Lillahi Ta'ala
Lillahi Ta'ala (bag. 1)
Nolong orang jangan karena kasihan. Itu baik sih, tapi motif kasihan bakal menyebabkan kita sedikit nolong orang sebab rasa kasihan manusia itu banyak syaratnya; kudu sopan orangnya, kudu merendah, kudu ngenes banget kelihatannya, kudu bla bla bla.
Rasa kasian manusia bukan seperti sifat Rahim-Nya Allah, apalagi sifat Rahman-Nya yang keduanya ada tanpa syarat. Rasa kasian manusia itu temporer dan gak jelas ukurannya. Bila ini jadi patokan, maka gak jelas juga capaiannya.
Coba bayangin orang yang dikasihani ternyata bicaranya kurang enak, ngelihatnya kurang enak atau terima kasihnya kurang, maka bakal ilang tuh rasa kasian dan bakal gak jadi nolong. Kalau sudah terlanjur nolong, bakal kapok ngulangi nolong dia lagi sebab sudah gak bisa kasian.
Jadi, biar ibadah yang namanya nolong orang betul-betul maksimal, motifnya kudu berangkat dari niat lillahi ta'ala (karena Allah). Ketika Allah nyuruh kita nolong orang dan itu bisa dilakukan, ya kita laksanakan, tak peduli kita kasihan apa tidak pada orangnya, tak peduli orangnya cocok apa nggak pada kita. "Pokoknya gue harus nolong dia karena Allah merintah gue, terserah lah dia gimana", nah ini baru ucapan yang lillahi ta'ala.
Lillahi Ta'ala (bag. 2)
Ceritanya lagi jadi imam shalat nih. Niatnya lillahi ta'ala tentunya, karena Allah bukan karena siapapun. Tapi ketika baca fatihah dan surat di rakaat pertama dibaca pelan, mendayu-dayu dengan tartil yang indah. Giliran di rakaat ketiga dan keempat, bacaan fatihahnya cepet dan pokok asal baca. Eh itu bacaan yang bagus tadi karena didengar siapa? Kalau memang karena di dengar Allah agar dicatat sebagai ibadah sebab kita sudah membaca kalamnya dengan baik, maka Allah tetap mendengar bacaan kita di rakaat ke berapa pun.
Kalau lillahi ta'ala, harusnya sama dong antara didengar orang dan tidak, antara dilihat orang dan tidak.
Lillahi Ta'ala (bag. 3)
Ceritanya mau berdakwah menyebarkan agama. Tujuannya biar makin banyak orang paham agama. Makin banyak yang paham, maka makin sukses dakwahnya.
Eh ternyata ketika ada dai lain malah dianggap saingan. Bukannya makin banyak yang bantu makin baik buat dakwah? Kalau lillahi ta'ala mestinya berterima kasih banyak pada yang lebih sukses berdakwah sebab tugasnya sudah diambil alih. Kalau ada rasa iri dan persaingan, itu lillahi ta'ala atau apa?
Lillahi Ta'ala (bag. 4)
"Kasih aja lillahi ta'ala", artinya nyuruh ngasih sedikit.
"Saya kerja lillahi ta'ala", artinya digaji sedikit
Siapa ya yang pertama kali mengesankan kalau "lillahi ta'ala" itu konotasinya adalah duit sedikit? Pemahaman ini merasuk ke alam bawah sadar banyak orang hingga kalau mau sedekah lillahi ta'ala, pasti jumlahnya sedikit dan recehan. Ngasih banyak dikit saja sudah diinget seumur hidup kayak sudah baik banget. Tapi kalau ngeluarin duit bukan karena lillahi ta'ala, maka bisa habis-habisan.
Padahal Allah menjanjikan imbal balik kebahagiaan abadi yang sempurna sedangkan yang dicari di dunia cuma recehan.
Lillahi Ta'ala (bag. 5)
Ceritanya ngajar, jadi guru. Kalau ditanya niatnya, jawabannya lillahi ta'ala. Eh pas giliran muridnya nakal dikit, sewot marah-marah. Pas giliran muridnya gak sopan dikit pada tersinggung baperan seolah-olah lagi kena PMS.
Kalau betul lillahi ta'ala, bawa santai saja toh tugas guru menyampaikan ilmu sebaik mungkin, hasilnya Allah yang nentukan. Tugas guru membuat muridnya jadi lebih baik, bukan menagih kebaikan muridnya untuk dirinya sendiri. Nanti biar Allah yang balas semua jerih payah ngajar dengan cara Yang Allah suka di waktu yang Allah suka. Itu baru lillahi ta'ala.
Abdul Wahab Ahmad
6 Desember 2020 pada 20.30 ·