Untuk Saudaraku Yang Baru ‘Hijrah’, Belajarlah Dulu…
Sebelum memasuki sebuah hutan belantara atau daerah yang sama sekali baru dan asing, bukankah seseorang mesti mempersiapkan segala bekal yang dibutuhkan? Baik berupa makanan, minuman, maupun perlengkapan kesehatan dan keselamatan. Kalau ada orang yang masuk ke sebuah hutan yang lebat atau mendaki gunung yang tinggi, tanpa membawa bekal apa-apa, bukankah wajar kalau ada yang berkata: ‘Nekad!’. Bahkan, tak salah juga jika ada yang komentar, “Cari mati…!”.
Tak cukup mempersiapkan bekal saja, orang itu juga mesti bertanya dan minta pendapat orang-orang yang pernah memasuki hutan atau daerah terpencil itu untuk mengetahui bagaimana karakteristik daerahnya, apa saja yang mesti disiapkan, apa yang mesti dihindari, apa langkah-langkah yang mesti diambil jika terjadi kondisi yang tak diduga dan sebagainya.
☆☆☆
Kalau untuk memasuki sebuah wilayah saja semua persiapan ini mesti dilakukan, apalagi memasuki dunia keilmuan yang jauh lebih ‘belantara’ dan ‘terjal’ dibandingkan hutan dan gunung? Terlebih lagi kalau ‘wilayah’ yang akan dimasuki itu wilayah ikhtilaf sejak dulu? Tentu bekal yang disiapkan harus lebih ekstra.
Sayangnya, yang terjadi justeru sebaliknya. Berbicara tentang Islam saat ini telah menjadi sesuatu yang paling mudah dan murah (an). Siapapun yang mau bicara, bisa bicara. Yang diperlukan ‘hanya’ peci putih ala jamaah haji. Lebih baik lagi jika ditambah sorban ala Saudi, sehingga kesan sebagai ustadz semakin diakui. Untuk wanita ‘cukup’ pakai cadar, sehingga hijrah tampak sangat total (tentu tidak semuanya begitu).
Kalau titel ustadz atau ustadzah sudah disematkan, baik oleh diri sendiri atau fans, maka dunia keilmuan seolah sudah siap membuka diri untuk dimasuki. Bagaimana dengan bekal dan peralatan? Ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma’ani, Ushul, Mantiq dan sebagainya? Lupakan saja. Itu kan hanya akal-akalan para ulama agar wilayah itu terlihat angker dan berbahaya. Siapa bilang kalau agama ini hegemoni mereka? Bukankah Islam milik semua? Berarti siapapun berhak berbicara atas namanya.
Apa tidak sebaiknya bertanya dulu kepada mereka yang sudah kembali dari sana? Bukankah mereka jauh lebih mengerti seluk-beluk daerahnya?
Ah, tidak perlu. Toh kalau mereka bisa, tentu saya juga bisa. Hum rijal wa nahnu rijal (?)
☆☆☆
Saudaraku, semua senang melihat semangatmu untuk ‘hijrah’. Engkau yang selama ini bergelimang dengan ‘dunia’, kesenangan, dan kelalaian (meski kami pun juga demikian), sekarang memutuskan untuk lebih fokus pada agama dan berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengamalkannya.
Boleh jadi engkau lebih baik dari kami yang tak pernah ‘hijrah’ (dalam makna yang dipahami banyak orang saat ini). Tak ada yang tahu kualitas iman kita, selain Zat yang Maha Tahu segalanya. Tapi memang, seteguk air menjadi sangat berarti bagi orang yang sangat kehausan. Sementara orang yang selama ini memiliki air berlimpah, seteguk air kadang tak begitu dihiraukan.
Tetapi, dunia keilmuan wilayah yang tak semua orang boleh dan bisa ‘menjamahnya’. Jangankan engkau wahai saudaraku yang baru satu-dua hari ‘hijrah’, mereka yang menghabiskan umurnya untuk ilmu pun tidak semua yang layak berbicara tentangnya. Jadi, kenapa mesti buru-buru?
Kami akan sangat iri melihat dirimu, setelah hijrah, semakin meningkat kualitas dan kuantitas ibadah, semakin mempesona akhlak dan budipekertinya, semakin matang pribadinya, semakin terjaga lisan dan anggota tubuhnya, dan semakin dekat dengan Sang Pencipta.
Kalau itu yang terjadi, maka semua akan mendoakanmu dan ‘siap’ bersaing denganmu untuk sama-sama memperbaiki diri, meningkatkan kesalehan pribadi dan mendekatkan diri pada ilahi.
Tapi kalau setelah hijrah beberapa hari, engkau langsung bicara ‘ini bid’ah’, ‘ini sesat’, dan sebagainya, bukankah wajar kalau diantara kami ada yang meragukan ketulusanmu? Kami memang tidak tahu apa yang di hati, tapi lidah menjadi pertanda apa yang ada di dalam sanubari.
Saudaraku, jangan anggap diamnya para ulama melihat ‘ulahmu’ dikarenakan mereka menghargaimu atau ‘gentar’ menghadapimu. Tidak. Justeru mereka merasa kasihan padamu. Engkau ibarat anak kecil yang dapat mainan baru. Atau seorang yang baru belajar silat, lalu dapat satu-dua jurus, bawaannya mau nantang semua orang.
Saudaraku, renungkan syair al-Mutanabbi yang pendek tapi bermakna ini :
وإذا ما خلا الجبان بأرض طلب الطعن وحده والنزالا
Ketika pengecut berada di medan sendirian
Ia menantang untuk bertarung dan adu kekuatan
Tak usah berkilah dan mengatakan, “Ini yang saya terima dari ustadz-ustadz saya.”
Perlu engkau ketahui, kalau sang ustadz membicarakan masalah-masalah tersebut dalam konteks mengkaji dan mendalami lalu sampai pada satu kesimpulan, apapun kesimpulannya, dan ia memiliki kompetensi untuk itu, tentu itu sah-sah saja.
Tapi kalau ia mengangkat masalah itu secara berlebihan sehingga terkesan masalah itu sangat fundamental, apalagi sampai menilai keisalaman dan keimanan orang lain dengan kacamata itu, maka ketahuilah, saudaraku, bahwa diantara tanda keikhlasan seorang dai dalam berdakwah adalah ia bisa menempatkan sesuatu pada kadarnya yang pas.
Seorang ulama mengatakan :
لو كان رائدهم الإخلاص لرأوا الصغير صغيرا والكبير كبيرا ووسعهم ما وسع جماعة المسلمين على توالي القرون
“Seandainya panduan mereka adalah keikhlasan tentu mereka melihat yang kecil itu kecil, yang besar itu besar. Mereka akan berlapang dada dan menerima apa yang telah diterima kaum muslimin sepanjang sejarah.”
هدانا الله وإياكم ووفقنا لما يحبه ويرضاه
Yendri Junaidi
24 Oktober 2020 pada 07.44 ·