Pentingnya Belajar Ushul Fiqh dan Membaca Literasi Fiqih Ikhtilaf

Pentingnya Belajar Ushul Fiqh dan Membaca Literasi Fiqih Ikhtilaf - Kajian Medina
[ Fiqih Ikhtilaf ]

Kyai Abdul Wahab menulis :

“Dulu hasil ijtihad fikih itu dengan jujur selalu dinisbatkan pada pelaku ijtihadnya. Lihat saja fikih empat mazhab selalu dinisbatkan pada mazhab itu sendiri, ada fikih mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Inilah kejujuran akademik selama berabad-abad. Dengan tulus, tak satu pun ada yang mengklaim ijtihadnya pasti benar dan siapa pun yang tak sepakat dengan itu lantas berarti salah, bid'ah atau melawan sunnah.

Hingga akhirnya muncul era di mana sebagian orang menisbatkan hasil ijtihad mereka sendiri pada al-Quran dan Hadits. Maka muncullah kitab-kitab dengan judul Fiqh Sunnah, Fiqh al-Qur'an dan Sunnah dan semacamnya. Isinya ijtihad pribadi yang murni tarjih pribadi pengarangnya, tapi hasilnya disajikan pada orang awam seolah adalah al-Qur'an dan Sunnah itu sendiri. Dari sinilah mulai muncul narasi seolah yang dikatakannya mutlak benar dan yang tak sepakat berarti mutlak salah, bid'ah, atau melawan sunnah.”

Nukilan status selesai..

Ya udah, ini sekalian kami nukilkan bagaimana adab Al-Imam An-Nawawi رحمه الله di dalam memaparkan pendapat fiqih mazhab syafi’i maupun berbagai pendapat ulama lain di dalam kitab beliau Al-Majmu’.

Hanya sepuluh masalah yang kami nukil dari ratusan masalah di mana beliau selalu mengucapkan kalimat عندنا yang maknanya kurang lebih di dalam mazhab kami.
Lihat, beliau tidak sama sekali mengakatan ini pendapat Allah dan Rasulnya.
Karena memang, kita tidak boleh bahkan tidak bisa sama sekali memastikan bahwa pendapat kita di dalam masalah yang diperselisihkan oleh para ulama adalah pendapat yang Allah mau, atau pendapat yang benar di sisi Allah. Tidak bisa, kecuali kamu mendapatkan wahyu dari langit, dan itu tidak mungkin.

Maka, penting sekali bagi penuntut ilmu untuk menerapkan adab ini di dalam kehidupan ilmiyahnya,

Al-Imam An-Nawawi mengatakan :

Pertama :
وسجود السهو سنة عندنا ليس بواجب وقال أبو حنيفة هو واجب يأثم بتركه
“Dan sujud sahwi itu hukumnya sunnah di dalam mazhab kami, bukan wajib. Dan Abu Hanifah berpendapat bahwa itu wajib, berdosa apabila ditinggalkan.”

Kedua :
الختان واجب على الرجال والنساء عندنا وبه قال كثيرون من السلف كذا حكاه الخطابي وممن أوجبه أحمد وقال مالك وأبو حنيفة سنة في حق الجميع
"Sunat itu hukumnya wajib atas laki-laki dan perempuan di dalam mazhab kami dan ini juga adalah pendapat mayoritas ulama salaf sebagaimana telah disampaikan oleh Al-Khottobi, dan di antara yang berpendapat wajib adalah Ahmad. Adapun Malik dan Abu Hanifah, sunat itu hukumnya sunnah saja bagi laki-laki dan perempuan.”

Ketiga :
مس الدبر نافض عندنا على الصحيح وهو رواية عن أحمد وقال مالك وأبو حنيفة وداود وأحمد في رواية لا ينقض
“Menyentuh dubur itu membatalkan wudhu menurut pendapat yang sahih di dalam mazhab kami dan Ahmad juga berpendapat seperti ini di dalam riwayat. Adapun Malik, Abu Hanifah, Dawud dan riwayat lain dari Imam Ahmad, hal ini tidak membatalkan wudhu.”

Keempat :
فمنها غسل الجمعة وهو سنة عندنا وعند الجمهور وأوجبه بعض السلف
“Dan di antaranya adalah mandi jumat, dan ini sunnah di dalam mazhab kami dan jumhur. Dan ada sebagian ulama salaf yang mewajibkannya (mandi jumat).”

Kelima :
ذكرنا أن التيمم لا يرفع الحدث عندنا وبه قال جماهير العلماء وقال داود والكرخي الحنفي وبعض المالكية يرفعه
“Kami telah menyebutkan bahwa tayammum itu tidak mengangkat hadast di dalam mazhab kami dan Mayoritas ulama juga berpendapat demikian. Adapun Dawud, Al-Kharky Al-Hanafi dan sebagian Malikiyah berpendapat bahwa tayamum itu mengangkat hadats”

Keenam :
ركعتا الطواف سنة على الأصح عندنا وبه قال مالك وأحمد وداود وقال أبو حنيفة واجبتان
"Shalat dua rakaat setelah tawaf itu hukumnya sunnah di dalam mazhab kami, dan ini juga pendapat Malik, Ahmad dan Dawud. Adapun Abu Hanifah, beliau berpendapat ini wajib.”

Ketujuh :
وأما القنفذ فحلال عندنا لا يكره وبه قال مالك والجمهور وقال أحمد يحرم وقال أصحاب أبي حنيفة يكره

“Dan adapun daging Landak susu, maka ia halal di dalam mazhab kami, tidak makruh dan ini juga merupakan pendapat Malik dan Mayoritas Ulama. Adapun Ahmad, maka beliau berpendapat ini haram, dan Ashab Abu Hanifah berpendapat daging ini makruh.”

Kedelapan :

ذبيحة المرتد حرام عندنا وبه قال أكثر العلماء منهم أبو حنيفة وأحمد وأبو يوسف ومحمد وأبو ثور وكرهها الثوري وقال اسحق إن ارتد إلى النصرانية حلت ذبيحته

“Sembelihan orang murtad itu haram di dalam mazhab kami, dan ini juga pendapat kebanyakan ulama di antara mereka Abu Hanifah, Ahmad, Abu Yusuf, Muhammad, dan Abu Tsaur. Adapun Ats-Tsauri, makruh hukumnya. Adapun Ishaq, ia berpendapat apabila orang tadi murtad ke agama Nasrani, maka sembelihannya halal.”

Kesembilan :

قد ذكرنا أن الصحيح عندنا أن فعل التراويح في جماعة أفضل من الانفراد وبه قال جماهير العلماء حتى أن علي بن موسى القمي ادعى فيه الإجماع وقال ربيعة ومالك وأبو يوسف وآخرون الانفراد بها أفضل

”Telah kami sebutkan bahwa yang sahih di dalam mazhab kami adalah, shalat tarawih secara berjamaah itu lebih baik dari pada shalat sendirian, dan ini adalah pendapat jumhur ulama, sampai-sampai Ali bin Musa Al-Qummi mengklaim ijma’ akan pendapat ini. Adapun Rabiah, Malik, Abu Yusuf dan yang lainnya berpendapat bahwa shalat tarawih sendirian itu lebih baik.”

Kesepuluh :

قال العبدري من أصحابنا في كتابه الكفاية يجوز عندنا الجماع مستقبل القبلة ومستدبرها في البناء والصحراء قال وبه قال أبو حنيفة وأحمد وداود واختلف فيه أصحاب مالك فجوزه ابن القاسم وكرهه ابن حبيب ونقل غير العبدرى من اصحابنا ايضا انه لاكراهة فيه عندنا لأن الشرع ورد في البول والغائط والله أعلم

“Berkata Al-Abdary dari Sahabat kami (sesama ulama mazhab syafi’i) di dalam kitabnya Al-Kifayah, “boleh hukumnya di dalam mazhab kami posisi jima (berhubungan badan dengan istri) menghadap kiblat ataupun membelakanginya (kiblat) entah itu di dalam ruangan atau di padang pasir.” Dia pun mengatakan bahwa ini juga adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan Dawud. Adapun murid-murid Malik, mereka berbeda pendapat di dalam masalah ini, Ibnul Qasim membolehkan, Ibnu Habib memakruhkan. Dan ada nukilan lain selain Al-Abdary dari ashab kami juga bahwa tidak makruh sama sekali di dalam mazhab kami akan hal ini karena syariat hanya membahas hukum kencing dan buang air besar saja (di dalam larangan menghadap/membelakangi kiblat, tentang jima’ tidak)”

Yuk, mulai dari sekarang, kurangi ungkapan pendapat saya sesuai dengan qur’an dan sunnah.
Memangnya iya Allah dan Rasulnya berpendapat seperti itu juga?
Bilang aja secara jujur, ini pendapat ormas kami atau ini hasil tarjih kami sendiri.

(Masalah ini sulit dipahami kadang oleh mereka yang belum pernah belajar ushul fiqh atau membaca literasi tentang perbedaan pendapat di antara ulama. Tentang dalil-dalil yang kebanyakan bersifat dzanni dan tentang perbedaan ulama akan apakah kullu mujtahidin mushib atau kebenaran hanya satu, dan hanya satu pendapat saja yang tepat sasaran mengenai kebenaran di sisi Allah itu.)

Andang Supriana
30 Oktober (5 jam · )

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.