Belum, soalnya belum ada yang menyusun Ushul dan Qawa'id istinbath nya.
Jika ada yang mengatakan Wahabi itu sebuah Mazhab 'baru', boleh saja, setidaknya keberanian mereka untuk tampil berbeda dengan 4 Mazhab Ahlussunah wal Jama'ah dan menyelisihi Jumhur bahkan Ijma' Ulama' dari 4 Mazhab Ahlussunah wal Jama'ah, itu sudah membuktikan bahwa mereka kelompok baru (mazhab 'baru'), tak jauh berbeda dengan Syi'ah.
Saya suka dengan kalimat: "Wahabi dan Syi'ah itu sama saja, bagaikan tai (kotoran) Unta yang dibelah dua". 🤭
Jika dalam Mazhab Syafi'i, imam Mazhab nya bernama lengkap Muhammad bin Idris bin al-`Abbas bin `Utsman bin Syafi` bin as-Saib bin `Ubayd bin `Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin `Abdu Manaf bin Qushay. Jika diurut, secara nasab sang Imam masih satu keturunan dengan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- dari Abdu Manaf bin Qushay. Imam Syafi'i ternyata masih termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek dari Nabi Muhammad -shallallahu 'alaihi wasallam-.
Ayahnya bernama Idris, berasal dari daerah Tibalah--daerah Tihamah dekat Yaman. Imam Syafi'i lahir pada 150 Hijriyah (767 Masehi). Ada dua pendapat tentang kota kelahiran Sang Imam. Ada sejarawan yang meyakini Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun sebagian berpendapat ia lahir di Asqalan--sebuah kota tak jauh dari Gaza.
Menurut Imam Ibnu Hajar Al Asqalani -rahimahullah-, bahwa Imam Syafi'i -rahimahullah- dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Para sejarawan juga mencatat, kelahiran Imam Syafi'i hampir bersamaan dengan wafatnya seorang ulama besar Ahlussunah wal Jama'ah yang bernama Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi).
Sementara Wahabi, imam Mazhabnya bernama Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi, lahir pada tahun 1115 Hijriyah (1703 Masehi) di 'Uyaynah. Ibnu Abdul Wahab berasal dari daerah Najd, sebelah timur kota Madinah, tepatnya dekat kota Riyadh, ibu kota Kerajaan Arab Saudi saat ini. Secara nasab berasal dari Bani Tamim, leluhurnya adalah Dzul Khuwaishirah At-Tamimi (tokoh Khawarij). Jika diperhatikan redaksi hadits yang berbicara tentang tokoh Khawarij ini, maka akan didapati kesamaan ciri-ciri fisiknya dengan ciri-ciri fisik pengikutnya di zaman sekarang ini.
Dalam madzhab Syafi'i, dikenal Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari -rahimahullah-. Sementara bagi Wahabi, dikenal Ibnu Taimiyah (tokoh yang dijadikan Syaikhul Islam).
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa mayoritas muslim di Indonesia adalah muslim Ahlussunah wal Jama'ah bermazhab Syafi'i, berakidah Asy'ari (Tafwidh dan Takwil), mensucikan Allah SWT dari arah dan tempat. Jauh berbeda dengan Salafi 'Wahabi' yang tidak bermazhab dalam fiqih dan berakidah Itsbat yang mengarah kepada Tajsim dan Tasybih, yang meyakini bahwa Allah SWT duduk/bersemayam/bertempat/menetap diatas Arsy, memiliki arah yakni diarah atas (bisa ditunjuk oleh jari tangan), ber-jism (punya tangan, kaki, wajah, jari jemari, mata, paha dan lainnya), dzat-Nya bisa naik dan turun ke langit dunia di waktu 1/3 akhir malam.
Dalam mazhab Syafi'i, seseorang dianjurkan untuk mempelajari ilmu tasawuf agar dapat membersihkan hati dari penyakit hasad, dengki, iri hati dan penyakit hati lainnya, dan umumnya dapat dipelajari dari kitab Ihya' Ulumuddin karya Hujjatul Islam al Imam Abu Hamid Al Ghazali -rahimahullah-, sementara bagi Wahabi, ilmu tasawuf itu perkara yang batil dan Bid'ah yang mesti dihindari, mereka menganjurkan pengikutnya untuk mengikuti kajian Tazkiyatun Nafs yang bersumber dari kitab-kitab karya Syaikh Ibnul Qayyim Al Jauziyah.
(Sebenarnya antara Tasawuf dan Tazkiyatun Nafs itu inti ajarannya sama saja, sama-sama bertujuan untuk berperilaku baik, berakhlak mulia dan membersihkan hati, namun ilmu Tasawuf dikesankan sebagai perkara batil dan Bid'ah oleh Wahabi, agar pengikutnya membenci Ulama' Sufi dengan ajaran Tasawuf nya).
Dalam madzhab Syafi'i dikenal istilah 'Syaikhan' yang ditujukan kepada Imam an Nawawi -rahimahullah- dan Imam Ar Rofi -rahimahullah-. Sementara bagi Wahabi, istilah 'Syaikhan' ini ditujukan untuk Syaikh Shalih Al Utsaimin dan Syaikh bin Baz.
Dalam mazhab Syafi'i dikenal seorang Imam yang mampu men-syarah kitab Shahih Al Bukhari, yakni imam Ibnu Hajar Al Asqalani -rahimahullah- dalam Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari. Sementara bagi Wahabi dikenal tokoh yang mampu 'mempreteli dan mendhaifkan' beberapa hadits dalam Shahih Al Bukhari yakni Nashiruddin Al Albani. Berbekal belajar Hadits secara otodidak tanpa sanad yang jelas, dengan bermodalkan membaca kitab-kitab Hadits di perpustakaan, lalu berani mendha'ifkan beberapa hadits Shahih yang ada dalam kitab Shahih Al Bukhari. Sementara kita ketahui bersama bahwa kitab Shahih Al Bukhari disepakati oleh banyak Ulama' sebagai kitab paling Shahih di dunia setelah kitab suci Al Qur'an, namun beberapa hadits didalam kitab ini malah didhaifkan oleh Nashiruddin Al Albani.
Sumber hukum yang dijadikan dalilpun berbeda antara mazhab Syafi'i (Ahlussunah wal Jama'ah) dan Wahabi, dimana dalil bagi Ahlussunah wal Jama'ah meliputi Al Qur'an, Hadits, Ijma' Ulama' dan Qiyas. Sedangkan bagi Wahabi, yang namanya dalil itu hanya Al Qur'an dan Hadits. Menolak Ijma' Ulama' dan Qiyas sebagai dalil. Tentunya ini bertentangan dengan pendapat mayoritas Ulama' Islam dari generasi ke generasi, yg menetapkan Ijma' dan Qiyas sebagai dalil yang dijadikan sumber hukum untuk menetapkan hukum syari'at Islam.
Dalam mazhab Syafi'i dikenal 2 Ulama' Mutaakhirin mazhab Syafi'i yakni Imam Ibnu Hajar Al Haitami -rahimahullah- dan Imam Ar Ramli -rahimahullah- (Dalam beberapa masalah fiqih, Ulama' Syafi'iyah di Yaman lebih cenderung ikuti pendapat Imam Ibnu Hajar Al Haitami, sementara ulama' Syafi'iyah di Mesir lebih cenderung ikuti pendapat Imam Ar Ramli), seakan-akan tidak mau kalah, Wahabi pun memiliki Ulama' Mutaakhirin nya sendiri yakni Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan dan Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali (2 pendaku Salafi 'Wahabi') yang terkadang justru saling bid'ah membid'ahkan serta saling Tahdzir satu sama lainnya. (Dalam beberapa masalah fiqih, da'i Salafi 'Wahabi' dari kelompok Rodja lebih cenderung ikuti pendapat Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan, sedangkan da'i Salafi 'Wahabi' dari kelompok Abul Jauza dan sejenisnya cenderung ikuti pendapat Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali).
Dalam beberapa perkara fiqih terdapat perbedaan mencolok antara mazhab Syafi'i dan Wahabi. Berikut saya berikan contoh perbedaan dalam hal 2 perkara saja yakni Wudhu dan Shalat.
Ketika berwudhu, dalam mazhab Syafi'i dikenal istilah lafadz/bacaan niat wudhu yang dilafadzkan sebelum berwudhu (Nawwaitul...), sementara bagi Wahabi, lafadz niat wudhu itu Bid'ah (konsekuensinya amalan akan tertolak bahkan bisa masuk neraka), bagi mereka (Wahabi), lintasan hati ketika ingin berwudhu atau sempat kepikiran untuk berwudhu sudah dianggap sebagai niat.
Ketika berwudhu, dalam mazhab Syafi'i, menyiramkan air / air dibasuhkan ke bagian rambut dan kepala bagian depan terletak diatas kening sudah dianggap mencukupi, namun bagi Wahabi air terlebih dahulu disiram/dialirkan keatas ubun-ubun, lalu diusapkan dari depan hingga kebelakang rambut.
Ketika shalat, dalam mazhab Syafi'i diawali dengan bacaan/lafadz niat shalat (Usholi .....) sebelum takbiratul ihram, dan memunculkan lafadz niat (Usholi ....) dalam lintasan hati/pikiran ketika lisan bertakbir, sementara bagi Wahabi cukup lintasan hati ingin mengerjakan shalat atau sempat kepikiran untuk mengerjakan shalat beberapa menit sebelum wudhu / sebelum shalat, itu sudah dianggap niat, jadi ketika bertakbir saat takbiratul ihram, mereka langsung takbir dan langsung bersedekap tangannya. Walhasil, beberapa kali pengamatan saya ketika mereka shalat Sunnah. Kondisi shalat mereka yang seperti ini (tanpa bacaan niat), bisa dikatakan jauh dari khusyuk, terkadang ada yg hobi menyeka-nyeka jenggotnya dalam shalat, ada yg menggaruk wajah dan bagian tubuhnya dalam shalat, ada yg berulang kali memperhatikan kondisi/posisi kakinya dalam shalat, ada gerakan-gerakan diluar gerakan shalat yg 'sengaja' mereka kerjakan, yang dalam mazhab Syafi'i perkara seperti itu dapat membatalkan shalat (Dalam mazhab Syafi'i, gerakan 3x berturut-turut yang bukan bagian dari gerakan shalat, dapat membatalkan shalat, kecuali gerakan jari jemari), aturan seperti ini tidak berlaku bagi Wahabi dengan alasan tidak ada dalilnya, jadi jangan heran kalau sempat melihat banyak gerakan mereka ketika shalat yang dapat menggangu khusyuk shalat jama'ah lainnya, yang paling parah adalah yg suka mengejar kaki orang disamping kiri dan kanannya dalam shalat, supaya kakinya bisa selalu menempel kepada kaki orang di sebelah nya. 😁
Ketika takbiratul ihram, dalam mazhab Syafi'i, posisi tangan diangkat tinggi ketika bertakbir, hingga posisi telapak tangan sejajar dengan telinga, sementara bagi Wahabi, posisi tangan ketika bertakbir cukup didepan dada, dekat dari tempat posisi tangannya akan disedekapkan.
Posisi tangan ketika bersedekap, dalam mazhab Syafi'i ditaruh diatas perut, tepatnya beberapa cm lebih tinggi daripada pusar, sementara bagi Wahabi, posisi tangan bersedekap ada diatas dada, mendekati leher (beberapa cm lebih rendah dari leher). Padahal perkara ini dihukumi Makhruh oleh banyak Ulama', termasuk syaikh Ibnul Qayyim (Ulama' rujukan Salafi 'Wahabi' sendiri), meletakkan tangan di atas dada ketika bersedekap dalam shalat dihukumi Makhruh karena perkara ini termasuk Tasyabuh dengan orang Yahudi ketika mereka beribadah.
Bacaan Basmalah dalam shalat bagi mazhab Syafi'i ketika shalat yang bacaannya Jahr, adalah bagian rukun shalat (wajib dilafadzkan dengan keras sebagaimana bacaan QS. Al Fatihah, karena Basmalah adalah ayat pertama dalam QS. Al Fatihah), sementara bagi Wahabi bacaan Basmalah dalam shalat yg di Jahr kan adalah perkara Bid'ah dhalalah (amalan shalat nya tertolak dan berkonsekuensi masuk neraka).
Setidaknya hal ini sempat menjadi sumber kericuhan waktu Farhan abu Furaihan (da'i Wahabi) memvonis Bid'ah Qunut Subuh dan bacaan Basmalah saat baca QS. Al Fatihah ketika mengimami shalat Subuh di Aceh.
Perilaku buruk Da'i Wahabi seperti inilah yang selalu membuat kericuhan yakni memaksakan fiqih Wahabi ditengah mayoritas muslim bermazhab Syafi'i di Indonesia.
Qunut Subuh adalah perkara Sunnah Muakkadah yang dikerjakan di setiap shalat Subuh, sementara bagi Wahabi, Qunut Subuh ini perkara Bid'ah dhalalah, amalan shalat Subuh nya bisa tertolak dan dapat berkonsekuensi masuk neraka.
Ketika turun setelah I'tidal (hendak sujud), dalam mazhab Syafi'i, orang yang shalat mendahulukan lutut daripada tangan, sementara Wahabi membid'ahkannya dan melarang hal tersebut, bagi Wahabi tangan harus lebih dulu menyentuh lantai dibandingkan lutut.
Ketika sujud, dalam mazhab Syafi'i posisi kaki ketika sujud yakni direnggangkan sebagaimana jarak kedua kaki ketika berdiri, sementara bagi Wahabi posisi kedua kaki ketika sujud harus ditempelkan (hal ini menyelisihi Jumhur Ulama' dan dihukumi Makhruh).
Ketika bangkit dari sujud hendak berdiri, dalam mazhab Syafi'i lebih afdhol, posisi tangan tidak menyentuh lantai, tetap diatas paha, hingga bangkit berdiri dan posisi tangan ditaruh 'kembali' bersedekap diatas perut (beberapa cm lebih tinggi dari pusar), sementara bagi Wahabi, Sunnah tangan ditaruh ke lantai dengan posisi telapak tangan diluruskan (tidak dikepal). Bid'ah bila tangan dikepal dan ditaruh diatas lantai untuk membantu ketika berdiri dalam shalat.
(Dalam Mazhab Syafi'i, posisi telapak tangan diluruskan ataupun dikepalkan ketika hendak berdiri dalam shalat adalah perkara Mubah, kedua hadits yang diriwayatkan oleh imam abu Dawud mengenai telapak tangan diluruskan ataupun dikepalkan, itu merupakan rukshoh (keringanan) bagi yang tidak kuat berdiri tanpa bantuan tangan, sehingga dalam mazhab Syafi'i lebih afdhol berdiri tanpa bantuan tangan).
Posisi duduk Tahiyat akhir saat shalat yang jumlah raka'at nya hanya dua raka'at (seperti shalat Subuh, shalat Jum'at, shalat tarawih dan shalat Sunnah lain). Dalam mazhab Syafi'i adalah duduk Tawarruk (duduk dimana posisi kaki kiri dilipatkan kekanan, sehingga pantat bagian kiri menyentuh lantai). Sementara bagi Wahabi memilih duduk iftirasy (duduk dimana posisi kaki kiri dijadikan dasar/tempat ditaruhnya pantat bagian kiri), sebagian pendapat dari mazhab Hanbali juga mengamalkan duduk Iftirasy ketika duduk Tahiyat akhir untuk shalat yang jumlah raka'atnya hanya dua raka'at.
Barisan shaf shalat dalam mazhab Syafi'i mengikuti pendapat Jumhur Ulama' yakni memutlakkan shaf yang lurus bagian tumit kakinya, namun jarak yang renggang antara satu makmum dengan makmum lainnya, sekitar jarak 4 jari hingga satu jengkal antara kaki makmum yang satu dengan makmum lainnya, begitu pula jarak antara bahu makmum. Sementara bagi Wahabi, selain memutlakkan shaf yang lurus bagian tumit kakinya, mereka memutlakkan (Sunnah) shaf shalat yang saling tempel bahu dengan bahu makmum lainnya, kaki pun mutlak harus menempel antara kaki makmum dikiri dan kanannya. (Bagi Wahabi ini Sunnah, namun bagi Jumhur Ulama' ini merupakan perkara Makhruh, karena Takalluf 'berlebih-lebihan' dalam shalat dan dapat menggangu gerakan shalat yg disunnahkan lainnya, seperti posisi tangan ketika bertakbir, posisi tangan ketika Sujud dalam shalat, posisi duduk Tawarruk ketika Tahiyat akhir).
Dengan adanya perbedaan mendasar yang dilakukan Salafi 'Wahabi' ini, hingga banyak pendapat mereka yang menyelisihi Jumhur Ulama' bahkan Ijma' Ulama', maka tidak salah jika mereka disebut mazhab tersendiri (mazhab Wahabi) yang keluar (berbeda) dari 4 mazhab Ahlussunah wal Jama'ah. Ditambah lagi pernyataan mereka yang mengatakan tidak bermazhab dalam fiqih, menolak untuk bermazhab fiqih, menyepelekan perihal bermazhab bahkan mencela muslim yang bermazhab fiqih kepada salah satu mazhab Ahlussunah wal Jama'ah dengan sebutan Taqlid buta, ini mengindikasikan bahwa mereka ingin menggiring pengikutnya untuk mengikuti pendapat mereka (mazhab Wahabi) dan tidak 'lagi' ikut fiqih 4 Mazhab Ahlussunah wal Jama'ah.
Konsekuensinya menjadi pengikut Wahabi ini adalah mudah menyalahkan bahkan membid'ahkan muslim lainnya, mudah mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan bagi pengikut laki-laki maka tampilan mereka pun akan berubah, setidaknya jidatnya ada noda hitam dan bercelana cingkrang. Bagi pengikut yang wanita, saya melihat mereka suka memisahkan dirinya dari orang-orang yg tampak tidak se-manhaj dengan dirinya, mendadak menggunakan cadar dan punya pemikiran-pemikiran yang aneh, seperti pertanyaan dari pemikiran lucu mereka, yang pernah saya dengar dari ukhti-ukhti Salafi 'Wahabi' ini: Boleh kah menikah dengan laki-laki yang berbeda manhaj (non Salafi 'Wahabi') ?.
( Ketika saya mendengar pertanyaan seperti ini, terlintas dipikiran saya, emangnya laki-laki non Salafi 'Wahabi' ini sudah bukan Islam apa ? ). 😄
Wallahu ta'ala a'lam bi al-showabb.
Feri Hendriawan
31 Januari pukul 00.49 ·
#Feri Hendriawan