Oleh: Abdul Wahab Ahmad
Bagi muslim laki-laki, Shalat Jumat itu menjadi salah satu kebutuhan pokok. Karenanya, kegiatan satu ini tak boleh berhenti karena hanya ada sedikit kekhawatiran dan dugaan virus semata. Jumatan harus di tempatkan dalam posisinya sebagai kebutuhan pokok, bukan sebagai kebutuhan tersier.
Seperti halnya pasar dan Mall masih terus dibuka untuk melayani kebutuhan pokok masyarakat, maka masjid juga harus tetap dibuka untuk alasan yang sama. Seperti halnya pergi belanja kebutuhan pokok di pasar tetap berjalan, maka pergi ke masjid untuk ibadah Shalat Jumat juga tak perlu berhenti. Seperti halnya masih memungkinkan bertemu dengan orang-orang di pasar dengan tetap berusaha aman (menjaga higienitas diri, higienitas lingkungan, tak sembarangan memegang wajah, bila batuk ditutupi dan semacamnya), maka juga sangat memungkinkan untuk tetap Shalat Jumat sambil berusaha aman.
Jangan sampai soal ke masjid ingat Corona hingga takut, sedangkan soal ke pasar dan Mall malah santai-santai saja. Padahal pasar dan Mall justru lebih tidak higienis dan justru lebih sulit pengunjungnya dikontrol. Salah kaprah bila di tempat di mana doa seorang hamba didengar Allah, justru seorang muslim menjadi panik. Sedangkan di pasar selaku salah satu tempat favorit setan justru ia masih tenang dan bisa mengontrol dirinya sendiri.
Demikian juga sangat tidak tepat bila takmir masjid menutup layanan masjidnya sebab takut virus sedangkan di waktu yang sama ia tak berusaha menutup pasar. Ketika di saat yang sama semua layanan publik semisal kantor pemerintah, terminal, dan sebagainya masih tetap berjalan menjalankan fungsinya melayani kebutuhan duniawi masyarakat, maka saat itu tak ada alasan bagi takmir untuk tidak melayani kebutuhan ukhrawi masyarakat.
Andai saja di suatu daerah di Indonesia kondisinya telah benar-benar genting sehingga semua layanan publik harus berhenti dan pasar-pasar telah ditutup atas perintah pemerintah melalui segala pertimbangan yang matang, maka saat itulah layanan masjid juga harus dibatasi dan shalat jumat tak boleh dilakukan. Tetapi semoga saja kondisi ini tak pernah terjadi di Indonesia. Kondisi ini telah terjadi di beberapa negara sehingga lembaga Fatwa mereka meliburkan sementara shalat Jumat. Namun, harus diingat bahwa fatwa selalu bersifat lokal sebab dikeluarkan sesuai kondisi pemohon fatwa atau kondisi lingkungan di mana fatwa itu muncul. Jadi, jangan mengimpor fatwa gawat ke daerah yang tidak gawat sebab selain tidak tepat juga hanya akan menyebabkan kepanikan yang tidak perlu.
Tulisan ini tentang Shalat Jumat yang menjadi salah satu syiar agama yang diwajibkan bagi setiap muslim yang baligh dan sehat. Adapun untuk kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak wajib dilakukan oleh seorang muslim, yang bukan kebutuhan pokok, maka anjuran untuk isolasi diri untuk memutus mata rantai penyebaran wabah memang perlu diperhatikan serius. Apakah lantas semua kegiatan massal selain shalat Jumat berarti harus berhenti? Tidak juga, tetap tergantung aman tidaknya suatu daerah dari potensi penyebaran virus dan tergantung seberapa penting kegiatan itu untuk dilakukan. Bila kegiatannya dianggap sangat penting dan daerahnya masih aman, maka tetap bisa dilakukan dengan kewaspadaan yang standar sebagaimana kegiatan ekonomi di pasar-pasar yang tetap berjalan dengan kewaspadaan.
Dengan ini, tulisan-tulisan saya sebelumnya tentang pentingnya isolasi wabah sebagaimana instruksi Rasulullah dan bahwa Shalat jumat bisa tidak wajib bagi penderita penyakit menular atau bagi orang yang khawatir betul terkena bahaya, semuanya harus dibaca dalam konteks yang proporsional. Semuanya tak dimaksudkan untuk menghentikan praktek shalat Jumat di daerah yang masih aman. Itu semua dibuat semata agar masyarakat tidak nyinyir pada fatwa dan upaya pemerintah untuk mencegah penularan penyakit seolah pelakunya takut pada selain Allah, tidak tawakal, dan semacamnya.
Semoga kita, bangsa Indonesia, diselamatkan dari wabah Corona ini. Dan, semoga tulisan ini bermanfaat.
Jember, Kamis, 19 Maret 2020
Abdul Wahab Ahmad
19 Maret 2020 (1 jam ·)
#Abdul Wahab Ahmad