Kalau anda baca buku buku para ulama' niscaya anda akan mendapatkan perselisihan antara mereka dalam pembagian bid'ah.
Dari ulama' ada yang membagi bid'ah menjadi lima bagian; ada bid'ah yang hukumnya wajib, ada yang sunnah, ada yang haram, ada yang makruh dan ada yang mubah.
Ada pula yang mengingkari pembagian di atas, dan beranggapan bahwa bid'ah itu hanya ada satu yaitu haram bin sesat alias dholalah.
Ada lagi yang membagi bid'ah menjadi dua bagian, bid'ah i'itiqadiyah dan bid'ah amaliyah.
Ada pula yang membagi bid'ah di tinjau dari sisi lain, ada bid'ah haqiqiyah (alias bid'ah murni) contohnya, mengharamkan yang halal, atau menghalalkan yang haram, dan contoh kongkritnya: mengharamkan poligami atau mehalalkan ucapan "selamat natal" menghalalkan wanita muslimah menikah dengan lelaki kafir.
Di antara contohnya ialah mengharamkan lelaki muslim dari mengenakan songkok hitam, atau baju batik, atau nasi rendang, atau nasi pecel madiun dan lainnya.
Ada pula bid'ah idhafiyah (parsial) yaitu ibadah yang terjadi pada amalan yang secara prinsip disyari'atkan, namun ditunaikan secara berlebih lebihan, atau dilakukan secara menyimpang, contohnya : memperlakukan shalat tarawih bagaikan shalat fardhu, sehingga yang tidak shalat tarawih dianggap sama halnya meninggalkan shalat fardhu, atau menganggap doa istiftah sebagai rukun shalat, sehingga yang tidak qunut disamakan dengan orang yang meninggalkan rukun shalat.
Atau menganggap berpakaian putih sebagai satu kewajiban atas lelaki sehingga yang berpakaian berwarna gelap bagaimana yang mengenakan pakaian sutra, sehingga dicibirkan, dicemooh, atau disikapi bagaikan seorang pezina atau pelaku dosa besar lainnya.
Berpakaian putih adalah sunnah, namun tatkala diperlakukan secara berlebihan maka itu anggapan dan perlakuan ini menjadi bid'ah idhafiyah.
Pakaian berwarna hitam bagi wanita itu lebih utama dibanding warna lainnya, namun menganggapnya sebagai satu kewajiban, sehingga wanita wanita muslimah yang berpakaian coklat atau biru atau hijau dianggap bagaikan wanita telanjang, maka sikap berlebihan ini adalah bentuk bid'ah idhafiyah.
Ada lagi pembagian bid'ah menjadi bid'ah mukaffirah semisal mengingkari nama nama Allah, atau menyerupakan Allah Ta'ala dengan makhluq-Nya, atau mengingkari taqdir Allah maka ini adalah bid'ah yang dapat menyebabkan pelakunya menjadi kafir.
Demikian pula keyakinan adanya kulit dan isi, atau kasta dalam beragama, sehingga siapapun yang telah dianggap mencapai tingkatan tertentu dalam beragama diangap bebas bertindak, boleh berzina, boleh minum khamer, tidak lagi berkewajiban shalat atau puasa, maka bid'ah semisal ini disebut dengan bid'ah mukaffirah.
Ada pula bid'ah mufassiqah yaitu bid'ah-bid'ah yang tidak sampai pada pada level menyebabkan pelakunya terancam kekafiran, namun demikian ia telah melakukan dosa besar, semisal bid'ah bid'ah yang banyak dilakukan oleh masyarakat, diantaranya memperingati hari hari kematian, atau merutinkan qiyamul lain hanya pada malam jum'at atau menari nari ketika mebaca ayat ayat tertentu, atau merutinkan bacan dzikir karya karya sebagian manusia, dan meyakininya lebih utama dibanding dzikir yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ada pula bid'ah mufassiqah yaitu bid'ah-bid'ah yang tidak sampai pada pada level menyebabkan pelakunya terancam kekafiran, namun demikian ia telah melakukan dosa besar, semisal bid'ah bid'ah yang banyak dilakukan oleh masyarakat, diantaranya memperingati hari hari kematian, atau merutinkan qiyamul lain hanya pada malam jum'at atau menari nari ketika mebaca ayat ayat tertentu, atau merutinkan bacan dzikir karya karya sebagian manusia, dan meyakininya lebih utama dibanding dzikir yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ada lagi bid'ah yang disepakati, akan status bid'ahnya semisal bertapa, berdzikir sambil berjemur di bawah terik matahari, atau bid'ah meyakini bahwa Al Qur'an adalah makhluq, bid'ah membaca al qur'an secara sungsang, dan lainnya.
Ada pula bid'ah yang diperselisihkan semisal qunut subuh, puasa sya'ban, mencukur habis kumis, bersedekap ketika i'itidal (bangkit dari ruku'), mengulang umrah berkali kali dalam satu perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak kaum muslimin saat ini, seusai dari menunaikan umrah, mereka segera pergi ke Tan'im lalu berihram lagi untuk menunaikan umrah ke-2, atau ke-3 dan selanjutnya, dan masih banyak lagi contohnya.
So, apa gunanya mengetahui pembagian bid'ah semacam di atas?
Gunanya sangat besar, agar anda selamat dari wabah "gebyah uyah pdo asine" alias kebiasaan "generalisasi" sikap dan vonis terhadap pelaku bid'ah.
Kegagalan dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasikan suatu amalan bid'ah akan menghasilkan sikap ekstrim bin radikal.
Karena itu, yuk biasakan belajar agama dengan lebih mendalam, tinggalkan rasa "puas" lalu merasa sudah jadi ulama' besar, hanya berbekalkan jiping (ngaji kuping) yang hanya mengenalkan anda kepada judul judul ilmu atau hukum hukum global, namun perinciannya masih jauh panggang dari api.
Kalau anda bertanya: mana sumber dari perincian di atas?
Jawabannya: daftarkan dulu diri anda di alamat berikut, insyaAllah kalau anda telah diterima, insyaAllah akan saya jawab pertanyaan anda.
http://pmb.stdiis.ac.id/
Semoga mencerdaskan.
Dr Muhammad Arifin Badri
01 Desember 2019 pukul 11.51 ·
#Dr Muhammad Arifin Badri