Oleh: Abdul Wahab Ahmad
Tarjih artinya tindakan mujtahid untuk mengunggulkan kesimpulan dari satu atau beberapa dalil di atas dalil-dalil lainnya yang berbeda dengan berdasarkan pada hasil ijtihadnya.
Misalnya: Ada beberapa dalil yang menyatakan bahwa "bismillah" wajib dibaca ketika shalat. Demikian juga ada beberapa dalil yang menyatakan bahwa "bismillah" tidak wajib dan bahkan tak dibaca dalam shalat. Dari sini kemudian ada beberapa kemungkinan kesimpulan soal bacaan "bismillah" dalam shalat ini antara wajib dibaca, tak wajib dibaca atau seharusnya tak dibaca. Mazhab Hanafiyah dan Hanabilah kemudian mentarjih kesimpulan bahwa ia sunnah, mazhab Syafi'iyah mentarjih kesimpulan wajib dan mazhab Malikiyah mentarjih kesimpulan makruh.
Semua kesimpulan akhir dari para mujtahid tentang suatu masalah adalah hasil tarjih ijtihadi mereka setelah mencermati semua dalil yang ada dan ditimbang mana yang menurut mereka paling kuat. Tak ada ceritanya mereka mengambil dalil yang menurut mereka lebih lemah sebagai kesimpulan akhir atau hasil tarjih.
Lalu apakah sekarang masih memungkinkan tarjih? Secara umum tarjih tidak akan terjadi lagi sebab semua dalil sudah habis diteliti di masa lalu oleh para imam dan menghasilkan hasil tarjih yang bisa dilihat di kitab-kitab fikih. Semua kritik atas hasil tarjih yang ada, misalnya ada hadis yang dianggap kurang shahih, ada kemusykilan soal konsekuensinya, dan kritik lainnya juga sudah dijawab di kitab masing-masing mazhab itu. Jadi, semua sudah selesai, saudara-saudara.
Memaksakan diri melakukan tarjih ulang di masa ini hanya membuang-buang waktu sebab sejatinya hanya mencari sesuatu yang sudah tersedia dan polemiknya sudah dibahas tuntas sejak berabad-abad yang lalu. Selain itu, hasil tarjih orang di masa ini apa layak dibandingkan dengan hasil tarjih para imam mujtahid di masa lalu? Tentu tidak.
"Ijtihad" yang ada di masa ini kebanyakan tak layak disebut tarjih. Yang ada hanyalah Si A condong pada hasil tarjih mazhab B dan si C condong pada hasil tarjih mazhab D, dan begitu seterusnya. Jadi, hanya soal kecondongan hati lebih sreg pada dalil kelompok mana, tak lebih dari itu. Mau meneliti sebanyak apapun, masalah fikih yang sudah dibahas berabad-abad lalu takkan menghasilkan ayat baru, hadis baru, atau kaidah fikih baru sehingga otomatis takkan menghasilkan kesimpulan yang baru pula.
Kalau pun mau membuat pendapat yang baru, paling banter hanyalah pendapat gado-gado yang terdiri dari gabungan pendapat mazhab ini dan mazhab itu sesuai selera peraciknya. Beda orang tentu akan beda lagi racikan gado-gadonya. Masalahnya, semua racikan gado-gado ini adakah yang dilakukan oleh mujtahid sekaliber para imam mazhab? Tidak. Lalu mau pilih racikannya siapa?
Kecuali memang ada suatu masalah yang betul-betul baru yang tak ada di masa lalu dan menimbulkan polemik, maka tarjih bisa dilakukan saat ini untuk mencari pendapat terkuat di antara beberapa opsi yang muncul. . Demikian pula bila suatu masalah sudah dibahas tuntas di masa lalu tetapi situasi dan kondisi yang menjadi dasar keputusan di masa lalu itu sudah berubah sehingga butuh tarjih ulang, maka tarjih dalam konteks ini merupakan keniscayaan.
Semoga bermanfaat.
Abdul Wahab Ahmad
17 Desember 2019 pukul 12.40 ·
#Abdul Wahab Ahmad
