"JIKA HADITS TERSEBUT SHAHIH MAKA ITU ADALAH MAZHABKU"
Dulu sudah pernah saya membahas tentang kalam Imam Syafi'i yang kemudian banyak dijadikan meme oleh orang-orang anti mazhab untuk menyerang muqolid beliau rahimahullah. Namun tampak nya, qoul ini masih laris manis menjadi dagangan, baiklah mari kita coba bantah kembali.
Kalimat diatas adalah hujjah andalan dari kaum anti mazhab yang tak ber mazhab kepada Imam Syafi'i, bahkan cenderung anti terhadap mazhab Imam Syafi'i tapi gemar sekali mencatut Qoul beliau jika qoul itu sesuai hawa nafsu mereka, dan kalam ini mereka gunakan untuk menyerang muqolid Imam Syafi'i rahimahullah.
Beliau berkata ;
إِن صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
“Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.”
Semua ulama Syafi'iyah sepakat bahwa kalam tersebut memang benar dari Imam Syafi'i, ada beberapa redaksi yang riwayat nya berbeda namun memiliki maksud yang sama.
Lalu apakah setiap yang menemukan sebuah hadith yang shahih bertentangan dengan pendapat Imam Syafi'i maka otomatis pendapat Imam Syafii tertolak?
Jika ternyata memang semudah itu tentu keluasan ilmu seorang Imam Syafi'i yang seorang mujtahid muthlaq patut diragukan. Padahal selain dikenal sebagai mujtahid muthlaq, beliau juga dikenal sebagai seorang muhadith.
Kalam beliau Rahimahullah adalah bentuk ketawadhu'an luar biasa dari seorang yang berilmu, yang ilmu beliau ibarat samudra tak berdasar.
Imam Syafi’i Rahimahullah telah menghafal dan mendapatkan hadith langsung dari para ulama Salafush Sholeh, di usia 10 tahun beliau telah menghapal kitab Imam Malik Al muwaththa' yang jika dilihat cetakan hari ini tebal nya MasyaaAllah.
Semua hadith yang telah beliau hapal bahkan jauh lebih banyak dibanding hadith - hadith yang telah di bukukan. Jadi jangan mengira beliau tidak paham hadith. #catat
Para Ulama muhaditsuun seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim saja tetap bertalaqqi dengan ulama-ulama bermazhab yang tak lain adalah murid serta muridnya lagi dari murid-murid beliau.
Satu lagi, kalam ini hanya di peruntukkan kepada ulama-ulama Syafi'iyah yang telah mencapai derajat mujtahid, sehingga kita dapati kenapa ada ulama-ulama syafi'iyah yang seolah pendapat nya tampak menyelisihi Imam Syafi’i, semacam Imam an Nawawi Rahimahullahu.
Jadi sungguh keliru ketika ada ulama yang menemukan hadith shahih pada suatu kitab sehingga dengan hadith itu dia merasa tidak butuh lagi mengikuti pendapat Ulama Mazhab. Mungkin haditsnya shahih, namun cara mereka memahami dan mengeluarkan suatu hukum dari hadith tersebut yang menyelisihi pemahaman para Ulama Mazhab.
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Khuzaimah Al-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam Al-A'immah (penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh Al-Imam Al-Syafi’i dalam ijtihad beliau ? Ibn Khuzaimah menjawab, “TIDAK ADA”. Hal tersebut seperti diriwayatkan oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer Al-Bidayah wa Al-Nihayah (juz 10, hal. 253)..
Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ mengomentari qoul Imam Syafi'i tersebut :
وهذا الذى قاله الشافعي ليس معناه ان كل أحد رأى حديثا صحيحا قال هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره: وانما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه: وشرطه أن يغلب على ظنه أن الشافعي رحمه الله لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته: وهذا انما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها وهذا شرط صعب قل من ينصف به وانما اشترطوا ما ذكرنا لان الشافعي رحمه الله ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك
“Bukanlah maksud dari wasiat Imam Syafi'i ini adalah setiap orang yang melihat hadith yang shahih maka ia langsung berkata inilah sebenarnya mazhab Syafi'i dan langsung mengamalkan dhahir hadith. WASIAT INI HANYA DITUJUKAN KEPADA ORANG YANG TELAH MENCAPAI DERAJAT IJTIHAD DALAM MAZHAB, sebagaimana telah terdahulu (kami terangkan) kriteria sifat mujtahid atau mendekatinya. Syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam Syafi'i tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii TIDAK MENGETAHUI HADITH TERSEBUT ATAU TIDAK MENGETAHUI KESAHIHAN HADISTNYA. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafi'i dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafi'i mengabaikan makna eksplisit dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di takwil atau lain semacamnya”. (Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 1 hal 64)
Ulama besar lainnya, Imam Ibnu Shalah menanggapi wasiat Imam Syafi'i ini dengan kata beliau, sbb ;
وليس هذا بالهين فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث
“Tugas ini bukanlah perkara yang mudah, tidaklah setiap faqih boleh mengamalkan hadith yang dinilainya boleh dijadikan hujjah”. (Ibnu Shalah, Adabul Mufti wal Mustafti, hal 54, Dar Ma’rifah).
Saking luasnya wawasan beliau tentang hadith, sehingga ketika ada pendapat beliau yang bertentangan dengan satu hadith shahih tidak sembarangan orang bisa menyatakan bahwa Imam Syafi'i tidak mengetahui adanya hadith tersebut, sehingga pendapat beliau mesti ditinggalkan karena bertentangan dengan hadith. Karena boleh jadi Imam Syafi'i meninggalkan hadith shahih tersebut karena ada sebab-sebab yang mengharuskan beliau meninggalkan hadits tersebut, misalnya karena hadith tersebut telah di nasakh, takhsish dan hal-hal lain. Untuk dapat mengetahui hal tersebut tentunya harus terlebih dahulu menguasai kitab-kitab beliau dan ulama-ulama Syafi'iyah.
Bermazhab saja tidak kepada beliau, menyelami karya-karya beliau saja tidak pernah, lalu merasa paling PAHAM pula akan kalam beliau, na'udzubillah.
wallahu'alam
Dzakiyah Rasyid Changazi
13 Oktober 2019 ·