Sebuah kenyataan yang menarik untuk diamati bahwa Baghdad sebagai ibukota dunia Islam pernah mengalami penghancuran total pada pada tahun 1258 oleh tentara Mongol. Awalnya pada tanggal 10 Februari, Al-Musta’shib billah (1242-1258 M) sebagai khalifah terakhir Dinasti Bani Abasia resmi menyerah.
Khalifah Al-Mus'tasim ditangkap dan disuruh melihat rakyatnya yang sedang disembelih dijalan-jalan dan hartanya yang dirampas. Kemudian setelah itu khalifah dibunuh dengan cara dibungkus dengan permadani dan diinjak-injak dengan kuda sampai mati. Semua anaknya dibunuh kecuali satu yang masih kecil dijadikan budak dan dibawa ke Mongol.
Pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan kemudian langsung melakukan penghancuran kota Baghdad hingga hancur total dan rata dengan tanah.
Sejarawan Islam, Abdullah Wassaf memperkirakan pembantaian warga kota Baghdad mencapai beberapa ratus ribu orang. Ian Frazier dari majalah The New York Worker memberi perkiraan sekitar 200 ribu sampai dengan 1 juta orang.
Perpustakaan-perpustakaan di Baghdad, termasuk Bait al-Hikmah, tidak luput dari serangan dengan membuang buku-bukunya yang berharga ke sungai Tigris.
Perpustakaan Agung Baghdad, yang menyimpan banyak sekali dokumen sejarah dan buku yang sangat berharga dalam berbagai bidang mulai dari pengobatan sampai astronomi, dihancurkan.
Orang-orang yang selamat melaporkan bahwa air sungai Tigris menjadi hitam akibat tinta dari banyak sekali buku yang dibuang ke sungai itu dan juga menjadi merah akibat darah dari para ilmuwan dan filsuf yang dibunuh di sana.
Meski demikian, hal itu tidak lantas membuat dunia Islam kehilangan semua kekayaan keilmuan begitu saja.
Alasan pertama karena yang dibakar atau dibuang itu memang jumlahnya cukup banyak. Namun dibandingkan dengan yang dimiliki umat Islam di seluruh dunia, tetap saja tidak ada apa-apanya.
Alasan lain karena meski buku satu perpustakaan dimusnahkan, salinanannya tetap masih ada di beberapa perpustaan yang lain. Hal ini mengingat bahwa di masa itu meski belum ada mesin cetak, namun kegiatan menyalin suatu karya ilmiyah sudah sangat populer.
Buku-buku itu disalin dan dibuatkan copy-nya dengan tangan manusia. Mereka yang mengerjakannya disebut sebagai warraq (وراق).
Baghdad boleh musnah, istana khalifah boleh runtuh, khalifah bisa dibunuh, namun ilmu-ilmu keislaman warisan para pendahulu kita masih terjaga hingga hari ini.
Kalau pun ada yang jahat, datangnya bukan dari pihak musuh, melainkan dari kejahatan kita sendiri. Sebab kita di masa sekarang ini membiarkan semua kekayaan khazanah intelektual warisan itu teronggok di dalam musium. Tidak paham dan tidak dipelajari. Bahkan bahasanya pun kita tidak menguasainya.
Padahal warisan itu ditulis dalam bahasa Arab, bahasa wahyu, bahasa ahli surga. Hanya dengan bahasa Arab itulah Allah SWT berkenan menjalin kontak dengan nabi-Nya. Bahasa umat Islam sedunia.
Sayangnya dari 1,5 milyar umat Islam, yang melek bahasa Arab hanya 300 jutaan saja. Sisanya, tidak bisa bahasa Arab.
Ini berbeda dengan orang yahudi. Meski jumlah mereka sedikit sekali, hanya 15 jutaan di seluruh dunia, namun rata-rata mereka menguasai bahasa Ibrani.
Jadi kalau pun ada yang ’merusak’ warisan kekayaan intelektual milik umat Islam pada hari ini, bukan Mongol, bukan Yahudi, tetapi kita sendiri yang dengan kejam meninggalkannya teronggok di museum. Tidak pernah dibaca, tidak dipelajari bahkan malah melirik-lirik keilmuan dari mantan penajajah kita.
Ketika kita saling membanggakan diri telah mendisikan sekolah, kampus bahkan pesantren, ternyata tak satu pun dari mereka yang dibekali kemapupuan berbahasa Arab yang serius. Sekedar menggugurkan kewajiban saja. Tidak pernah berpikir bagaimana agar generasi mendatang nanti melek bahasa Arab dan akan menikmati warisan kekayaan intelektual para ulama muslim sepanjang 15 abad ini.
Bahkan para pendiri lembaga pendidikan milik umat Islam pun tidak pernah terpikir bahwa kita punya kekayaan intelektual terbesar sepanjang sejarah. Sebab dia sendiri pun tidak pernah dibekali dengan pemahaman tentang peta ilmu-ilmu keislaman. Maka ketika mendirikan lembaga pendidikan, arahnya malah keliru. Sungguh tragis . . .
Ahmad Sarwat, Lc.MA
Ahmad Sarwat
29 Maret pukul 12.00 ·
#Ahmad Sarwat