Fiqh, misalnya.
Awalnya kita sangat mudah dengan kebenaran tunggal seperti dalam kitab Safinatun Najaa dan Fathul Qorib.
Naik ke Fathul Mu'in mulai berkenalan bahwa ternyata seringkali dalam satu keputusan hukum ada beberapa pendapat diantara ulama madzhab.
Ngaji Minhajuth Tholibin, bahkan dalam periwayatan ijtihad-ijtihad Imam asy-Syafi'i saja ada beda pendapat. Bahwa ternyata tidak selamanya Qoul Jadid itu diperpegangi dan Qoul Qodim ditinggalkan.
Ngaji Muhadzdzab, pijet kepala.
Ngaji Madzahibul Arba'ah dan Muqaranatul Madzahib rumit.
Ngaji Asbabul Ikhtilaf Fuqaha, tambah rumit.
Ngaji Maqashidus Syari'ah, puyeng.
makin lama makin kita paham, bahwa kebenaran yang kita perpegangi bukanlah satu-satunya kebenaran di muka bumi, apalagi cuma dalam lingkup madzhab. Ada banyak versi kebenaran diantara manusia.
Dengan makin mendalami dan memperluas kajian, kita makin memahami kehidupan.
Karenanya, idealnya seorang santri jangan baru ngaji fiqh sampai Fathul Wahhab sudah terjun ke masyarakat. Nanti sibuk i'tirodh ke orang yang beda pendapat. Minimal ngaji Muhadzdzab, biar paham perbedaan dalam madzhab.
Muhammad Thoif
24 Juli pukul 19.31 ·
#Muhammad Thoif