Hati-hati ‘Memasangkan’ Ayat
Al-Quran tidak hanya diturunkan untuk orang-orang yang beriman saja, tapi untuk seluruh manusia, mukmin dan kafir. Karena itu, Allah Swt terkadang menggunakan khitab: “Hai orang-orang beriman…”, dan terkadang menggunakan khitab: “Hai manusia…”. Kata ‘manusia’ bersifat sangat umum. Bahkan ada ayat yang secara khusus ditujukan untuk orang-orang kafir, sebagaimana dalam surat al-Kafirun.
Hanya yang perlu menjadi catatan adalah tidak semua ayat bisa ‘dipasangkan’ untuk semua orang. Ayat-ayat dalam surat al-Kafirun, misalnya, tidak bisa dan tidak boleh dipasangkan untuk orang-orang beriman, karena khitab di dalam ayat itu jelas tertuju untuk orang-orang kafir. Begitu juga, ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang beriman tidak bisa dipasangkan kepada orang-orang kafir. Demikian seterusnya.
Kesalahan dalam hal ini berdampak sangat fatal. Inilah yang menjadi faktor utama munculnya pemahaman Khawarij yang sejak dulu telah mendatangkan bencana terhadap umat Islam itu sendiri. Bahkan, sampai hari ini pemahaman seperti itu tetap ada, walau dengan nama dan bungkus yang berbeda.
Dalam Shahih Bukhari, Nafi’ maula Ibnu Umar ra mengatakan, Ibnu Umar melihat bahwa Haruriyyah (Khawarij) adalah makhluk Allah yang paling buruk (شرار خلق الله). Kenapa?
إنهم انطلقوا إلى آيات نزلت في الكفار فجعلوها على المؤمنين
"Mereka baca ayat-ayat yang turun terkait dengan orang-orang kafir lalu mereka pasangkan terhadap orang-orang beriman."
Contoh lain, hadits yang juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Suatu ketika ada seorang laki-laki datang menemui Ibnu Mas’ud. Ia berkata, “Saya melihat di masjid ada seseorang yang menafsirkan sebuah ayat dengan pikirannya semata. Ia menafsirkan ayat ini:
يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ
“Pada hari ketika langit membawa kabut yang jelas.”
Menurutnya tafsir ayat ini adalah pada hari kiamat nanti akan datang asap yang menyebabkan setiap manusia yang menghirupnya akan mati.”
Mendengar hal itu, Ibnu Mas’ud berkata: “Siapa yang memiliki ilmu tentang sesuatu silahkan sampaikan. Tapi siapa yang tidak tahu hendaklah ia mengatakan, “Allahu a’lam.” Diantara tanda seseorang itu berilmu adalah ia berani berkata “Allahu a’lam” untuk sesuatu yang tidak ia ketahui.”
Ibnu Mas’ud melanjutkan, “Ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang Quraisy yang tidak juga mau menerima dakwah Nabi. Nabi Saw kemudian mendoakan mereka menderita kekeringan seperti kekeringan yang terjadi di masa Nabi Yusuf. Mereka mengalami paceklik dan kesulitan hingga diantara mereka ada yang makan tulang-belulang. Karena begitu beratnya kondisi yang mereka alami, sampai-sampai diantara mereka ketika melihat ke langit seolah-olah ia melihat asap. Lalu Allah menurunkan ayat:
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ (الدخان : 10)
“Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang jelas.”
☆☆☆
Muncul pertanyaan, apakah ini artinya ayat-ayat yang turun berkaitan dengan orang-orang kafir itu kita abaikan begitu saja karena tidak ada sangkut-menyangkut dengan kita sebagai muslim? Kalau begitu, alangkah banyaknya ayat-ayat yang ‘dinganggurkan’ dan tidak perlu menjadi perhatian serius karena ia tidak ditujukan kepada kita?
Bagaimana dengan kaidah yang sangat populer :
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang menjadi patokan adalah keumuman redaksi bukan kekhususan sebab.”
Bagaimana pula dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab ra lebih suka makan makanan yang keras-keras. Ketika ada yang memberi saran, “Andaikan engkau pilih makanan yang lebih lunak dari ini,” ia berkata: “Aku takut pahalaku disegerakan.” Kemudian ia membaca ayat:
أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا ... (الأحقاف 20)
“Kamu telah habiskan kebaikan-kebaikanmu (rezeki yang baikmu) di kehidupan dunia…”
Padahal ayat tersebut jelas diturunkan berkenaan dengan orang-orang kafir. Tapi kenapa ayat ini dijadikan Umar sebagai pijakan untuk pilihannya?
Jawaban untuk hal ini tidaklah sederhana. Tapi secara umum bisa kita katakan bahwa yang dilarang sebenarnya adalah ‘memasangkan’ ayat-ayat yang turun berkaitan dengan orang-orang kafir kepada orang-orang beriman. Pemasangan yang mengabaikan asbabun nuzul, konteks (siyaq) ayat dan tafsir dari para ulama yang kompeten.
Tapi ini tidak berarti kita sebagai muslim bisa aman dari ancaman yang terdapat dalam ayat itu kalau kita ternyata memiliki sifat seperti sifat orang-orang kafir tersebut. Inilah yang dimaksud para ulama dalam kalimat padat penuh makna:
إِنَّ كُلَّ آيَةٍ وَرَدَتْ فِى حَقِّ الْكُفَّارِ فَإِنَّهَا تَجُرُّ بِذَيْلِهَا عَلَى عُصَاةِ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Setiap ayat yang turun berkenaan dengan orang-orang kafir maka sesungguhnya substansi dari ayat itu bisa ditarik untuk orang-orang mukmin yang bermaksiat.”
Kalimat تَجُرُّ بِذَيْلِهَا sangat halus dan padat. Mungkin padanan kata yang saya pilih dalam terjemahan di atas kurang pas. Kalimat ini lebih tepat dipahami dengan dzauq ‘arabi-nya.
☆☆☆
Kenapa masalah ini perlu diangkat? Karena ketika kita menyikapi satu fenomena, mengkritik satu pihak, atau mungkin menyerang kelompok yang berbeda, sebagian kita menggunakan ayat-ayat al-Quran sebagai rujukannya. Tapi terkadang asbabun nuzul ayat tersebut, siyaq-nya, turunnya terkait siapa, bagaimana tafsirnya dan seterusnya, sering kita abaikan. Apalagi pada masa-masa pilkada seperti saat ini. Tak jarang orang-orang yang memiliki background ilmu-ilmu syar’iy menggunakan ayat dan hadits untuk menyerang pihak yang berbeda dengannya. Padahal terkadang ayat dan hadits tersebut sangat tidak cocok untuk ‘dipasangkan’ pada objek yang ia kritik atau serang.
والله تعالى أعلم وأحكم
Yendri Junaidi
2 Desember 2020 pada 09.47 ·