Tidak Semua Kelebihan Itu Riba
By. Ahmad Sarwat,Lc.MA
Banyak kalangan kurang paham bahwa riba yang dianggap dosa besar itu ternyata amat sempit wilayah cakupannya.
Padahal tidak mentang-mentang ada kelebihan, langsung bisa divonis riba.
Untuk bisa divonis sebagai riba, ternyata syaratnya cukup panjang. Dan misalnya satu dari syarat itu tidak terpenuhi, maka gagal status ribanya. Mungkin masih haram, tapi bukan riba.
oOo
Kira-kira mirip dengan kasus pencurian. Ancaman hukumannya dalam Al-Quran memang potong tangan.
Tapi tidak semua tindakan ngambil barang orang lain itu bisa digebyah uyah sebagai kasus pencurian. Dan tidak bisa langsung kita potong tangannya begitu saja.
Kok gitu?
Karena kriteria pencurian atau sariqah (سرقة) itu tidak sederhana. Tidak semua tindakan ngambil barang milik orang lain bisa dimasukkan ranah sariqah.
Ada banyak syarat yang harus terpenuhi untuk bisa disebut sariqah. Salah satu tidak ada bagian hak si maling dalam harta yang dicuri
Misal yang sederhana, ketika istri ngambil duit suami diam-diam, meski itu perbuatan tidak terpuji, tapi namanya bukan pencurian.
Begitu juga ketika pegawai mengambil harta milik tuannya, belum otomatis sariqah.
Sebab kasus sariqah mensyaratkan bahwa pihak sariq atau si maling 100% memang tidak punya hak yang tertahan dari yang pihak yang kemalingan.
Maka pembantu yang nyolong duit majikan, gara-gara majikan belum juga membayar gajinya, tidak bisa dianggap sariqah. Meski tetap terlarang dan tetap dosa.
Unik bukan?
Kalau kita ngaji fiqih beneran pakai kitab fiqih muktamad, pembahasan macam ini pasti ada.
oOo
Syarat lain bahwa harta yang dicuri itu harus dalam posisi yang aman, terkunci dan terlindungi. Bukan barang yang oleh pemiliknya dibiarkan tanpa penjagaan.
Makanya maling yang sudah ngaji fiqih itu pinter. Nyolongnya tidak sendirian tapi berdua dan ada pembagian tugas.
Maling pertama tugasnya mendobrak kunci motor dan pintu garasi, terus motornya didorong ke luar rumah. Tapi motor itu ditinggal begitu saja tidak dibawa kabur.
Setelah itu barulah maling kedua beraksi. Dialah yang bawa motor di pinggir jalan di luar rumah dan tidak terkunci.
Meski tetap haram dan dosa, tapi dua-duanya tidak bisa dipotong tangannya, lantaran syaratnya tidak terpenuhi.
Bagaimana? Mantabs kan?
oOo
Dalam urusan riba juga begitu. Untuk bisa jadi riba, ternyata ada banyak syaratnya.
Misalnya bahwa riba itu hanya berlaku hanya dalam kasus qardh.
Qardh? Apa qardh itu?
Qardh itu sering diterjemahkan secara keliru sebagai pinjaman. Padahal qardh itu sendiri tidak sama dengan pinjam, apalagi tanggungan.
Kita mutlak harus bisa membedakan antara qardh (قرض), i'arah (إعارة) dan dain (دين). Kalau tidak, jagad dunia persilatan bisa kacau semua.
Tapi parahnya, ketiga istilah itu ternyata tidak punya padanan kata dalam bahasa Indonesia.
Dan akibatnya fatal sekali. Banyak santri pemula yang kurang luas pemahaman kosa katanya, secara sembrono menerjemahkan semuanya dengan 'pinjam'. Dunia persilatan bubar.
Bunyi dalil larangannya adalah sebuah hadits :
كل قرض جر منفعة فهو ربا
Semua 'qardh' yang menimbulkan manfaat, maka itu adalah riba.
Konyol sekali kalau 'qardh' diterjemahkan sebagai 'pinjaman'.
Berarti kalau kita 'pinjam' mobil dan disyaratkan waktu mengembalikannya harus sudah dicuci, bensinnya full-tank, plus uang 200 ribu, jadi riba dong? Kan itu mensyaratkan manfaat.
Kesalahannya mulai dari level penerjemahan yang ngawur sejak awal. Qardh itu keliru kalau diterjemahkan menjadi sekedar 'pinjaman'. Qardh ya qardh, tidak ada padanan katanya.
Menjelaskannya kudu pakai contoh. Misalnya kita nggak punya beras, lalu kita 'pinjam' beras tetangga. Itu namanya qardh. Pinjam beras disini pinjam yang unik, karena beras pinjaman itu kita makan habis.
Berasnya sudah pasti tidak bisa kita kembalikan. Kan sudah jadi nasi masuk perut dan jadi kotoran.
Namun untuk itu kita berkewajiban menggantinya dengan beras yang sama kualitas dan kuantitasnya. Itulah qardh.
Qardh yang seperti ini baru akan berubah jadi riba dan haram, kalau disyaratkan pas menggantinya harus dengan kuantitas yang lebih banyak atau kualitas yang lebih tinggi.
Itu pun kalau disyaratkan sejak akad di awal. Kalau tidak disyaratkan, tentu tidak jadi riba.
Tapi kalau akadnya diganti dari qardh menjadi jual-beli dengan hutang, masalahnya selesai. Akadnya bukan 'pinjam' beras, tapi beli beras meski bayarnya ditangguhkan alias hutang.
Disitu bolehlah kita menaikkan harga beras dan dapat untung. Namanya juga dagang, masak tidak boleh untung?
Adapun kasus pinjam mobil tadi, sama sekali bukan qardh, karena mobilnya tidak habis dimakan. Mobilnya utuh masih ada. Maka namanya bukan qardh, tapi namanya i'arah (إعارة).
Dan kalau disyaratkan harus ada manfaat kelebihannya, seperti uang, bensin, cuci mobil dan lainnya, akadnya berubah jadi ijarah (إجارة) alias sewa. Dan sewa menyewa itu 100% halal.
Jadi . . . jangan terlalu gegabah sedikit-sedikit bilang riba, sedikit-sedikit bilang riba. Riba kok cuma sedikit?
Mending nerusin kuliah S2 gih sana yang serius, daftar di Fakultas Syariah prodi Hukum Ekonomi Syariah. Dari pada koar-koar di medos terkait riba tanpa ilmu. Bikin kerok banyak orang aja kerjaaannya.
Ahmad Sarwat
14 Oktober 2020·