Memelintir kata demi kepentingan tertentu adalah perbuatan tidak terpuji. Apalagi kalau yang diplintir itu malah hadits yang shahih.
Salah satu hadits yang sering jadi korban pemelintiran adalah hadits berikut ini
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
Dari Aisyah r.a berkata : ‘Di zaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat haidh lalu kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha’ shalat (HR. Jama’ah).
Sudah menjadi ijma’ ulama bahwa bila waktu shalat sudah lewat padahal shalat belum dikerjakan, maka shalat itu tetap wajib dilaksanakan. Namanya shalat qadha’. Tidak ada istilah gugur kewajiban shalat.
Namun kadang ada orang yang dengan lugunya bilang bahwa dalam Islam tidak dikenal qadha’ shalat, dengan berlandaskan hadits di atas, khususnya dengan ‘memelintir’ lafadz : wala nu’maru biqadhai ash-shalah, yang artinya bahwa kami tidak diperintah untuk mengqadha’ shalat.
Padahal itu keliru besar, sebab hadits ini sedang bicara tentang wanita yang mendapat haidh di bulan Ramadhan, dimana mereka tidak boleh shalat dan puasa. Konsekuensinya, hanya puasanya saja yang diqadha' sedangkan shalat tidak usah diqadha'.
Jadi ungkapan bahwa tidak ada qadha’ dalam shalat itu berlakunya hanya pada wanita yang sedang haidh saja. Sedangkan di luar wanita yang haidh dan nifas, maka qadha’ shalat menjadi wajib sebagaimana shalat lima waktu.
Karena pada hakikatnya, qadha’ shalat itu sendiri adalah mengganti shalat lima waktu yang terlewat. Seluruh ulama sepakat bahwa pada dasarnya mengqadha' atau mengganti shalat yang terlewat merupakan ibadah yang disyariatkan dan bahkan diperintahkan di dalam syariat Islam.
Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu tokoh besar dalam mazhab Al-Hanabilah menegaskan bahwa mengqadha' shalat itu wajib hukumnya, meskipun jumlahnya banyak.
فإن كثرت عليه الفوائت وجب عليه أن يقضيها بحيث لا يشق عليه في نفسه أو أهله أو ماله
Bila shalat yang terlewat itu banyak jumlahnya maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, selama tidak memberatkannya baik bagi dirinya, keluarganya atau hartanya. (Syarah Umdatu Al-Fiqhi, jilid 1 hal. 240)
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (w. 751 ) menuliskan di dalam kitabnya Ash-Shalatu wa Ahkamu Tarikuha sebagai berikut :
وأما الصلوات الخمس فقد ثبت بالنص والإجماع أن المعذور بالنوم والنسيان وغلبة العقل يصليها إذا زال عذره
Adapun shalat lima waktu yang telah ditetapkan dengan nash dan ijma'm bahwa orang yang punya udzur baik tidur, lupa atau ghalabatul 'aqli wajib mengerjakannya begitu udzurnya sudah hilang. (Ash-Shalatu wa Ahkamu Tarikuha , jilid 1 hal. 68)
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Ahmad Sarwat
15 Juni pukul 15.19 ·
#Ahmad Sarwat