LOGIKA DI BALIK MUHAMMAD
Penamaan dengan tipikal tertentu terkadang menunjukkan muasal dari empunya nama. Orang Rusia akhirnya gandrung memberi nama anak-anak mereka dengan lafal yang diakhiri abjad "OV".
Natasha Romanov, umpamanya, meskipun belakangan dikenal sebagai salah satu anggota Avenger, grup superhero dalam film-film Marvel yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, kita tahu berasal dari Uni Soviet dengan hanya mengacu pada namanya.
Khabib Nurmagomedov, petarung Mixed Martial Art (MMA) alias bela diri campuran, yang namanya melambung baru-baru ini setelah berhasil menumbangkan Conor McGregor, adalah juga orang Rusia, dan itu sudah tampak dari namanya.
Maka akan tampak aneh, meski tak keliru, apabila Anda memergoki orang jawa bernama Kalashnikov. Sebagaimana Anda bisa menebak bahwa orang bernama Susilo, Joko, Subianto, dan sebagainya, adalah orang jawa, maka orang jawa sendiri pasti akan terheran-heran dengan nama asing tersebut. Keheranan yang merupakan oplosan antara kagum (karena nama macam itu terkesan mentereng) atau mencibir (paling tidak sebab penamaan seperti itu dinilai terlalu berlebihan atau dalam bahasa jawa, kemoncolen).
Ada masanya, terutama pada tahun 90-an, ketika generasi muda pada saat itu jadi tergila-gila dengan sinetron, dan bermunculan anak yang membawa nama Mayang atau Dion (tokoh dalam sinetron Tersayang). Waktu itu, generasi yang lebih tua banyak yang mencibir.
Sebaliknya, beberapa orang tak sadar telah memberi nama buruk seperti nama Muhammad Majnun, semata-mata karena itu bahasa arab, dan terasa lebih islami bagi kuping mereka. Padahal orang yang mengerti maknanya langsung ketawa.
Keheranan yang serupa juga terjadi pada saat Abdul Muthalib, salah satu pembesar suku Quraisy, memberi nama cucunya dengan Muhammad. Ketika itu, belum sama sekali terdengar orang yang memiliki nama macam ini (lam yakun ismu muhammadin ma'rufan 'indal 'arab). Sementara tradisi yang berlaku di tengah bangsa arab adalah bahwa bayi pada umumnya diberi nama dengan jejuluk yang pernah dipakai oleh nenek moyang.
Saat ditanya, kenapa ia memilih menentang istiadat, Abdul Muthalib menjawab diplomatis, "Cucuku akan dipuji (makna harfiah dari kata muhammad) oleh penduduk langit maupun bumi."
Terdapat beberapa riwayat mengenai bagaimana Abdul Muthalib mendapatkan inspirasi penamaan Muhammad bagi Nabi shalllallahu 'alaihi wa sallam. Imam Ibn Katsir, dalam Bidayah wan Nihayah, menengarainya sebagai ilham; sesuatu yang dibisikkan begitu saja oleh Allah Swt. ke dalam hati ibu dan kakek sang Nabi.
Proses yang berbeda diceritakan oleh Imam al-Suhaili dalam Raudhatul Unuf. Bahwa, suatu kali, Abdul Muthalib bersama tiga rekannya (Sufyan bin Mujasyi’, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabi’ah) mengadakan perjalanan menuju Syam.
Di tengah perjalanan, mereka bersua dengan seorang rahib yang menujum, "Di daerah kalian (Makkah) akan terlahir seorang Nabi." Dengan keheranan, mereka pun memberanikan diri untuk menanyakan nama Nabi tersebut. Sang Rahib menjawab, "namanya Muhammad." Saat itulah empat sekawan ini bertekad, usai lawatan mereka dari Syam, bayi lelaki yang pertama lahir akan diberi nama Muhammad.
Ternyata yang pertama melahirkan adalah menantu Abdul Muthalib (Aminah binti Wahb). Abdul Muthallib seketika menamai bayi tersebut Muhammad. Sementara bayi yang terlahir dari tiga sejawatnya yang lain, meski lahir lebih belakangan, serentak diberi nama Muhammad juga.
Dalam sebuah hadits, Imam Ibn Ishaq dan Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa inspirasi nama Muhammad sebetulnya bermula dari sang ibu, bukan dari kakek Abdul Muthalib. Ceritanya, suatu hari, Aminah disatroni seseorang (yang konon adalah jelmaan malaikat) yang berkata, "Kelak kalau anak ini lahir, berilah ia nama Muhammad. Sungguh nama ini telah disebut dalam Taurat dan Injil."
Persoalannya, seperti disebut dalam cerita terakhir, apa betul nama Muhammad sudah dikenal dalam tradisi agama sebelum Islam?
Tentu saja. Setidaknya itulah yang dikabarkan Allah dalam Al-Quran. Pada Surat Al-A'raf ayat 157 diisyaratkan:
"Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka."
Sementara, pada Surat As-Shaf ayat 6 disebutkan:
"Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: 'Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad'."
Dan betul, setelah Nabi yang dimaksud terlahir, kebanyakan para ahli kitab membantah, menipu diri mereka sendiri, seperti dikutip dalam lanjutan ayat:
"Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: Ini adalah sihir yang nyata."
Sejumlah ahli tafsir telah menyelidiki perkara ini. Imam Ar-Razi bahkan sampai menelusuri Injil dan menemukan sebuah keterangan dalam Yohanes yang telah diterjemah ke dalam bahasa arab. Diantaranya, Yesus berkata:
"Tuhan akan menganugerahkan Parakleitos kepada kalian. Ruh yang Disucikan yang akan menyertai kalian selamanya."
Yang dimaksud dengan Parakleitos di sini tentu bukan nama terang (isim 'alam), melainkan nama sifat. Diantara yang dipahami ahli kitab adalah, seperti diuraikan Imam Ar-Razi, bahwa kata tersebut merujuk pada makna "Syafi'" (pemberi syafaat/juru selamat). Kita tahu, sifat ini melekat pada diri Nabi Muhammad Saw.
Makna kedua adalah "pembeda antara yang haq dan yang bathil". Parakleitos, yang dalam bahasa arab diucapkan dengan Faarqliith, merupakan gabungan dua kata faruq dan liith. Faruq berarti pembeda, dan Liith bermakna penegas kebenaran. Nabi Muhammad jelas juga memiliki sifat ini.
Di tempat lain dijelaskan bahwa nama Parakleitos muncul seiring dengan penerjemahan Injil ke dalam bahasa Yunani. Belakangan, Injil versi Yunani ini bahkan dijadikan sebagai salah satu rujukan utama Kanon Bibel. Dari situlah kemudian diketahui bahwa dalam bahasa Yunani, Parakleitos sebetulnya bermakna "Terpuji", yang dalam redaksi arab dibahasakan dengan "Ahmad".
Nama Ahmad merupakan derivasi dari lafal al-hamdu. Imam al-Mubarrad dan Abu Ali mengatakan bahwa nama Ahmad mengandung dua pengertian: (1) mubalaghah fil fail, yang berarti orang yang memiliki nama ini adalah yang paling banyak memuji Tuhan; (2) mubalaghah fil maf'ul, yang bermakna orang dengan nama ini adalah yang paling banyak memperoleh pujian.
Hal ini memberi isyarat betapa nabi kita, Nabi Muhammad Saw, sejak lampau sudah dikenal dengan nama Ahmad karena setiap Nabi pasti memuji Tuhan atau mendapatkan pujian. Tetapi Nabi terakhir ini, khatam al-anbiya' ini, adalah Rasul yang paling banyak memuji Tuhan atau mendapatkan pujian.
Apabila di dalam Injil, Nabi Muhammad dikenal sebagai Parakleitos, maka di dalam Taurat beliau --seperti dijelaskan Muhammad ibn Haidham-- diidentifikasi dengan nama Maad Maad (Mim-Alif-Dal-Mim-Alif-Dal). Imam Al-Kirmani, struktur nama tersebut relatif mirip dengan nama Muhammad, dengan pertimbangan terdapat dua mim yang sama, dua dal yang merujuk pada dal pada Muhammad, dan dua alif yang menandakan huruf ha' yang terletak pada urutan kedua.
Selain itu, menurut riwayat, Ka'ab Al-Akhbar akhirnya masuk Islam pada masa Umar bin Khattab juga karena soal ini. Beliau adalah keturunan Yahudi asal Yaman. Suatu hari, orang tuanya, yang adalah pendeta Yahudi, membuka sebuah rahasia. Bahwa ia menyembunyikan beberapa lembar naskah Taurat yang asli yang di situ tersebut informasi tentang Nabi terakhir yang lahir di kota Makkah.
Pertanyaan terakhir, kenapa yang disebut nama Ahmad, bukan Muhammad? Bukankah nama yang pemberian orang tua atau kakeknya adalah Muhammad? Bukankah, sebagai nama, Ahmad dan Muhammad itu berbeda? Nabi kita bernama Muhammad atau Ahmad?
Pertama-tama, seperti telah dikutip dalam cerita-cerita masyhur, mesti kita garis bawahi bahwa nama Muhammad diperoleh melalui skenario ilham, bukan inisiatif orang tua/kakek Nabi an sich. Ini seperti memberikan penjelasan kepada kita bahwa nama Muhammad sedemikian rupa telah dipersiapkan oleh Allah untuk diberikan kepada Nabi-Nya yang terakhir. Dan bukan kebetulan, Nama tersebut terbentuk dari sifat khusus yang merupakan turunan dari lafal al-hamd. Itulah mengapa dalam tradisi-tradisi sebelum Islam, Nabi dikenal dengan nama sifat Ahmad.
Kedua, menurut Al-Qurthubi, nama Ahmad mengimplikasikan orang yang banyak memuji. Sementara nama Muhammad merujuk pada orang yang banyak dipuji. Nabi Muhammad mula-mula, sebelum dilahirkan, dikenal dengan sebutan Ahmad karena di seantero jagat raya, ia sudah dikenal sebagai makhluk yang pertama kali memuji Allah. Kita tahu, makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Muhammad, yang kala itu masih berupa Nur.
Nabi Musa bahkan sempat berdoa, "Ya Allah, jadikan aku bagian dari umatnya Ahmad."
Bagi al-Qurthubi, Muhammad (yang dipuji) tidak akan ada sebelum ia menjadi Ahmad (yang memuji). Logikanya, makhluk ini memuji Allah dan kemudian Allah pun memuliakannya dengan banyak pujian.
Maka Ahmad kemudian berubah menjadi Muhammad saat ia dilahirkan ke dunia. Makhluk yang banyak memuji Tuhan itu kini mendapatkan banyak pujian. Tidak percaya? Maka lihatlah perangainya, keindahan kejadiannya, sifat-sifatnya yang mulia, dan terutama kemampuannya untuk menjadi juru selamat (pemberi syafaat) di akhirat.
Begitulah, Nabi kita sebetulnya memiliki banyak nama, baik secara esensial maupun karena kualitas-kualitas yang beliau miliki. Untuk itu, beliau sendiri bahkan bersabda, "Dalam Taurat, namaku adalah 'Ahyad' (sang pemangkas), yang memotong umatku dari sentuhan neraka. Dalam Zabur, namaku adalah 'Al-Mahi' (sang penghapus), yang menghapuskan penyembahan berhala. Dalam Injil namaku adalah 'Ahmad' dan dalam Al-Quran namaku 'Muhammad', karena aku dipuji baik oleh penduduk bumi maupun penghuni langit."
Wallahu a'lam bis shawab.
Rumah Cahaya,
Lukman Hakim Husnan
Lukman Hakim Husnan bersama Stiq Al-lathifiyyah dan 2 lainnya.
5 Agustus ·
#Lukman Hakim Husnan
