Mungkin anda kaget membaca judul ini, tapi memang itulah manhaj beliau. Ia mengatakan:
بيان تلبيس الجهمية في تأسيس بدعهم الكلامية (4/ 111)
فمن أثبت لله سبحانه وتعالى أمراً من الصفات فإنما أثبته بعد أن فهم نظير ذلك من الموجودات وأثبت به القدر المطلق مع وصفه له بخاصة تمتنع فيها الشركة
"Maka siapa yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah, maka ia hanya menetapkannya setelah MEMAHAMI BANDINGANNYA dari hal-hal yang wujud, dan dia menetapkan KADAR MUTLAKNYA dengan disertai menyifatinya dengan kekhususan yang mencegah dari persekutuan."
ومن نفى عن الله شيئاً من هذه الأمور فإنما نفى ما علم نظيره في الموجودات ونفى عن الله أن يكون له مثل ما للمخلوق من ذلك لم ينفِ ما يختص به الرب مما لم يعلم نظيره فإن هذا لم يتصوره حتى يحكم عليه بالنفي فالنافي لا ينفي شيئاً قط إلا ما له نظير فيما أدركه
"Dan siapa yang menafikan dari Allah sesuatu dari hal-hal ini, maka tak lain ia hanya menafikan apa yang ia KETAHUI BANDINGANNYA di dalam hal yang wujud. Dan, ia menafikan dari Allah keberadaan yang sama seperti apa yang dimiliki makhluk dari hal itu. Ia tak menafikan apa yang khusus bagi bagi Tuhan dari APA YANG TAK DIKETAHUI BANDINGANNYA. Sesungguhnya ini tidak dapat dibayangkan olehnya sehingga ia bisa memvonis tidak ada. Orang yang menafikan tidak menafikan sesuatu pun kecuali APA YANG PUNYA BANDINGAN dalam sesuatu yang ia ketahui."
Itu adalah manhaj beliau dalam membahas sifat. Menurut pengakuannya sendiri seperti di atas, sifat-sifat itu selalu dianggap ADA BANDINGANNYA dari diri makhluk, hanya saja Allah dianggap punya kekhususan yang berbeda dari makhluk. Yang dinafikan dari Allah pun bukan bandingan itu sendiri sebab penafiannya menjadi tak bisa dipahami. Yang dinafikan hanyalah kesamaannya saja dari Allah.
Adapun menurut Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) keberadaan bandingan seperti itu hanya berlaku bagi sifat maknawi, semisal qudrah (kekuasaan), iradah (kehendak), sama' (mendengar), bashar (melihat) dan lain-lain. Manusia juga mempunyai itu semua dan menjadi "bandingan" dari sifat Allah dengan catatan bahwa sifat yang dimiliki Allah punya ciri khas pembeda, misalnya kekuasaan Allah sempurna sedangkan kekuasaan manusia terbatas; Allah melihat tanpa alat penglihatan sedangkan manusia melihat dengan alat penglihatan. Ini semua adalah pembeda yang membedakan antara sifat Allah dan sifat makhluk.
Namun, bagaimana dengan sifat yang secara literal maknanya hissi (fisikal) atau jismiyah (kejisiman) semisal yad (tangan), 'ain (mata), wajhun (wajah) dan lain-lain? Di sinilah titik tengkar abadi antara Ibnu Taymiyah dan Ahlusunnah. Menurut Ahlussunnah Allah sama sekali tak punya bandingan dari seluruh wujud lain di alam semesta ini, sedangkan bagi Ibnu Taymiyah bandingan itu ada.
Ketika menetapkan sifat yad misalnya, menurut teori Ahlussunnah yang meniadakan bandingan itu, maka yadullah bukanlah tangan secara fisik. Yang kita pahami dari tangan adalah bandingannya yang dimiliki makhluk, yakni tangan fisik yang berfungsi menggenggam dan melakukan sesuatu itu, hal ini dinafikan keberadaannya dari Allah. Yang ditetapkan bagi Allah hanyalah "yad" saja sesuai penetapan al-Qur'an. Tak boleh menyeberang dari garis ini.
Sedangkan menurut Ibnu Taymiyah, sifat yad bisa dilihat bandingannya yang dimiliki makhluk dahulu kemudian ditetapkan ciri pembedanya. Bandingannya tentu tangan sebagai organ fisik ini, tak ada yang lain. Jadi ia menetapkan makna organ ini sebab ini adalah satu-satunya bandingan supaya makna yad bisa dipahami, menurutnya. Ia hanya memberi embel-embel "berbeda dari makhluk" saja.
Tapi apa perbedaan atau ciri khas itu? Sampai saat ini saya tak menemukan narasi yang jelas sebab ia nampak lebih suka penjelasan berputar-putar daripada penjelasan lugas. Hanya saja dapat diketahui dari bahasannya di berbagai tempat bahwa tangan Allah menggulung langit, menggenggam bumi dan sebagainya yang hebat-hebat. Dari situ nampaknya arahnya mau menegaskan makna ukuran yang sangat besar dan kekuatan yang hebat. Kalau tangan manusia paling-paling hanya menggenggam hape dan menggulung selimut.
Dalam perspektif Ahlussunnah, pemahaman Ibnu Taymiyah itu disebut tasybih dan tajsim. Tentu saja yang bersangkutan menolak sebutan ini. Tapi apalah artinya penolakan sebutan bila kenyataannya benar.
Abdul Wahab Ahmad
9 Maret 2020 (31 menit ·)
#Abdul Wahab Ahmad