, Al-Hazimi masih tetap memuji Syaikh Utsaimin dan tidak menganggapnya sebagai Al-Jurjasah, dan hal ini jelas berbau  kontradiksi. Inilah fakta yang membingungkan dari sikap Al-Hazimi.

Sebenarnya pandangan mereka yang dituduh sebagai irja’ berbeda jauh dengan pandangan Ibnu Jirjis sendiri, jauhnya bagaikan jarak antara langit dan bumi. Di antara hal yang paling menonjol adalah:


  • Para ulama yang menyelisihi pendapat Ibnu Jirjis, mereka adalah Syaikh Utsaimin, dan sebelumnya adalah al-Mu’alimi dan Abdul Razzaq Afifi dan As-Sa’di, sebelumnya lagi adalah Al-Alusi dan Al-Qasimi, kemudian sebelum mereka lagi adalah Ibnu Hazm dan Ibn al-Arabi dan Adz-Dzahabi, mereka mewajibkan takfir secara mutlak, karena berkaitan dengan syirik besar, sementara untuk vonis kafir secara personal baru bisa dilakukan setelah tersampainya hujjah baik melalui jalan dakwah atau dengan cara menegakkan hujjah secara langsung terhadap perorangan atau jamaah, jika memang dakwah belum sampai kepada mereka.
  • Bagi yang telah tersampaikan hujjah maka akan dihukum secara person, baik telah jelas kebenarannya kemudian ia membangkang atau tidak. Mereka melarang menvonis secara person jika belum sampai hujjahnya. Sedangkan Ibnu Jirjis,  pada dasarnya ia sudah tidak menganggap perbuatan syirik itu sebagai perbuatan kufur akbar, kemudian ia baru menetapkan syarat takfir mu’ayan, yaitu harus disertai dengan sikap membangkang.

Para ulama sudah membantah pemahaman tersebut, di antaranya adalah perkataan ijma’ yang dinukil oleh Ibnu Bittin, yaitu berdasarkan ijma’ ulama tidak ada syarat harus adanya pembangkangan terlebih dahulu dalam mengafirkan pelaku syirik akbar. Kemudian tanpa mencari benang merah dalam perbedaan tersebut, Al-Hazimi mengatakan bahwa orang yang menyelisihinya dengan kebodohan karena kebodohan dan kezaliman kepadanya. Selain itu, ia juga menempatkan perkataan ulama bukan pada tempat yang semestinya.

Fase Pemikiran Al-Hazimi tentang Udzur bil Jahl

Adapun fase tahapan pemikiran al-Hazimi dalam masalah udzur bil jahl sungguh sangat mengherankan. Pada awalnya ia mengatakan bahwa jahil (kebodohan) termasuk penghalang dari vonis kafir secara ta’yin kepada pelaku syirik akbar yang belum sampainya hujjah, merujuk kepada pendapat Ibnu Taimiyah. Kemudian ia menganggap pendapat tersebut sebagai pendapat yang syadz. Hal itu disebutkannya ketika mensyarah kitab Masailul Jahiliyah. Setelah itu, secara pelan-pelan ia mulai menghilangkan perkataan tersebut.

Kemudian dalam dauroh yang ia adakan di Mesir ada yang bertanya, bagaimana jika ada seorang santri yang baru menuntut ilmu menisbatkan pendapatnya kepada salah satu pendapat, atau taklid dengan salah satu pendapat ulama? Al-Hazimi mengatakan bahwa boleh bagi santri tersebut berpendapat seperti itu, ia tidak berdosa baginya meskipun ia hanya taklid kepada Syaikh Utsaimin saja, karena masalah tersebut adalah perkara khilafiah.

Kemudian setelah pendapat ini tersebar di Tunisia, ia malah menggembar-gemborkan pemikiran yang sebaliknya. Ia mengatakan bahwa kata-kata tersebut ia ungkapkan ketika menasehati salah satu muridnya tanpa menjelaskannya lebih rinci, karena kalau tidak mereka akan menuduh ia sebagai takfiri, atau ia akan percaya bahwa masalah ini adalah bagian dari ijma’. Kemudian ia berkata bahwa perkataan saya tersebut merupakan sebuah kesalahan dan saya bertobat kepada Allah serta akan menarik perkataan tersebut.

Al-Hazimi tidak bisa membedakan antara menyembunyikan beberapa kebenaran demi kemaslahatan dengan mencampur adukkan antara kebenaran dan kebatilan yang diyakininya. Kemudian ia memutuskan bahwa mereka yang memberi udzur karena kebodohan adalah kelompok jahmiyah dan murji’ah. Lalu ia mulai bimbang dengan konsep takfirnya ketika menyatakan bahwa perkataan Syaikh Sulaiman bin Abdullah dalam risalah Autsaqul Ural Iman dalam Bab “Barangsiapa yang tidak mengafirkan orang-orang musyrik maka ia kafir”, dan vonis ini bersifat umum.

Tidak ada kesimpulan lain dari perkataan tersebut kecuali dalam penerapannya, vonis tersebut hanya berlaku secara umum saja. Sebagaimana Al-Hazimi berkata bahwa Imam Sulaiman adalah imam yang ahli dalam bahasa Arab dan ilmu ushul, beliau paham dengan apa yang Imam Sulaiman inginkan dari perkataannya, termasuk pernyataannya yang memberi udzur bagi mereka yang menyembah kubur karena kebodohan. Sehingga Al-Hazimi keluar dari pendapat tersebut dan menganggap bahwa penyataan tersebut bukan dari perkataan Imam.

Pada saat itu Al-Hazimi mulai mengumpulkan dalil-dalil untuk membantah pendapat yang menyatakan adanya udzur jahil dalam kesyirikan. Kemudian ia menghadirkan empat puluh ayat Al-Qur’an dan dua puluh hadits yang menunjukkan kekafiran orang musyrik, termasuk juga di dalamnya orang-orang yang menyembah kubur. Dan semua dalil tersebut bersifat umum dan kesimpulannya pun juga umum. Selain itu tidak ada dalil yang menunjukkannya secara khusus.

Ibnu Taimiyah meniadakan kaidah ushuliyah ini, sebagaimana yang beliau tetapkan bahwa dalil umum itu akan berlaku secara mutlak atas keumumannya dan membutuhkan dalil lain yang menjelaskan kondisi tersebut dengan disertai syarat dan mawani’ (penghalang). Kemudian Ibnu Taimiyah mengeluarkan nash-nash yang menyebutkan tentang janji, ancaman, takbir, melaknat, vonis fasik atas kaidah tersebut.

Demikian juga para ulama salaf dalam mengafirkan kelompok jahmiyah dan mereka yang meyakini Al-Qur’an sebagai makhluk atau yang semisal dengannya dalam meniadakan sifat Allah. Mereka berpendapat bahwa kesalahan terjadi dalam memahami nash dan tidak memahaminya sesuai pemahaman para ulama, sehingga mereka dikafirkan secara mutlak berdasarkan keumuman. Adapun ketika mengafirkan secara personal, maka harus terpenuhi syaratnya dan hilangnya penghalang dari pelaku tersebut.

Sementara itu, Al-Hazimi menafikan perbedaan adanya pendapat sebagian ulama salaf secara mutlak. Perkataan kedua bahwa dalil umum tetap bermakna umum dalam setiap pendapat Al-Hazimi adalah,  perkataan yang masyhur dari kitab ushul fikih ahli kalam. Namun anehnya, Al-Hazimi juga menolak untuk mengkaji ilmu ushul fikih dari kitab-kitab ulama ahlu sunnah dalam permasalahan ini. Juga menolak setiap orang yang mengajak kepada arah tersebut, serta mengatakan bahwa baginya cukup dikatakan salah jika bertentangan dengan pendapat syaikhnya Muhammad Adam Al-Asyubi. Al-Hazimi pun enggan  menjelaskan pendapatnya sesuai yang telah ditulis dalam kitab ushul fikih para mutakallimin—karena dipandang memiliki aqidah yang salah—kecuali dalam permasalahan yang telah jelas.

Ia tidak mau mengambil ilmu aqidah dari ulama jazirah Arab meskipun ia mengenalnya. Bahkan dari Syarah kitab Al-Wasitiyah karya Al-Utsaimin dan Syaikh Fauzan sekalipun. Sehingga dalam pemikirannya kadang tidak berbeda dengan pandangan ahli kalam tanpa ia sadari. Hal ini karena ia juga senang mempelajari ilmu mantiq, sehingga ia hafal kitab Alfiyah.

Sumber : https://www.kiblat.net/2015/03/07/fase-pemikirin-ghuluw-syaikh-ahmad-bin-umar-al-hazimi-12/ (Sabtu, 7 Maret 2015 20:12)

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.