Empat ahli fiqh dalam madzhab Syafi’i
Tahqiq (penelitian) terhadap madzhab Syafi’i telah selesai di tangan Imam An-Nawawi (w.676 H) dan Ar-Rafi’i (w.623 H). Oleh karenanya, mereka dikelompokkan pada marhalah tahrir (pemeriksaan ulang). Lalu sisa-sisa pembahasan fiqh yang belum dibahas oleh mereka berdua, distabilkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (w.974 H) dan imam Muhammad Ar-Ramli (w.1004 H).
Oleh karena itu, para ulama belakangan telah menerima kitab-kitab mereka dalam berfatwa. Suatu pendapat yang disepakati oleh Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i, maka termasuk pendapat mu’tamad (terpilih/resmi). Jika keduanya berselisih pendapat dalam suatu masalah, maka pendapat Imam An-Nawawi lebih diutamakan. Dibolehkan untuk berfatwa dengan salah satu pendapat dari mereka berdua.
Permasalah yang disepakati oleh imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Rafi’i yang belum dibahas oleh ulama sebelumnya, maka termasuk pendapat mu’tamad. Jika keduanya berselisih dalam suatu permasalahan, maka penduduk Hijaz (Mekah) dan Hadhramaut lebih mengutamakan Ibnu Hajar. Adapun penduduk Syam dan Mesir lebih mengutamakan Imam Ar-Ramli. Lalu untuk penduduk Indonesia lebih mengutamakan yang mana ? Kalau menurut pengamatan kami, sepertinya lebih kuat ke Imam Ibnu Hajar Al-Haitami. Karena fiqh madzhab Syafi’i di Indonesia banyak mendapat pengaruh dari para masyaikh Hadhramaut dan Mekah. Wallahu a'lam.
Kitab-kitab imam An-Nawawi sesuai urutan dalam pengutamaan pendapat-pendapat yang ada di dalamnya adalah : At-Tahqiq, Majmu Al-Muhadzab, At-Tanqih, Ar-Raudhah, Al-Minhaj, Fatawa An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Tashih At-Tanbih dan Nukatnya. Adapun kitab-kitab Imam Ibnu Hajar Al-Haitami sesuai urutan adalah : Tuhfah Al-Muhtaj, Fathu Al-Jawwad, Al-Imdad, Al-Minhaj Al-Qawim, Syarhu Al-‘Ubab, dan yang terakhir fatwa beliau.
Kenapa kita perlu memahami hal-hal seperti ini ? Agar kita bisa mengambil keputusan yang tepat ketika terjadi ta’arudh (pertentangan). Misal imam An-Nawawi berbeda pendapat dengan Imam Ar-Rafi’i dalam suatu permasalahan, maka kita prioritaskan pendapat imam An-Nawawi. Hal ini juga berlaku ketika dijumpai pertentangan antara imam Al-Haitami dan Ar-Ramli.
Demikian juga saat kita berinteraksi dengan kitab-kitab mereka. Perlu adanya fiqh tersendiri untuk memafaatkannya dengan tepat. Karena buku itu ibarat senjata. Sebanyak dan secanggih apapun senjata yang kita miliki tidak akan bermanfaat sampai kita benar-benar memahami spesifikasinya, cara mengoperasikannya, dan skala prioritas dalam menggunakannya. Jika tidak, hanya akan jadi pajangan ruangan karena pemiliknya sendiri bingung terhadap apa yang dia miliki.
Sekarang kita sadar, kan, bahwa ternyata untuk memahami suatu ilmu itu tidak cukup dengan modal semangat saja, tapi butuh sistem pembelajaran yang tepat dan benar sesuai dengan arahan dari para guru yang memiliki kapabilitas di bidangnya.
Wallahu a’lam
Abdullah Al-Jirani
Referensi : At-Taqrirat As-Sadidah, hlm. 38 – 39 terbitan Dar Al-Mirats An-Nabawi, KSA, th 1423
###
Abdullah Al Jirani
18 September 2020 pada 18.31 ·