Mohammad Mahrus Ali
Diminta ikut musyawarah di Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Demangan, dibawah ini kurang lebih yang saya sampaikan. Apa yang saya tulis dibawah ini tak lebih dari sekedar hasil menukil dr buku-buku yang saya baca.
Pada era ini berbagai paham dan pemikiran, mulai dari yang paling radikal sampai yang paling liberal, dengan mudah sekali sampai kepada para pemuda. Oleh karena itu, pemuda mesti terdidik secara baik supaya mereka tidak gampang terpengaruh dengan paham dan pemikiran tersebut. Pemuda harus paham ajaran agamanya secara benar dan dari sumber yang benar. Kesalahan didalam mempelajari agama dari sumber yang salah terbukti melahirkan pemikiran radikal yang abai terhadap kemanusian sebagaiman ia juga terbukti telah melahirkan pemikiran liberal yang justru menimbulkan problem terhadap agama itu sendiri.
Pemahaman agama yang benar dapat diperoleh dengan merujuk kepada ulama’ yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dari teks-teks agama serta ijtihad-ijtihad para ulama’ terhadap teks-teks tersebut, bisa disimpulkan bahwa ajaran agama Islam yang benar mesti memiliki tiga prinsip berikut:
1. Prinsip moderat (mabda’ al-tawassuth aw al-wasayhiyah)
Prinsip ini bermakna bahwa ajaran Islam yang murni adalah ajaran yang moderat, tidak ekstrim kiri dan tidak ektrim kanan; tidak berlebihan dan tidak ceroboh; tidak keras dan tidak lembek.
2. Prinsip seimbang (mabda’ al-tawazun)
Prinsip ini bermakna bahwa segala sesuatu harus diposisikan secara seimbang. Termasuk di dalamnya dalam mengunakan dalil naqli dan dalil aqli atau didalam menggunakan dilalah al-nushush dan dilalah al-maqashid.
3. Prinsip I’tidal (mabda’ al-i’tidal)
Prinsip i’tidal bermakna bahwa ajaran islam yang murni adalah ajaran yang lurus, konsisten dan selalu menjunjung tinggi keadilan, termasuk kepada kelompok yang tidak sepaham dan seagama.
Beradasarkan tiga prinsip tersebut, kita dapat mencatat beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni, antara lain:
1. Aliran Khowarij
Khowarij adalah kelompok yang menyatakan keluar dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib pasca pristiwa tahkim (arbitrase). Kelompok ini berkeyakinan bahwa orang yang berbuat dosa adalah kafir. Karena itulah mereka mengafirkan Ali, bahkan menghalalkan darahnya. Menurut mereka, dengan menerima arbitrase berarti Ali telah berhukum dengan selain hukum Allah, sedangkan orang yang berhukum dengan selain hukum Allah adalah kafir. Di era ini berkembang gerakan-gerakan radikal yang mengikuti cara berpikir Khowarij ini. Mereka mengafirkan orang-orang yang dianggap tidak menerapkan hukum Islam, meskipun mereka tidak mengingkari hukum tersebut. Mereka berargumen dengan firman Allah dalam surat al-Maaidah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ.
“Barang siapa yang tidak berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.”(QS, al-Maaidah: 44)
Pemahaman yang keliru ini terjadi karena mereka tidak merujuk kepada sumber yang benar. Para ulama yang shalih dari generasi ke generasi, sejak era sahabat sampai sekarang memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemahaman ini. Sekadar sebagai contoh, Imam al-Razi dalam al-Tafsir al-Kabir berkata, “Ikrimah berkata: “Firman Allah ta’ala: “Barang siapa yang tidak berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah...” hanyalah berkenaan dengan orang yang mengingkari dengan hati dan menolak dengan lisan. Adapun orang yang meyakini dan mengakui bahwa hukum itu adalah hukum Allah, namun dia tidak menerapkannya maka dia tetap dianggap menghukumi dengan hukum yang diturunkan Allah, tetapi dia meninggalkannya. Dengan demikian, dia tidak masuk dalam ayat ini.”
Dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara wilayah iman dengan wilayah penerapan. Dalam wilayah iman, semua orang Muslim wajib mempercayai semua hukum-hukum Allah, dan orang yang mengingkari hukum-hukum tersebut dihukumi murtad. Sementara dalam wilayah penerapan, orang yang tidak menerapkan hukum Allah tidak bisa secara otomatis dihukumi kafir selama dia masih meyakini hukum itu sebagai hukum Allah. Bahkan juga tidak dinilai berdosa jika dia tidak menerapkan hukum Allah itu karena tidak mampu. Sebab, bagi orang yang tidak mampu, hukum Allah adalah meninggalkan hukum yang tidak mampu dilaksanakan itu. Dalam wilayah penerapan, hukum taklifi tidak boleh dipisahkan dari hukum wadh’i. Sebab, hukum wadh’i ini merupakan pengawal hukum taklifi agar ia tidak digunakan dalam kondisi yang tidak tepat dan dengan demikian ia akan selalu membawa kemaslahatan bagi manusia. Ketika hukum taklifi menuntut hukum tertentu, namun penerapan hukum ini secara kaku dapat menyebabkan kerugian bagi orang lain, maka datanglah ‘illat menuntut hukum lain. Ketika sebuah ‘illat menuntut hukum tertentu, namun penerapan hukum ini mengandung mafsadah maka datanglah mani’ menghalangi tuntutan illat tersebut. Dan begitulah seterusnya, fiqih pasti menjamin kemaslahatan manusia. Karena itu, orang yang tidak menerapkan beberapa hukum Allah karena kondisi tidak memungkinkan disebabkan ada syarat yang tidak terpenuhi atau ada mani’ yang menghalangi maka dia tidak bisa dinilai sebagai orang fasik, apalagi kafir.
Buntut dari sikap gampang mengkafirkan, gerakan radikal di atas juga seringkali melakukan teror dengan mengatas namakan perintah jidah dalam ajaran islam, sehingga menyebabkan citra Islam terpuruk di mata dunia. Padahal tindakan tersebut sangat jauh dari hakikat jihad dalam Islam. Jihad dalam Islam tidak bisa dipahami sebagai upaya penganiaan dan pemaksaan agama terhadap non Muslim. Sebab QS al Baqarah: 256 dengan tegas menyatakan, “Tidak ada paksaan dalam agama’’. Mayoritas fuqoha’ juga sepakat bahwa motif peperangan dalam Islam bukanlah kekufuran non Muslim. Tetapi kezaliman mereka terhadap dakwah Islam, baik kezaliman yang sedang terjadi maupun kezaliman yang diyakini akan terjadi. Oleh karenanya, dalam peperangan dilarang membunuh perempuan kafir, orang-orang lanjut usia, dan anak kecil. Seandainya motif peperangan dalam Islam adalah kekufuran niscaya merekapun legal untuk dibunuh. Namun, kenyataannya Islam sangat melarang tindakan tersebut.
Secara sepintas kesimpulan ini memang terasa bermasalah ketika dihadapkan dengan hadits Ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda,
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة. فإ ذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الله تعالى.
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila mereka melakukan hal tersebut maka mereka menjaga darah dan harta mereka kecuali dengan hak Islam, sementara penghitungan mereka adalah atas Allah ta’ala.”
Hadits ini seringkali dipahami bahwa orang Muslim diperintahkan untuk memerangi dan memaksa non Muslim masuk islam. Namun, pemahaman seperti ini tidak akan muncul apabila kita mencermati redaksi yang dipilih oleh Nabi Muhammad dalam hadis di atas. Dalam hadits di atas Nabi Muhammad memakai redaksiأقاتل bukan أقتل. Redaksiأقاتل sangat berbeda dengan redaksi أقتل. Di dalam ilmu shorrof dijelaskan bahwa wazan فاعل memiliki makna ‘musyarakah’. Dengan demikian redaksi أقاتل menunjukkan makna perlawanan dari kedua pihak. Bahkan ia hanya bisa dipakai untuk menunjuk makna perlawanan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang hendak melakukan pembunuhan. Karena itu, seseorang bisa disebut مقاتل jika dia melakukan perlawanan terhadap orang yang menyerang atau merencanakan penyerangan. Sementara orang yang melakukan penyerangan terlebih dahulu tidak bisa disebut مقاتل tetapi disebut قاتل. Hal ini karena makna ‘musyarakah’ tersebut tidak timbul kecuali ketika pihak kedua melakukan perlawanan dan pembelaan diri. Dengan demikian, makna yang benar dari hadits tersebut adalah: “Saya diperintahkan untuk membentengi dakwah Islam dan melawan segala tindakan kezaliman terhadapnya. Dan apabila perlawanan tersebut hanya bisa dilakukan dengan memerangi orang-orang yang berbuat zalim maka ia merupakan keharusan yang tak dapat dihindari.’’ Dengan makna seperti ini maka tidak ada kontradiksi antara hadis ini dengat ayat yang menegaskan tidak adanya paksaan di dalam agama.
2. Aliran Syi’ah
Syiah adalah kelompok yang mempunyai keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya sahabat yang paling berhak menjadi khalifah karena Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berwasiat bahwa pengganti beliau setelah wafat adalah Ali bin Abi Thalib. Setidaknya ada lima penyimpangan dari sebagian besar kelompok ini, yaitu: 1) keyakinan terjadi perubahan dalam al-Qur’an; 2) caci maki terhadap shahabat; 3) taqiyah; 4) bada’ ; dan 5) kemaksuman para imam Syi’ah dari kesalahan.
Lima hal ini sama sekali tidak mungkin bisa diterima, sebab ia jelas-jelas menyalahi pokok-pokok agama. Keyakinan mereka tentang terjadinya tahrif dalam al-Qur’an misalnya. Ini jelas bertentangan dengan penegasan Allah bahwa Dia akan memelihara Al-Qur’an (QS, al-Hajr: 9). Keyakinan orang Syi’ah ini kemudian dijadikan dasar oleh para orientalis untuk membenarkan tuduhan mereka bahwa al-Qur’an telah mengalami problem originalitas karena memang tidak pernah ditulis pada masa Nabi.
Tuduhan di atas jelas tidak benar karena pada dasarnya cara penyampaian dan periwayatan al-Qur’an dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Al-Qur’an dihafal oleh para sahabat yang shalih, sehingga tidak mungkin terjadi tahrif al-Qur’an hanya demi kepentingan pribadi mereka. Hafalan para sahabat ini merupakan cara yang paling utama dalam pemeliharaan al-Qur’an karena beberapa alasan, antara lain: a) sarana yang paling siap bagi kaum Muslim pada saat itu adalah hafalan. Karena orang Arab pada saat itu lemah dalam hal menulis, tetapi kuat dalam menghafal; b) penulisan al-Qur’an pada masa Nabi tidak ada nuktoh dan harkat. Hal ini tidak menjadi problem karena al-Qur’an sudah mereka hafal; dan c) hafalan merepresentasikan seluruh ujaran, dialek dan ragam bacaan yang diizinkan untuk dibaca, sementara tulisan tidak bisa demikian. Cara pembacaan “imalah” misalnya. Ia tidak mungkin terpelihara kecuali dengan metode hafalan.
Meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan tulisan. Banyak sekali bukti-bukti yang yang menunjukkan bahwa setelah mendapat wahyu, Nabi menyuruh shahabat untuk menulis dan meletakkannya di surah tertentu.. Namun, sampai wafatnya Rasulullah saw., hampir seluruh catatan-catatan tersebut milik pribadi para sahabat Nabi dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Baru di kemudian hari, ketika jumlah penghafal al-Qur’an menyusut karena banyak yang gugur di medan perang, usaha kodifikasi al-Qur’an mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq Al-Qur’an dikumpulkan menjadi sebuah mushhaf, berdasarkan periwayatan langsung dan mutawatir dari Nabi Muhammad saw.
3. Aliran Islam Liberal
Di Indonesia, aliran ini dipelopori oleh Nurcholis Madjid (w. 2007). Misi yang menjadi semangat perjuangan aliran ini antara lain:
a) membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam;
b) mengutamakan semangat religio-etik;
c) mempercayai kebenaran yang relative;
d) meyakini kebebasan beragama, bahkan menyatakan semua agama sama ; dan
e) memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi.
Misi mereka untuk membuka pintu ijtihad sebenarnya sah-sah saja sebab ijtihad memang merupakan kebutuhan bagi umat Islam. Sejak era kenabian, Nabi Muhammad SAW sudah banyak memberikan dorongan untuk berijtihad. Bahkan beliau memberi jaminan bahwa mujtahid berhak untuk salah, dan kesalahan ini tidak membuatnya berhak mendapat siksa. Beliau bersabda, “Jika seorang hakim berijtihad untuk memutuskan hukum lalu dia benar maka dia mendapat dua pahala, dan jika dia berijtihad lalu salah maka dia mendapat satu pahala.”(HR. Al-Bukhâriy dan Muslim)
Namun yang perlu dicatat bahwa ijtihad yang dimaksud dalam hadits di atas adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang yang memenuhi kriteria sebagai mujtahid. Dorongan untuk melakukan ijtihad di atas bukan berarti setiap orang bebas mutlak melakukan ijtihad sekehendak hatinya. Ijtihad adalah ilmu dan tradisi yang membutuhkan pembuktian dan penalaran. Ijtihad adalah amanah, bahkan ia merupakan amanat yang paling tinggi drajatnya. Karena itu, dalam hadis Abu Dawud dan Ibn Majah disebutkan bahwa Nabi Muhammad membagi pemutus hukum itu menjadi tiga kelempok. Dua kelompok menjadi penghuni neraka dan satu kelompok menjadi penghuni surga. Salah satu dari dua kelompok yang menjadi penghuni neraka itu adalah orang yang tidak memilki cukup ilmu, akan tetapi memberanikan diri untuk memutuskan hukum.
Sedangkan pandangan mereka mengenai kesamaan semua agama sesungguhnya didorong oleh cita-cita untuk membangunan kerukunan antar umat beragama. Mereka beranggapan bahwa selama ini agama telah melahirkan sikap intoleran sehingga menyebabkan kerukunan menjadi hilang di Indonesia. Namun dalam hemat penulis, untuk membangun kerukunan antar umat beragama serta menumbuhkan sikap toleran di kalangan umat Islam tidak perlu dengan cara demikian, cukuplah dengan memberikan pemahaman yang benar tentang hakikat ajaran Islam. Sebab Piagam Madinah memperlihatkan bahwa Islam mengakui hak setiap orang untuk memilih agama dan keyakinan. Hal ini sejalan dengan banyak sekali ayat yang menjelaskan bahwa perbedaan merupakan suatu keniscayaan. Karena itu, tatkala Nabi begitu bersemangat mengislamkan semua manusia, Allah swt menegur beliau dengan berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ.
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semuan orang yang ada di muka bumi. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman.” [QS.Yunus: 99]
Dalam berintraksi dengan penganut agama lain itu, Islam juga tidak melarang umatnya untuk menjalin hubungan baik. Allah Swt. berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” [QS Al-Mumtahanah 60:8]
Bahkan lebih dari itu, al-Qur’an berkali-kali mengingatkan agar jangan sampai kebencian kepada suatu kelompok, termasuk kepada non Muslim, membuat umat Islam berlaku zalim kepada mereka. Allah swt berfirman:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا.
"Dan jangan sekali-kali kebencian kalian kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka)." [QS, al-Maaidah:2]
Dalam surat yang sama Allah menegaskan kembali pesan keadilan diatas dengan firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi penegak kebenaran karena Allah dan menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebenciaun kalian kepada seuatu kaum mendorong kalian untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah karena sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan. [QS, al-Maaidah: 8]
Sejarah memperlihatkan bahwa ajaran al-Qur’an ini benar-benar dipraktikkan oleh umat Islam. Hal ini tampak misalnya dalam pesan kholifah Ali bin Abi Thalib kepada Malik bin Asytar tatkala diangkat sebagai gubernur Mesir:
وأشعر قلبك بالرحمة للرعية والمحبة لهم واللطف بهم، ولا تكونن عليهم سبعا ضاريا تغتنم أكلهم. فإنهم صنفان: اما أخ لك في الدين أو نظير لك في الخلق.
“Isilah hatimu dengan rahmah, cinta dan kelembutan kepada rakyat. Janganlah kamu menjadi seperti hewan buas yang merampas makanan mereka. Rakyatmu tidak lepas dari dua kelompok: saudaramu dalam agama atau sama denganmu dalam penciptaan.”
Pada masa pemerintahan Umar, seorang perempuan Nasrani dari penduduk Mesir pernah mengeluh kepada Umar bin al-Khottab karena Amr bin al-‘Ash telah menggusur rumahnya untuk keperluan perluasan Masjid. Amr lalu ditanya oleh Umar mengenai hal itu. Amr mengabarkan bahwa jumlah umat Islam semakin banyak dan Masjid tidak dapat lagi menampung mereka. Kebetulan disamping Masjid itu ada rumah perempuan ini. Amr telah menawarkan kepadanya uang ganti rugi yang melebihi harga rumahnya tetapi ia tetap tidak mau. Maka Amr terpaksa merobohkan rumah itu dan memasukkannya ke lingkungan Masjid sedangkan uang ganti ruginya ditaruh di Baitul Mal yang bisa diambil kapan saja perempuan itu mau. Meskipun beradsarkan teori masalahah mursalah kebijakan Amr al-‘Ash di atas bisa diperbolehkan namun Umar tidak menerimanya dan menyuruhnya untuk merobohkan bangunan baru Masjid itu. Umar menyuruh Amr untuk mengembalikan rumah Nasrani itu seperti semula.
Fakta-fakta sejarah ini memperlihatkan bahwa tanpa harus menganggap semua agama sama, orang Islam bisa bertoleransi bahkan lebih dari itu bisa membela hak-hak penganut agama lain. Adapun mengatakan semua agama sama maka ini jelas bertentangan dengan logika dan teks-teks agama sendiri. Secara logika jelas tidak mungkin menyamakan misalnya antara Islam yang mengakui Isa sebagai nabi dengan kristen yang mengakui Isa sebagai Tuhan. Pandangan mengenai kesamaan semua agama juga jelas bertentangan dengan firman Allah di dalam al-Qur’an:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ.
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]
Di dalam ayat ini, secara tegas dinyatakan bahwa Allah menolak agama selain Islam dan para penganut agama itu di akhirat akan menjadi orang yang rugi karena mereka akan mendapat siksa dari Allah SWT. Berbeda dengan di akhirat, di dunia manusia itu akan dibalas oleh Allah sesuai kerja kerasnya, tanpa memandang suku dan agamanya. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. [QS, Hud: 15]
Ayat ini menunjukkan bahwa hukum yang telah Allah tetapkan atas hamba-Nya, baik Muslim ataupun non Muslim, bahwa siapa saja yang berkerja keras meraih kemajuan dan kesuksesan dunia, maka dia tidak akan disia-siakan oleh Allah. Karean itu, jika non Muslim bekerja keras dan berbuat baik maka balasan kerja keras dan kebaikannya itu diberikan oleh Allah di dunia. Adapun di akhirat kelak maka mereka akan kekal di dalam neraka.
Nuril Hida Almaqdasy
4 Agustus ·
#Nuril Hida Almaqdasy