-Rudy Fachruddin-
🍏Sebagai seorang pelajar Tafsir, saya sudah mengenal nama Syahrur sejak kuliah S1. (belum lama sih, Saya baru wisuda tahun lalu hehehe) terutama pada mata kuliah penafsiran ALquran kontemporer. Nama syahrur dijadikan salah satu materi dalam silabus mata kuliah tersebut, khsusunya dengan formulasi teori batas atas dan batas bawahnya yang ia coba terapkan dalam penafsiran ayat-ayat Alquran teruatama berkaitan dengan hukum. Saya sendiri agaknya kurang paham terkait motif dan tujuan memasukkan nama-nama seperti Arkoun atau Syahrur dalam silabus tersebut. Mungkin bagi pihak yang terlibat menyusun silabus materi penafsiran Alquran ada yang bisa membantu memberikan jawaban untuk ini.
🌏 Namun atas mencuatnya nama tersebut, saya mencoba lebih jauh membaca sedikit tentang tulisan dan pemikiran beliau, lalu saya berhadapan dengan beberapa kenyataan berikut ini:
🔰1. Dalam sebuah tulisannya, Syahrur tidak bisa membedakan antara Abu Musa al-Asy’ary yang merupakan salah satu Sahabat Rasulullah dengan Abu Hasan al-Asy’ary, seorang ulama yang terpaut jauh sekali yang hidup pada abad keempat Hijriah. Dalam kitabnya al-Daulah wa al-Mujtami’, Syahrur mengutip sebuah perkataan Abu Hasan Al-Asy’ary tentang pengakuan beliau terhadap keberadaan karamah para Auliya, tetapi justru dikatakan Syahrur sebagai perkataan Sahabat Abu Musa al-Asy’ary. Hal ini mungkin cukup menunjukkan tingkat penelaahan seorang insinyur tersebut terhadap teks-teks keagamaan klasik. Hingga kemudian diberikan posisi paling depan oleh sebagian orang untuk membuat arah baru penafsiran Alquran dan meninggalkan ajaran para ulama-ulama besar Alquran.
🔰2. Syahrur pernah mengatakan bahwa pendapat Imam Syafi’iy yang tidak membolehkan membaca Al-Fatihah dalam shalat dengan selain bahasa Arab adalah semata-mata berlandaskan pada pengkultusan bahasa Arab dan fanatisme kebangsaan Imam Syafi’I saja. Lebih lanjut kata Syahrur bahwa pendapat tersebut adalah sesuatau yang tidak ada dasarnya. Hal ini dapat ditemukan dalam tulisan Syahrur berjudul al-Sunnah al-rasuliyah. Padahal kenyataannya pendapat larangan membaca Al-Fatihah selain dengan bahasa Arab tersebut adalah sesuatu yang berlandaskan pada pijakan Syari’at.
Nabi sendiri untuk orang yang belum bisa membaca Alfatihah hanya memberikan keringanan dengan menggantinya menjadi bacaan zikir, tahmid dan takbir. Hal ini yang kemudian dipahami oleh Imam Syafii dan tentu saja oleh barisan ulama sepanjang masa bahwa Shalat hanya boleh diisi dengan zikir dan Alquran saja, tidak boleh dimasukkan dengan ucapan selain itu , apalagi dengan ucapan bahasa selain bahasa Arab.
📚Imam Syafi’iy sendiri dalam prinsip ushul Fiqih nya tidak memberlakukan qiyas pada sesuatu yang bersifat rukhshah atau keringanan dari hukum asalnya. Dengan demikian rukhshah dari surah al-Fatihah semata-mata mesti zikir seperti dijelaskan secara eksplisit oleh Rasulullah, tidak boleh diperluas menjadi terjemahan Alfatihah. Syahrur jelas-jelas telah melecehkan imam Syafi’I seolah beliau hanya berpendapat dengan argumentasi subjektifitas keAraban semata. Tidak menggunakan prinsip ilmiah versi Syahrur yang katanya semua bagian agama serba fleksibel hingga apapun ajaran agama bisa dirombak dengan sedikit alasan kecil saja.
🍀Saya juga bertanya-tanya apakah Seorang Syahrur yang pernah kuliah di Rusia dan Eropa itu pernah membaca Surah Alfatihah dalam Shalatnya dengan bahasa Rusia atau bahasa Inggris. Lalu apakah pihak yang menjadikan Syahrur sebagai Imam Mufassir di Indonesia mau meninggalkan konsepsi Shalat Mazhab Syafii untuk kemudian shalat seperti ajaran Syahrur saja. Di antaranya surah Al-Fatihah dibaca dalam bahasa Indonesia atau bahasa Daerahnya saja bukannya bahasa Arab. Karena katanya ijtihad imam Syafii itu tidak ilmiah seperti ijtihadnya Syahrur.
🔰3. Dalam Kitabnya Al-Iman wa al-Islam, Syahrur mengatakan bahwa Hadis yang berbunyi:
الإسلام هو الفطرة والفطرة هي الإسلام
Islam itu dapat dipahami secara luas selama ia dianggap sebagai fitrah manusia. Kata Syahrur beberapa perangkat Syariat seperti zakat dan puasa dapat saja dihilangkan jiak dianggap ia sudah menyalahi fitrah. Jadi bagi pengikut gaya penafsiran hadis dan Syahrur mulai sekarang dapat mengukur semua bagian Syariat apakah menurutnya itu Fitrah atau bukan. Jika dirasa tidak maka tidak ada salahnya baginya untuk tidak lagi shalat, puasa atau zakat. Sesuai penafsiran fitrah seorang Syahrur.
🔰4. Dalam kitabnya al-Kitab wa al-Quran Syahrur mengajukan sebuah keheranannya yaitu baginya adalah sebuah keanehan besar ketika seseorang hendak memahami Islam saat ini dengan melihat penafsiran Alquran pada abad ketujuh Masehi, tepatnya abad dimana para sahabat hidup. Ini berarti menurut Syahrur menjadikan penafsiran para sahabat yang merupakan generasi yang menyaksikan langsung turunnya Alquran sebagai modal utama dalam menafsirkan Alquran adalah sebuah keanehan, berbanding terbalik dengan penjelasan di berbagai kitab-kitab kaidah tafsir yang justru memposisikan penafsiran generasi awal itu sebagai salah satu bahan pijakan utama terhadap penafsiran Alquran.
🔰5. Pada bagian lain dari kitab al-Sunnah al-rasuliyah Syahrur mengatakan bahwa serangkaian hal yang dinamakan dengan Qawa’id fiqhiyah dan Dhawabith Syari’ah saat ini sebagian besarnya sudah tidak lagi sesuai untuk menyokong kemaslahatan berbagai perkara kehidupan manusia, meskipun tidak seluruhnya.
🔰6. Dalam kitab al-Daulah wa al-Mujtami’ Syahrur berkata bahwa sudah saatnya kita mulai meninggalkan konsepsi ushul Fiqih Imam Syafi’iy, melainkan mulai membuat formulasi dasar penetapan hukum yang baru.
🔰7. Dalam kitab al-Islam wa al-Insan, Syahrur mengatakan bahwa setiap manusia bebas memilih agama yang ia yakini benar. Agama apapun yang diyakini benar oleh seseorang maka ia termasuk daripada Islam juga.
🎲Barangkali dengan merujuk lebih dalam pada kitab-kitab tulisan Syahrur kita akan menemukan lebih banyak lagi hal-hal seperti di atas. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa upaya legalisasi zina jika dikatakan berkiblat pada pemikiran Syahrur, maka itu adalah sesuatu yang masih tanggung. Karena jika memang niat dan tidak hendak berpura-pura, pemikiran Syahrur itu bisa sekalian dijadikan pegangan untuk merombak seluruh bagian ajaran Islam mulai dari akidah, perangkat dan landasan Syariat, metode memahami Alquran, atau sekalian saja isi kitab suci diganti semuanya dengan pemikiran Syahrur supaya katanya sesuai dengan kemaslahatan manusia kekinian.
Rudy Fachruddin
3 September (14 jam · )
#Rudy Fachruddin