Sikap Terhadap Asya’irah

Sikap Terhadap Asya’irah - Kajian Medina
Sikap Terhadap Asya’irah

Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby (semoga Allah senantiasa menjaga beliau)
Alih bahasa: Abu Khaleed Resa Gunarsa

Segala puji bagi Allah saja, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi terakhir. Amma ba’du:

Ini adalah jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada Guru Kami Syaikh Ali bin Hasan al Halaby (hafizhahullah), semoga Allah memberi manfaat kepada kita semua. Amin.

Pertanyaan: Apakah Asya’irah termasuk Ahli Sunnah? Bagaimana seharusnya sikap seorang penuntut ilmu atau dai salafy di tengah masyarakat yang tersebar padanya akidah Asy’ariyyah, terkhusus disebabkan keyakinan mereka bahwa hanya Asya’irah lah ahli sunnah. Seorang dai akan mengajarkan akidah tauhid, dan sebagaimana dimaklumi bahwa di antara macam tauhid adalah tauhid asma wa shifat, sehingga ia perlu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan pelbagai sekte dalam masalah tauhid asma wa shifat? Semoga Anda berkenan memberi kami faidah, semoga Anda diberikan pahala.

Jawaban: Adapun tentang bahwasanya Asya’irah termasuk Ahli Sunnah, dalam hal ini Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) menjelaskan:

Pertama: Asya’irah termasuk Ahli Sunnah dalam berbagai hal yang selaras dengan keyakinan Ahli sunnah.

Kedua: Asya’irah termasuk Ahli Sunnah jika dihadap-hadapkan dengan kelompok Syiah Rafidhah.

Ketiga: Asya’irah termasuk Ahli sunnah di negeri-negeri yang tidak ada padanya Ahli Sunnah.

Keempat: Kita tidak bisa menemukan suatu keyakinan final yang disepakai oleh para tokoh Asya’irah yang dapat kita jadikan acuan untuk menghukumi mereka karena hampir setiap tokoh dari tokoh Asya’irah menyelisihi lainnya. Mereka bersatu dalam keasy’ariyahan, namun berselisih di antara sesama mereka sendiri.

Kelima: Senyatanya, aku berpandangan, dan ini di masa-masa belakangan ini, aku meneliti dengan seksama sikap para ulama dan interaksi mereka dengan kelompok Asya’irah. Aku ingin hendaknya Anda benar-benar memperhatikan poin ini. Sikap ilmiah terhadap akidah Asya’irah jangan sampai menjadi pemicu keributan di tengah-tengah masyarakat muslim, pula jangan sampai menjadi sebab pertentangan. Khususnya, terus terang, kebanyakan dari para pemangku jabatan, para mufti, para mentri dari sejak berabad-abad lalu mereka dari kalangan Asya’irah.

Aku mendapati dalam banyak perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, sampai-sampai beliau berkata dalam fatwanya, “Kebanyakan orang mengetahui betapa aku sangat ingin menghapus perselisihan dan pertengkaran antara kaum Hanabilah dan Asya’irah.”

Imam Badruddīn Ibnu Jamā’ah dahulu seorang hakim di Mesir –beliau termasuk orang-orang yang menghakimi Syaikhul Islam dan memvonis beliau-, ketika terjadi fitnah di sebagian negeri muslimin, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Jamā'ah pun bergandengan tangan untuk membantah dan berdebat melawan musuh-musuh Islam. Beliau tidak mengatakan, “Ia adalah orang yang telah menghakimi ku, ia seorang Asy’ary dan aku Salafy.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah diajak berdebat oleh Alauddin Al-Bājiy dan ia adalah seorang tokoh Asya’irah di masanya. Ketika beliau sampai kepadanya, dalam perdebatan itu Syaikhul Islam, sebagaimana dinukil oleh As Subkiy, berkata, “Engkau adalah guru kami dan aku mengambil faidah darimu,” padahal ia seorang penganut faham Asy’ariyah.

Syaikhul Islam sendiri juga cukup keras terhadap Asya’irah. Namun hukum secara normatif berbeda dengan hukum secara personal. Hukum dalam konteks akidah berbeda dengan hukum dalam konteks sosial dan realitas. Saya yakin, jika kita mencermati permasalahan ini, banyak dari persoalan sulit yang kita hadapi sekarang ini menjadi mudah.

Aku kira poin yang terakhir ini bagian dari jawaban, padanya ada jawaban dari pertanyaan Anda yang kedua. Perlu juga dicatat, saya bisa menyertakan kepada Anda dari kitab-kitab Asya’irah dan dari kitab-kitab ulama Syafi’iyyah yang sangat sesuai dengan madzhab Ahli sunnah. Maka, mengapa dalam situasi seperti ini kita tidak menukil perkataan mereka daripada menukil perkataan Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Baz? Kita datangkan perkataan mereka yang notabene orang-orang menghormati dan memuliakan mereka sebagaimana kita. Dengan hal ini fitnah akan mereda dan hujah menjadi kuat.

Kalimat terkahir dalam kesempatan ini secara umum, kami menasehati para penuntut ilmu agar mereka menjadikan kelemah-lembutan sebagai senjata terbesar dalam dakwah mereka. Pertengahan Alquran adalah firman-Nya, “Wal yatalaththaf” (hendaknya ia berlemah-lembut). Dan kita juga diperintahkan untuk berlemah-lembut, “Dan begitulah kami jadikan kamu umat pertengahan, agar menjadi saksi atas manusia.” Tidak mungkin kita dapat menjadi saksi atas manusia dengan sikap keras dan kasar. Prinsip utamanya adalah lembut dan kasih sayang.

Aku mengetahui bahwa sebagian orang –mudah-mudahan di antara kalian tidak ada yang satu pun yang menjadi bagian mereka- berkata, “Ya Syaikh, bersikap keraslah.”

Ya, sikap keras itu disyariatkan dalam dua keadaan:
Pertama: darurat, bukan prinsip utama.
Kedua: pada kondisi kuat, bukan dalam keadaan lemah.

Jika kita perhatikan keadaan kita dan di kebanyakan negeri muslimin, kita saksikan bahwa kebanyakan Ahli sunnah dalam keadaan lemah dan tidak dalam keadaan kuat.

Sungguh membuatku takjub perkataan Syaikh Shalih Ālu asy-Syaikh (hafizhahullāh wa ra’āh). Beliau berkata, “Para dai perlu untuk mempelajari fiqih terkait kondisi kuat dan lemah.” Kapan berbicara dengan keras dan kapan berbicara dengan lembut, kapan membantah dan kapan diam, kapan memerintah dan kapan melarang. Ini semuanya termasuk persoalan yang krusial. Dan semua ini kembali kepada kaidah tarjih (pengambilan pendapat terunggul) maslahat dan mafsadat, sebagaimana dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dari seorang salaf, “Bukanlah seorang faqih yang sekedar mengetahui kebaikan dari keburukan, akan tetapi seorang yang faqih itu adalah yang mengetahui yang terbaik dari dua kebaikan dan yang terburuk dari dua keburukan.”

Allah-lah pemberi pentunjuk kepada jalan yang lurus.

Kota Batu, Indonesia, 19 Syawwal 1438

Alee Massaid
3 Agustus 2017

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.