Erased From History
Nonton beberapa film fiksi terkait time travel atau perjalanan menembus waktu, saya menangkap sebuah fenomena unik, yaitu adanya tokoh yang terhapus dari sejarah, erased from history.
Maksudnya bagaimana?
Ada tokoh-tokoh yang tiba-tiba menghilang dari kehidupan nyata. Gara-garanya kakek buyut sang tokoh yang hidup beberapa ratus tahun yang lalu, mati dibunuh oleh tokoh jahat yang menembus waktu ke masa lalu.
Kalau versi Back to The Future, gambar sang tokoh di dalam foto perlahan-lahan menghilang. Hehe agak lucu juga sih adegannya.
Yang rada serius, robot dari masa depan (2029) type T-800 (diperankan oleh Arnold Schwarzenegger) datang menembus waktu ke tahun 1984 untuk membunuh Sarah Connor. Karena Sarah (diperankan oleh Linda Hamilton) inilah yang bakalan melahirkan tokoh perlawanan, John Connor.
John Connor adalah musuh bebuyutan para robot jahat masa depan. Ketika tidak bisa membunuhnya di masa depan, maka robot itu berinisiatif traveling ke masa lalu untuk membunuh saja emaknya. Ini menurut versi Terminator 1.
Hilangnya tokoh dalam sejarah itulah yang sedang terjadi saat ini. Bukan benar-benar hilang sih, tapi seperti sengaja dihilangkan dari sejarah, dengan cara tidak pernah diajarkan pada umat hari ini
Khususnya dalam kajian-kajian keislaman di kalangan muslim perkotaan dewasa ini. Kita bisa lihat di kurikulum pengajiannya, sama sekali tidak ada kajian tentang sejarah ilmu-ilmu keislaman dengan para tokoh ulamanya.
Padahal mereka itulah yang selama ini menjadi tulang punggung sejarah umat Islam. Tapi keberadaan mereka seperti sengaja 'dihapus' dari lembar sejarah. Seakan ada orang yang traveling menembus waktu ke masa lalu untuk membunuhi para ulama di masa lalu.
Akibatnya, di masa kini, generasi muslimnya sama sekali buta dan tidak kenal sosok para ulamanya sendiri. Why? Erased from history.
Kalau pun ada kajian sejarah, sebatas Sirah Nabawiyah dan paling jauh hanya sampai generasi para shahabat saja. Sisanya cuma sejarah perang dan penaklukan saja.
Sedangkan sosok para ulama besar mulai zaman tabi'in, tabiut-tabiin dan seterusnya langsung gelap gulita.
Apalagi sejarah para imam mazhab yang membangun madrasah fiqhiyah dengan sebegitu fenomenal, nyaris tidak ada yang kenal, seolah tidak pernah ada dalam sejarah.
Kalau pun ada sosok ulama yang disebut-sebut, terbatas hanya pada segelintir tokoh yang dianggap paling sejalan saja. Yang lainnya? Ya, sudah dihapus dari sejarah.
Materi tarikh tasyri' dan juga sejarah perkembangan ilmu-ilmu keislaman tidak pernah diajarkan. Hasilnya, tak seorangpun yang kenal dengan ilmu Al-Quran dan Tafsir, ilmu hadits, Ilmu fiqih Ushul Fiqih, tashawwuf dan lainnya.
Sama sekali tidak ada data apapun, empty, not available. Yang ada cuma Quran dan Hadits saja sepanjang 14 abad. Ya, hanya Quran Hadits saja.
Tokoh-tokoh ulama dari berbagai disiplin ilmu keislaman yang seharusnya memadati tiap abad hijriyah, tiba-tiba lenyap seakan tidak pernah ada. Statusnya? Erased from history.
Seberapa buruk akibatnya?
Wah buruk sekali. Ternyata kita telah melahirkan sebaris generasi yang lupa sejarah keilmuan dan buta dengan tokoh-tokoh ulama di masa lalu.
Generasinya berwujud prajurit kombatan yang dididik secara keras untuk menjadi fighter. Tugasnya siap melumat siapa saja yang tidak sejalan dengan pandangannya. Perangainya galak-galak, apalagi di medsos.
Saya menganalisa, salah satu sebab utama karena materi kajiannya adalah ransum khusus yang merangsang adrenalin untuk siap berdebat dengan siapa saja. Gatel kalau belum menuduh orang sesat, keliru atau kafir.
Intinya bagaimana menguasai pembicaraan. Intinya, semua orang harus salah dan kalah. Intinya yang benar hanya saya dan kelompok saya. Yang lain dianggap kemunkaran yang harus diperangi. Yang lain masuk dalam menu : nahyi munkar.
Doktrin paling dasar adalah : tidak ada manusia yang makshum, kecuali Rasulullah SAW dan selevel shahabat saja.
Sedangkan para ulama di level tabi'in, tabiut-tabi'in dan para imam mazhab, semua itu dianggap manusia biasa, yang bisa dengan mudah dituduh bodoh, ditinggalkan bahkan direndahkan. Kalau perlu semua itu masuk kategori kemunkaran.
Dengan menu harian seperti itu, manalah bisa kita bicara fiqih ikhtilaf? Bagaimana bisa mereka hormat dan ta'zhim kepada para ulama? Sebab belum apa-apa, ulama sudah dimaki-maki duluan, gara-gara pendapatnya tidak sama dengan seleranya.
Serem banget, kan.
Karena di kepalanya tolok ukur kebenaran hanya satu, yaitu apa yang saya anggap benar. Itulah kebenaran hakiki.
Sedangkan pendapat orang lain, sudah pasti keliru, salah, jahat, munkar dan harus diperangi.
Maka kajian ilmu fiqih ikhtilaf itu dianggap ilmu yang munkar dan terkutuk. Yang mengajarkan bisa dicaci-maki, digoblok-goblokin, setidaknya dinyinyiri sampai mati. Kalau perlu, yang mengajarkannya bisa dihapus dari sejarah.
Erased from history . . .
Ahmad Sarwat
9 November 2020 pada 22.45 ·