SEJARAH RASISME DAN SILSILAH ANAK MANUSIA
Sesaat setelah penaklukan Kota Mekah, atau biasa disebut peristiwa Fathu Makkah, Nabi Saw memerintah-kan sahabat Bilal mengumandangkan azan. Muadzin Nabi tersebut kemudian melakukannya di punggung Kakbah.
Demi memergoki seorang berkulit hitam merambati cagar yang menjadi kebanggaan bangsa arab, sejumlah pembesar Quraisy sontak menggerutu, nyinyir.
“Apa Muhammad tak punya muadzin selain lempung hitam itu?” kata al-Harits bin Hisyam.
“Sukurlah ayahku sudah mati, sehingga ia tak sampai melihat kejadian memalukan itu,” kata Itab bin Usaid, yang kelak ditunjuk Nabi sebagai Gubernur Mekah.
Abu Sufyan, orang tua dari sahabat Muawiyah, berkata, “No comment. Aku tak mau komentar.”
Dalam kitab tafsirnya, Al-Jami’ li Ahkami al-Quran, Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa para pembesar Quraish bersikap seperti itu karena kebanggaan atas nasab (iftikhar bin nasab), merasa banyak harta (takatsur bil amwal), dan sikap meremehkan orang yang tak berpunya (izdira’ bil fuqoro’).
Tetapi lebih jauh, orang dapat membaca bahwa mereka mengidap sentimen rasial, dan dengan demikian, ini adalah cerita tentang manusia-manusia rasis.
Petikan kisah di atas dinukil dari sahabat Ibn ‘Abbas saat beliau menjelaskan asbabun nuzul dari ayat yang menegaskan bahwa Allah sengaja menciptakan manusia dalam pelbagai suku dan bangsa agar saling berakrab-akraban (QS. Al-Hujurat: 13). Sementara orang-orang Quraisy bertahan dengan asumsi lazim di kalangan mereka, bahwa kulit hitam adalah kelas budak.
Pandangan semacam ini sebetulnya bertebaran di mana-mana; di hampir seluruh relung psikologi masyarakat mana saja. Dalam hal bahwa bangsa berkulit hitam dianggap sebagai secara kodrati merupakan manusia budak, itu ditunjukkan dalam beberapa banyak literatur keagamaan.
Dan semua bermula dari Nabi Nuh 'alaihis salam.
Setelah thufan (banjir bandang) menerpa seantero daratan bumi, tak ada lagi yang tersisa, kecuali makhluk hidup yang sempat naik ke Bahtera sang Nabi. Begitupun ras manusia, hanya tersisa sejumlah keluarga (menurut Syeikh Yaqut al-Baghdadi dalam Mu'jam al-Buldan, terdapat 80 keluarga).
Belum selesai, setelah keluar dari bahtera pun, rombongan Nabi Nuh didera wabah. Maka tinggallah Nuh dan tiga orang anak, plus menantunya. Anaknya yang lain yang bernama Kan'an, yang konon lahir dari ibu berbeda, ikut tumpas ditelan air bah.
Imam Ibn Katsir, dalam tafsirnya menjelaskan, "Tidak ada manusia yang tersisa selain keturunan Nabi Nuh. Semua manusia adalah keturunan Nabi Nuh." Ini adalah penafsiran beliau, mengutip penjelasan dari Sayyidina Ali dan Al-Qatadah, atas ayat:
Waja'lna dzurriyyatahu humul baqin. "Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (QS. Al-Shaffat: 77)
Dari sini kemudian Nabi Nuh mendapat gelar Abul Basyar Tsani (Bapak Manusia II), setelah Nabi Adam lebih dulu digelari dengan Abul Basyar Al-Awwal (Bapak Manusia I). Sementara itu, ketiga putra Nabi Nuh penyambung silsilah anak-anak Adam yang dimaksud adalah Sam, Ham, dan Yafits. Dalam Tarikh-nya, Ibn Khaldun menyebut bahwa Yafits adalah yang tertua, Ham anak kedua, dan Sam merupakan putra bungsu.
Memang, tidak semua orang yakin bahwa mereka ini adalah puak dari segala bangsa di seluruh penjuru dunia. Keraguan ini muncul akibat teori yang menyatakan bahwa banjir Nabi Nuh sebetulnya tidak menerpa seluruh daratan, melainkan hanya beberapa belahan bumi belaka.
Dasar argumennya, tidak setiap bangsa mengetahui, dan lalu merekam, kejadian tersebut. Kalau fenomena menakjubkan macam itu benar-benar bersifat global, pasti terdapat ingatan kolektif mengenai itu di seluruh sudut bumi, paling tidak dalam bentuk dongeng atawa legenda. Nyatanya tidak ada yang seperti itu.
Narasi semacam ini tampak masuk akal terutama kalau naskah kitab suci dianggap sebagai teks biasa saja, atau apalagi tidak dipercaya sebagai Firman Tuhan yang memiliki derajat kebenaran mutlak. Dalam pandangan ini, teks kitab suci --termasuk al-Quran-- pada akhirnya jatuh menjadi sekedar manuskrip yang dikarang oleh sekelompok orang pada masa tertentu, sebutlah Al-Quran dikarang oleh Muhammad, atau Perjanjian Lama ditulis oleh Musa dan dilanjutkan oleh para Rabi pengikutnya. Derajat keabsahannya tidak lebih tinggi daripada informasi tertentu yang diselorohkan oleh tukang ojek di pengkolan pasar 16 Ilir.
Tentu saja, bagi kaum beriman, yang seperti ini akan serta merta teranulir.
Maka Imam al-Thabari pun mengutip sebuah hadits, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sam adalah puak bangsa Arab, Yafits merupakan nenek moyang bangsa Romawi, dan Ham tak lain bapak bangsa Afrika.” Hadits tersebut juga dikutip Imam Ibn Katsir dalam kitab Tarikh-nya, Al-Bidayah wa al-Nihayah, melalui galur sanad Imam Ahmad ibn Hanbal.
Ibn Katsir akan tetapi juga melansir hadits yang secara tekstual menyuguhkan informasi yang cukup kontradiktif. Bahwa, apabila dalam hadits di atas disebutkan Sam sebagai bapak bangsa Arab dan Yafits merupakan pendahulu bangsa Romawi, maka dalam hadits riwayat Said bin al-Musayyib ini Sam disebut sebagai nenek moyang dari bangsa Arab dan Romawi sekaligus. Berikut ini redaksinya:
“Nuh memiliki tiga putera, yakni Sam, Yafits, dan Ham. Sam melahirkan bangsa Arab, Romawi, dan Persia. Yafits menurunkan bangsa Turki, Khazar (Shaqlab), dan Yakjuj Makjuj. Ham menjadi puak bagi bangsa Koptik, Sudan, dan Berber.”
Mengutip Al-Sya’bi, Imam al-Thabari menjelaskan bahwa Nabi Nuh membagi wilayah menjadi tiga, sesuai jumlah anaknya. Area paling tengah, meliputi dataran timur sungai Nil (Mesir), sungai Eufrat dan Tigris (Mesopotamia), sampai perbatasan gunung Qasioun, diberikan kepada si bungsu Sam. Sementara Yafits ditunjuk untuk mendiami tanah bagian utara (Syria), dan Ham mewarisi bagian selatan (bagian barat sungai Nil, Afrika).
Ringkasnya, seperti ditengarai Imam al-Qurthubi, Sam adalah Bapak bagi bangsa Kulit Putih, Yafits adalah Bapak bagi bangsa Kulit Cokelat/Merah, dan Ham adalah Bapak bagi bangsa kulit hitam.
Anak turun Sam, atau juga disebut bangsa Semit, melahirkan Nabi-Nabi. Hampir keseluruhan Nabi adalah keturunan Sam, termasuk para Nabi dari bangsa arab (yang masih tergolong dalam rumpun Semitik). Seperti dikatakan Imam al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur, Nabi yang memiliki kebangsaan arab ada lima; Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Ismail, Nabi Syu’aib, dan Nabi Muhammad Saw.
Meskipun demikian, beberapa ulama percaya bahwa ada saja Nabi yang berasal dari keturunan Ham dan Yafits. Lukman al-Hakim, umpamanya. Menurut Said ibn Musayyib, seperti ditunjukkan Imam al-Jurjani dalam Darj al-Durar fi Tafsir al-Ay wa al-Suwar, Lukman adalah seorang Nabi berkulit hitam dari daerah Habasyah, dan dengan demikian merupakan keturunan Ham. Sementara Jirjis, salah seorang keturunan Yafits, syahdan adalah juga Nabi yang diutus untuk wilayah Syam.
Umumnya, Yafits dipercaya sebagai menurunkan raja-raja. Namrud dan para Kaisar Persia adalah beberapa di antaranya. Bahkan terdapat sejumlah teori yang menyatakan bahwa penghuni kepulauan Nusantara (Sundaland), yang sekarang jadi Republik Indonesia, adalah keturunan Yafits. Kejayaan peradaban yang dibangun oleh raja-raja Nusantara pada saat itu bahkan sampai mendorong seorang Profesor Santos melahirkan teori bahwa Sundaland adalah Benua Atlantis. Tetapi tentu saja, terdapat keturunan Sam atau Ham yang menjadi raja, seperti para Firaun Mesir yang --menurut Ibn Khaldun-- adalah cucu-cucu Ham.
Yang celaka adalah keturunan Ham. Dalam Badai’uz Zuhur fi Waqa’i al-Duhur, karya Ibn Iyas, diceritakan bahwa Ham terkena tulah doa Nabi Nuh oleh sebab tidak menjawab saat dipanggil. Konon, Nabi Nuh mendoakan keturunan Ham menjadi bangsa yang hina dina (adzillah) serta menjadi budak bagi keturunan Sam.
Riwayat ihwal hitamnya kulit Ham dan keturunannya juga sesungguhnya unik. Bahwa, seperti disebut Imam Al-Qurthubi, suatu kali Nabi Nuh memergoki Ham tidur dalam kondisi telanjang. Sekonyong-konyong, kulit Ham menghitam akibat pandangan murka Nabi Nuh.
Tepat pada poin inilah sebetulnya orang menemukan justifikasi atas pernyataan, “bangsa kulit hitam adalah bangsa budak”. Kisah yang juga disebut sebagai “Kutukan Ham” ini bahkan eksplisit termaktub dalam kitab-kitab suci macam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Itulah barangkali sebab kenapa di sejumlah tempat, rasisme bahkan disokong oleh argumentasi keagamaan.
Pengikut organisasi Ku Klux Klan, misalnya, adalah para fanatik Kristen yang tak berhenti mengampanyekan Supremasi Kulit Putih (White Supremacist). Pola ideologis yang mirip juga dapat kita temukan pada NAZI-nya Adolf Hitler. Dan sampai hari ini, terutama di Amerika, persoalan rasial macam ini tidak pernah benar-benar selesai, betapapun diksi “Negro” (Nigger) tak lagi boleh diucapkan dan harus diperhalus dengan sebutan “Afro-Amerika”, biarpun politik Apartheid telah dimusnahkan dari buku aturan kemanusiaan.
Sebaliknya, Islam memberi contoh baik saat Nabi Muhammad Saw membalik pola pikir lama yang rasis dengan mengambil budak kulit hitam bernama Bilal sebagai sahabat dekat. Disebut dalam tafsir al-Qurthubi, suatu saat Nabi menyeru Tsabit bin Qais memandangi sekelompok orang yang sedang berlalu-lalang. “Apa yang kau lihat?” tanya Nabi. Tsabit menjawab, “Aku melihat bangsa kulit putih, hitam, dan merah.” Nabi bersabda, “Ingatlah, engkau tidak lebih unggul daripada mereka, kecuali dengan ketakwaan.”
Dalam sebuah hadits yang terkenal, Nabi bersabda, “aan-nasu min adam, wa adamu min turab, wa la fadhla li ‘arabiyyin ‘ala ‘ajamiyyin illa bit taqwa. Manusia berasal dari Adam, dan Adam terbuat dari tanah. Bangsa arab tidak lebih unggul dari non-arab, kecuali berkat ketakwaan.”
Jika betul, seperti penafsiran al-Husain ibn al-Fadhal, diksi “‘alamin” merujuk pada hanya “makhluk yang berakal atau manusia”, maka bentuk plural lafazh tersebut menunjukkan keberagaman jenis manusia. Dan karena nyatanya manusia memang beragam, dari bentuk fisik sampai bahasa, maka yang mesti dicamkan adalah penggalan ayat al-Quran yang sama yang telah dikutip sebelumnya; inna akramakum ‘indallaahu atqaakum (yang paling mulia dari kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa).
Rumah Cahaya, Lukman Hakim Husnan
Lukman Hakim Husnan bersama Stiq Al-lathifiyyah dan 2 lainnya.
28 Agustus pukul 06.40 ·
#Lukman Hakim Husnan