Pertanyaan ini sering ditanyakan. To the point saja ya. Jawabannya tergantung perincian berikut :
1. Kalau di dalam hatinya dia menyangka Allah sebagai sosok raksasa berukuran gede banget yang bertempat di lokasi tertentu di atasnya Arasy, maka dia mujassim. Apalagi kalau sampai beranggapan bahwa segala sesuatu yang wujud secara nyata (maujud/dzat/syaiun/nafsun) haruslah berupa sosok yang punya ukuran, bentuk dan kaifiyah tertentu, maka berarti mujassim parah.
2. Kalau dia menolak pernyataan poin satu di atas, maka diperinci lagi:
a. Menolak karena penggunaan istilah "raksasa", "ukuran", dan "bertempat" dianggap tidak benar (bid'ah), tetapi secara substansi tidak menolak maknanya hanya saja tidak mau berkata begitu dan tidak suka ditanya begitu, maka artinya kembali ke poin satu (mujassim).
b. Menolak karena pernyataan itu dikira arahnya mau menentukan bentuk dan ukuran Allah, padahal dalam keyakinannya bentuk dan ukuran Allah tidak ada yang tahu kecuali Allah sendiri, maka kembali ke poin satu (mujassim).
c. Menolak karena dikira pernyataan itu arahnya adalah menyamakan Allah dengan makhluk, padahal dalam keyakinannya Allah tak sama dengan makhluk dalam hal bentuk, ukuran, warna, gerakan dan kaifiyah lainnya, maka kembali ke poin satu (mujassim).
d. Menolak karena substansinya dianggap salah dengan alasan bahwa Allah sama sekali tidak boleh disifati dengan "ukuran" atau "bertempat", terlepas apa pun istilah yang digunakan. Dan, menegaskan bahwa Allah itu wujud secara nyata, tetapi Maha Suci dari ukuran, bentuk, dan segala kaifiyah, maka dia bukan mujassim. Tak peduli ketika di mulutnya dia berkata menolak takwil, menolak majaz, mengatakan bahwa semua ayat sifat adalah muhkam, atau mengatakan bahwa sifat Allah harus dianggap secara hakiki semua, itu tidak berpengaruh. Semua ucapan mulut itu masih dapat dibenarkan apabila hatinya meyakini bahwa Allah Maha Suci dari ukuran, bentuk, dan segala kaifiyah.
Akidah adalah soal keyakinan di dalam hati, bukan soal ucapan mulut. Jadi tinggal diminta jujur keyakinan hatinya yang mana. Terserah di mulut mau menyebut dirinya sebagai wahabi, atsari, salafi, ahlussunnah, aswaja, asy'ari garis lurus, orang shalih, anak berbakti, anak rajin, pandai dan suka menabung atau apalah. Patokan akidah bukan perkataan atau istilah saja dan bukan pula menunggu berkata atau mengistilahkan.
Semoga bermanfaat.
Abdul Wahab Ahmad
9 Agustus 2020·
#Abdul Wahab Ahmad