Batasan Pengakuan Rasulullah (Taqrir)

Batasan Pengakuan Rasulullah (Taqrir) - Kajian Medina
Batasan Pengakuan Rasulullah (Taqrir)

Oleh: Abdul Wahab Ahmad

Bentuk dalil sunnah ada tiga macam, yakni: apa yang dilakukan Rasulullah (sunnah fi'liyah), apa yang dikatakan oleh Rasulullah (sunnah qauliyah) dan apa yang diakui oleh Rasulullah (sunnah taqririyah).

Saat ini saya akan sedikit menyinggung yang ketiga, yakni taqririyah. Ketika Rasulullah melihat suatu kejadian tetapi tidak melarangnya, maka dengan sendirinya itu menunjukkan bahwa tindakan tersebut boleh dilakukan sebab tak mungkin Rasulullah membiarkan suatu kesalahan terjadi tanpa mengoreksinya. Ini yang disebut sunnah taqririyah atau sunnah yang berupa pengakuan dari Rasulullah. Sampai poin ini banyak yang tahu.

Namun perlu diketahui juga bahwa pembiaran Rasulullah terhadap suatu kejadian bisa dianggap taqrir (pengakuan Rasulullah bahwa suatu hal diperbolehkan) hanya apabila itu dilakukan oleh seorang Muslim saja. Syaikh as-Syaukani menjelaskan:

إرشاد الفحول إلى تحقيق الحق من علم الأصول (1/ 117)
وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ الْمُقَرَّرُ مُنْقَادًا لِلشَّرْعِ، فَلَا يَكُونُ تَقْرِيرُ الْكَافِرِ عَلَى قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ دَالًّا عَلَى الْجَوَازِ.
"Hal yang diakui haruslah bermuara pada syariat, maka pembiaran terhadap orang kafir atas perkataan atau perbuatannya tidaklah menunjukkan kebolehan".

Dari sini kita tahu bahwa pembiaran Rasul pada beberapa komentar atau perbuatan orang kafir seperti tercatat dalam beberapa hadis tidaklah bisa dijadikan hujjah bahwa Rasulullah merestui itu.

Dalam hal akidah, pernah ada orang kafir Yahudi yang berkata bahwa langit ada di satu jari Tuhan, bumi di satu jari lain, dan gunung di satu jari lain. Nabi Muhammad ternyata tertawa mendengat hal itu dan salah satu perawi hadisnya (فضيل) menyimpulkan bahwa Nabi setuju atau iqrar terhadap pernyataan Yahudi itu. Beberapa tokoh terkemuka menjadikan hal ini sebagai dalil bahwa Allah punya beberapa jari tangan dan bahkan menyesatkan siapa pun yang tak mau mengakuinya. Padahal, kesimpulan itu secara akidah sangat bermasalah sebab kandungan tajsim di dalamnya.

Kesimpulan perawi dan beberapa tokoh tersebut salah sebab ucapan Yahudi sama sekali bukan rujukan dan diamnya Nabi terhadap itu tak bisa diartikan persetujuan. Hal yang sama berlaku pada hadis yang menceritakan bahwa Nabi bertanya pada seorang musyrik bernama Abu Hushain, "Berapa tuhan yang kau sembah hari ini?". Dia jawab: "Ada tujuh, enam di bumi dan satu di langit". Beberapa tokoh menjadikannya dalil bahwa Allah berada secara fisik di langit sebagaimana berhala berada secara fisik di bumi dan mereka menyangka bahwa Nabi mengakuinya. Ini kesimpulan yang gegabah. Meyakini bahwa Allah bertempat dalam ruang tertentu seperti halnya berhala dan bahkan kita semua bertempat dalam ruang tertentu adalah akidah bid'ah. Saya sudah sering membahas ini secara mendetail sehingga tak perlu diulang.

Semoga bermanfaat

Abdul Wahab Ahmad
27 April pukul 23.43 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.