Lagi, Berbohong Atas Nama Imam Mazhab Syafii Untuk Melarang Pelafalan Niat

LAGI, BERBOHONG ATAS NAMA IMAM MAZHAB SYAFI’I UNTUK MELARANG PELAFALAN NIAT

Oleh: Abdul Wahab Ahmad

Fikih Ahlusunnah Wal Jamaah selama ini terkenal karena kemampuannya menampung begitu banyak perbedaan pendapat. Berbeda pendapat diperbolehkan selama berdasar pada dalil yang kuat. Akan tetapi fikih Aswaja tidak mentolerir adanya kebohongan.

Namun sayang, ada saja orang pendaku salafi yang disebut ustadz yang sengaja berbohong atas nama tiga imam mazhab Syafi’i, yaitu Imam asy Syairazi, Imam Nawawi dan Imam Rafi’i untuk mempromosikan pendapatnya sendiri. Ia tak ragu MEMBUAT NARASI BOHONG seolah ketiga imam tersebut melarang pelafalan niat shalat. Padahal sebagaimana kita tahu seluruh pengikut Syafi’iyah di penjuru dunia ini terbiasa melafalkan niat shalat dengan mengucap kata “ushalli” sebelum takbiratul ihram. Ia mengesankan para pengikut mazhab Syafi’i di seluruh dunia mengikuti pendapat tak jelas yang tak direstui para imam besar Syafi’iyah.

Demi amanat ilmiah, kebohongan ini harus diungkap agar pelaku sadar dan tak menyesatkan orang lain. Sebelumnya ia telah membuat kebohongan serupa dalam masalah ini di video yang lain, dan kali ini ternyata diulangi lagi dengan narasi yang lebih menyesatkan orang-orang awam. Awalnya saya merasa ini kesalahpahaman kecil alias kekeliruan memahami pernyataan ulama yang juga biasa terjadi pada santri-santri kecil yang baru belajar baca kitab. Ternyata tidak demikian, ia paham bahasa Arab tetapi sengaja berbohong. Simak perkataannya di video berikut:

Pada awalnya, ia mengutip perkataan Imam Asy-Syairazi dalam kitab Muhadzdzab yang menurutnya berkata:

وبعض أصحابنا من يرى باستحباب التلفظ بالنية وليس بشيء ولإن النية محلها القلب
"Sebagian ulama mazhab Syafi'i ada yang berpendapat disunnahkan melafzzkan niat. Itu pendapat yang tidak ada apa-apanya, artinya tidak ada dalilnya sama sekali. Dan juga dikarenakan niat itu tempatnya di hati.”

Setelah itu, dia menjelaskan syarah (penjelasan) Imam Nawawi atas pernyataan di atas sebagaimana berikut:

“Lalu Imam Nawawi ketika mensyarah perkataan imam Syairazi ini, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “ashhabuna”, ulama mazhab Imam Syafi’i, di sini yaitu Abu Abdillah az Zubairi. Beliaulah yang pertama kali mengatakan bahwa disunnahkan melafazkan niat. Kenapa? Karena beliau memahami perkataan Imam Syafi’I dalam kitab al-Umm, di mana dalam kitab al- Umm waktu itu Imam Syafi'i Sedang membahas tentang masalah haji ya. Lalu beliau berkata “walaisat kasshalah fainnaha la budda minan nuthq” tidak sama dengan salat karena salat itu harus diucapkan. Nah, Abu Abdillah memahami yang dimaksud dengan diucapkan di sini yaitu diucapkan niat, akan tetapi Imam Nawawi tidak setuju dengan pemahaman Abu Abdillah Az Zubairi ini.”

Lalu ia menyimpulkan demikian:

“Makanya imam Nawawi mengikuti pendapat dari Imam asy-Syairazi dari ulama mazhab Syafi’i bahwa itu tidak disyariatkan dan juga ini yang dirajihkan oleh imam ar-Rafi’i. Beliau juga merajihkan pendapat bahwa melafazkan niat itu tidak disyariatkan”

Sempurna sekali narasi tersebut terlihat seolah Imam Syairazi dan Imam Nawawi sepakat melarang pelafalan niat! Ditambah lagi di akhir video dia juga mengklaim bahwa Imam Rafi’i juga mengatakan yang sama. Padahal ini murni kebohongan semata. Yang sebenarnya terjadi adalah sebagaimana berikut:

1. IMAM ASY SYAIRAZI TIDAK PERNAH BERKATA SEPERTI ITU

Perkataan di atas yang oleh ustadz ini disebut sebagai perkataan Imam Syairazi dalam kitab Muhadzdzab adalah perkataan yang ia karang sendiri. Tak ada satu pun perkataan yang mengkritik kesunnahan pelafalan niat seperti itu di kitab tersebut, bahkan di kitab Syafi’iyah mana pun. Heran sekali bagaimana bisa di masa keterbukaan informasi ini masih ada yang berani melakukan kebohongan publik?

Yang benar, Imam as Syairazi berkata sebagaimana berikut:

المهذب في فقة الإمام الشافعي للشيرازي (1/ 134)
والنية فرض من فروض الصلاة لقوله صلى الله عليه وسلم: "إنما الأعمال بالنيات ولكل امرئ ما نوى" ولأنها قربة محضة فلم تصح من غير نية كالصوم ومحل النية القلب فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه ومن أصحابنا من قال: ينوي بالقلب ويتلفظ باللسان وليس بشيء لأن النية هي القصد بالقلب
“Niat adalah salah satu fardlu dari sekian fardlu shalat sebab sabda Nabi “sesungguhnya keabsahan ibadah adalah sesuai niatnya dan orang mendapat apa yang ia niatkan”. Dan, karena shalat itu ibadah murni sehingga tidak sah tanpa niat, seperti puasa. Adapun tempat niat adalah di dalam hati. Apabila ia berniat di hatinya tanpa diucapkan di lisannya, maka itu cukup. SEBAGIAN SAHABAT KAMI ADA YANG BERKATA HARUS BERNIAT DENGAN HATI DAN MENGUCAPKANNYA DENGAN LISAN, ini bukan apa-apa sebab niat itu adalah kesengajaan dalam hati.”

Perhatikan bagaimana Imam Syairazi mengatakan bahwa niat tempatnya di hati sehingga tidak wajib diucapkan dengan lisan. Beliau mengkritik salah satu tokoh Syafi’iyah yang mengatakan pelafalan niat dengan lisan adalan wajib. Kritik inilah yang kemudian dijadikan bahan untuk membuat narasi bohong oleh orang yang disebut ustadz tersebut sebagaimana di atas. Beda jauh antara mengkritik orang yang mewajibkan pelafalan niat dengan mengkritik kesunnahan pelafalan niat.

Agar lebih jelas pendapat Imam Syairazi tentang ini, saya kutip perkataan lain dari Imam Syairazi di kitab yang sama dalam bab yang berbeda. Ia berkata:

المهذب في فقة الإمام الشافعي للشيرازي (1/ 35)
فصل: ويجب أن ينوي بقلبه أن النية هي القصد تقول العرب: نواك الله بحفظه أي قصدك الله بحفظه فإن تلفظ بلسانه وقصد بقلبه فهو آكد.
“Pasal: Wajib berniat di hati. Sesungguhnya niat adalah menyengaja. Orang Arab berkata: “Semoga Allah membuatmu berniat menjaganya”, maksudnya adalah “semoga Allah membuatmu sengaja menjaganya.” MAKA APABILA IA MENGUCAP NIAT DENGAN LISANNYA DAN MENYENGAJA DENGAN HATINYA, MAKA ITU LEBIH KUAT LAGI”.

Jelas sekali Imam Syairazi menyunnahkan pelafalan niat dengan lisan agar yang di hati lebih kuat atau lebih mantap. Bagaimana bisa kemudian ada kutipan bahwa beliau mengatakan sebaliknya? Meskipun dicari bagaimana pun, takkan ditemukan redaksi fiktif dari Imam Syairazi seperti dinyatakan orang yang disebut ustadz ini. Entahlah mungkin dia punya kitab Muhadzdzab versinya sendiri yang isinya ia karang sendiri semaunya.

2. IMAM NAWAWI JUSTRU MENYUNNAHKAN PELAFALAN NIAT

Imam Nawawi tak pernah sekali pun melarang pelafalan niat atau mengatakan bahwa hal itu tidak disyariatkan seperti dikarang oleh orang yang disebut ustad ini. Justru yang ada adalah beliau menyunnahkan pelafalan niat. Berikut ini adalah teks perkataan beliau di kitab Syarah Muhadzdzab yang asli:

المجموع شرح المهذب (1/ 316)
النية الواجبة في الوضوء هي النية بالقلب ولا يجب اللفظ باللسان معها: ولا يجزئ وحده وان جمعها فهو آكد وأفضل هكذا قاله الأصحاب واتفقوا عليه
“Niat yang wajib dalam wudhu adalah niat di dalam hati. TIDAK WAJIB MENYERTAINYA DENGAN PENGUCAPAN LISAN dan tidak cukup apa bila di lisan saja. APABILA NIAT DI HATI DAN LISAN ITU DIKUMPULKAN (DILAKUKAN SEMUA), MAKA ITU LEBIH KUAT DAN LEBIH UTAMA. Inilah yang dikatakan oleh para sahabat (para ulama mazhab Syafi’i)” dan mereka sepakat atas ini.

Lalu dalam bab lain, beliau menjelaskan lagi hal ini sebagai berikut:
المجموع شرح المهذب (6/ 289)
ومحل النية القلب ولا يشترط نطق اللسان بلا خلاف ولا يكفي عن نية القلب بلا خلاف ولكن يستحب التلفظ مع القلب كما سبق في الوضوء والصلاة
“Tempat niat adalah di dalam hati dan tidak disyaratkan untuk diucapkan dengan lisan tanpa ada perbedaan pendapat. Ibadah itu tidak cukup bila tanpa diniatkan di dalam hati, hal ini tanpa ada perbedaan pendapat. Akan tetapi DISUNNAHKAN MELAFALKAN NIAT beserta niat dalam hati tersebut, sebagaimana telah dibahasdi dalam bab wudhu dan shalat.”

Di kitabnya yang lain, Raudlat at Thalibin, Imam Nawawi juga menjelaskan:

روضة الطالبين وعمدة المفتين (1/ 50)
قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّ أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ، وَيَتَلَفَّظَ بِلِسَانِهِ، كَمَا سَيَأْتِي فِي سُنَنِ الْوُضُوءِ.
“Aku berkata: Para sahabat kami berkata, disunnahkan untuk berniat di hati dan diucapkan dengan lisan, sebagaimana nanti akan dijelaskan di Bab sunnah-sunnah wudhu.

روضة الطالبين وعمدة المفتين (3/ 59)
قُلْتُ: صِفَةُ النِّيَّةِ: أَنْ يَنْوِيَ الدُّخُولَ فِي الْحَجِّ أَوِ الْعُمْرَةِ أَوْ فِيهِمَا وَالتَّلَبُّسَ بِهِ. وَالْوَاجِبُ: أَنْ يَنْوِيَ هَذَا بِقَلْبِهِ. فَإِنْ ضَمَّ إِلَى نِيَّةِ الْقَلْبِ التَّلَفُّظَ، كَانَ أَفْضَلَ. - وَاللَّهُ أَعْلَمُ –
“Aku berkata: Sifat niat adalah agar berniat memasuki ibadah haji atau umrah atau keduanya dan mulai mengerjakannya. Yang wajib adalah meniatkan ini di dalam hatinya. APABILA NIAT DALAM HATI ITU DIBARENGI DENGAN PENGUCAPAN LISAN, MAKA ITU LEBIH UTAMA. Wallahu a’lam”.

Jadi jelas bagaimana posisi Imam Nawawi dalam hal ini: menyarankan agar niat yang wajib di dalam hati agar dibarengi dengan pengucapan dengan lisan agar lebih mantap.

3. YANG DIKRITIK ADALAH PENDAPAT AZ-ZUBAIRI YANG MEWAJIBKAN NIAT

Sebagaimana disinggung di atas, pendapat resmi mazhab Syafi’i adalah bahwasanya niat itu tak wajib diucapkan dengan lisan melainkan cukup di dalam hati saja. Pelafalan niat hukumnya hanya sunnah atau anjuran saja, bukan sebuah kewajiban. Akan tetapi ada ulama Syafi’iyah yang nyleneh dalam ini sehingga ia mewajibkan juga melafalkan niat di samping niat dalam hati. Ia adalah Syaikh Abu Abdullah az Zubairi. Ia salah paham dalam memahami perkataan Imam Syafi’i yang mewajibkan pelafalan takbiratul ihram (ucapan “Allahu Akbar”) dianggap sebagai pelafalan niat shalat. Kesalahpahaman inilah yang dikritik oleh Imam Syairazi, Imam Nawawi, Imam Rafi’i dan tak terhitung lainnya dalam kitab-kitab Syafi’iyah dan dianggap sebagai pendapat yang bukan apa-apa. Ini merupakan kejujuran ilmiah para ulama dalam meluruskan kesalahan ulama lainnya meskipun satu mazhab.

Dalam rangka meluruskan salah paham ini, Imam Nawawi berkata dalam Syarah Muhadzdzab:

المجموع شرح المهذب (3/ 277)
فإن نوى بقلبه ولم يتلفظ بلسانه أجزأه على المذهب وبه قطع الجمهور وفيه الوجه الذي ذكره المصنف وذكره غيره وقال صاحب الحاوي هو قول أبي عبد الله الزبيري أنه لا يجزئه حتى يجمع بين نية القلب وتلفظ اللسان لأن الشافعي رحمه الله قال في الحج إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وإن لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح إلا بالنطق قال أصحابنا غلط هذا القائل وليس مراد الشافعي بالنطق في الصلاة هذا بل مراده التكبير
“Apabila ia berniat dalam hatinya saja dan tak melafalkannya dengan lisan, maka itu cukup menurut mazhab Syafi’i. Hal ini dipastikan oleh mayoritas ulama. Dan dalam kasus ini ada satu pendapat yang disebutkan oleh as-Szyairazi dan ulama lainnya dan disebutkan oleh penulis kitab al-Hawi, ini adalah pendapat Abu Abdillah az-Zubairi bahwasanya tidak cukup bagi orang shalat hingga ia mengumpulkan antara niat di hati dan pelafalan dengan lisan sebab Imam Syafi’i rahimahullah berkata dalam kasus Haji, “Bila ia berniat haji atau umrah, maka cukup meski tak melafalkan apa-apa, berbeda dengan shalat yang tidak sah kecuali dengan melafalkan”. Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) berkata, “Orang ini salah, ‘pelafalan dalam shalat’ dalam perkataan Imam Syafi’i tersebut tidak lain adalah takbiratul ihram”.

Kritik yang sama terhadap Abu Abdillah Az-Zubairi yang mewajibkan pelafalan niat itu juga dilakukan oleh Imam Rafi’i sebagaimana berikut:

العزيز شرح الوجيز المعروف بالشرح الكبير ط العلمية (1/ 470)
وحكى صاحب "الإفصاح" وغيره عن بعض أصحابنا أنه لا بد من التلفظ باللسان؛ لأن الشافعي -رضي الله عنه- قال في الحج: ولا يلزمه إذا أحرم ونوى بقلبه أن يذكره بلسانه، وليس كالصلاة التي لا تصح إلا بالنطق". قال الجمهور: لم يرد الشافعي -رضي الله عنه- اعتبار التلفظ بالنية، وإنما أراد التكبير.
“Penulis kitab al-Ifshah dan lainnya menceritakan dari sebagian sahabat kami bahwasanya tidak boleh tidak wajib melafalkan niat sebab Imam Syafi’i radliyallahu anhu berkata dalam bab Haji, “Tidak wajib baginya ketika berihram dan berniat di hatinya untuk mengucapkannya dengan lisannya. Ini bukan seperti shalat yang tidak sah tanpa pengucapan”. Mayoritas ulama berkata: Imam Syafi’i tidak bermaksud pada pelafalan niat, sesungguhnya yang ia maksud tidak lain adalah takbiratul ihram”.

Jadi, adalah kebohongan besar ketika orang yang disebut ustadz tersebut berkata bahwa:

1. Yang pertama kami menyunnahkan pelafalan niat di kalangan ulama Syafi’iyah adalah Abu Abdillah az Zubairi. Ini kebohongan. Yang benar adalah beliau adalah orang yang mewajibkan pelafalan niat.
2. Imam Syairazi, Imam Nawawi dan Imam Rafi’i menolak ajaran kesunnahan pelafalan niat dan menganggapnya tidak disyariatkan. Ini juga kebohongan. Yang benar adalah mayoritas ulama Syafi’iyah, termasuk ketiganya menolak pendapat yang mewajibkan pelafalan niat. Mereka sepakat bahwa pelafalan hanyalah SUNNAH BUKAN WAJIB.

Semoga bermanfaat.

Abdul Wahab Ahmad
23 jam ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.