Pertanyaan Jebakan: Apakah Allah di Luar Alam ataukah di Dalamnya?

Pertanyaan Jebakan: Apakah Allah di Luar Alam ataukah di Dalamnya? - Kajian Medina
Pertanyaan Jebakan: Apakah Allah di Luar Alam ataukah di Dalamnya?

Ada satu pertanyaan yang populer di kalangan para teolog Muslim. Pertanyaan ini menjadi kontroversi sebab berhubungan dengan aqidah dan bahkan menjadi salah satu poin pembeda antara Ahlussunnah wal Jama’ah dan golongan lain. Pertanyaannya adalah: Apakah Allah berada di luar alam ataukah di dalamnya?

Pertanyaan ini sebenarnya adalah jebakan yang apabila dijawab dengan salah satu dari jawaban yang tersedia, maka pasti akan salah. Bila kita mengatakan bahwa Allah berada di dalam alam, itu sama saja dengan mengatakan bahwa Allah bertempat dan bercampur dengan makhluk-Nya di alam dunia ini. Akan tetapi ketika kita mengatakan bahwa Allah di luar alam, maka sama saja kita mengatakan bahwa Allah terbatas dalam ruang dan arah tertentu. Jadi, kedua jawaban tersebut bisa dipastikan salah dan mustahil bagi Tuhan yang keberadaan-Nya tak terbatas dalam ruang atau waktu.

Karena itulah para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan bahwa Allah tidak di luar alam dan tidak juga di dalamnya. Imam Ibnul Jauzi (597 H) menjelaskan:

وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه لأن الدخول والخروج من لوازم المتحيزات

“Demikian juga sebaiknya dikatakan bahwa Allah tidak berada di dalam alam dan juga tidak berada di luarnya karena di dalam atau di luar keduanya termasuk konsekuensi dari adanya batasan-batasan”. (Imam Ibnul Jauzi, Daf’u Syubahi at-Tasybîh, 130)

Senada dengan itu, Imam Abu al-Mudhaffar al-Isfirayini (471 H) juga mengatakan:

وأن تعلم أن الحركة والسكون والاتصال والانفصال .. كلها لا تجوز عليه تعالى لأن جميعها يوجب الحد والنهاية

“Engkau harus tahu bahwa gerakan, diam, bersambung, berpisah seluruhnya tidak mungkin bagi Allah Ta'ala sebab semua itu mewajibkan adanya batasan dan ujung”. (Imam Abu al-Mudhaffar al-Isfirayini, at-Tabshîr fî ad-Dîn, 97)

Meski banyak ulama yang menjelaskannya, namun banyak juga orang yang tidak dapat memahami penjelasan di atas sehingga menyangka bahwa ucapan “tak di dalam dan tak di luar” berkonsekuensi pada penafian terhadap eksistensi Tuhan. Bagi mereka, kalau tak di dalam alam dan tak di luarnya berarti sama saja dengan mengatakan tak ada. Akhirnya mereka menolak pernyataan ini sekuat tenaga, seperti yang juga dilakukan oleh pelaku Salafi di era modern ini dalam buku-buku mereka.

Sebenarnya bukan hanya orang sekarang yang bingung, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (504 H) menjelaskan bahwa di masanya juga ada orang yang bingung terhadap istilah ini sehingga menolaknya. Beliau berkata:

إن الله تعالى مقدس عن المكان ومنزه عن الأقطار والجهات وأنه ليس داخل العالم ولا خارجه ولا هو متصل ولا منفصل عنه ؛ قد حير عقول أقوام حتى أنكروه إذ لم يطيقوا سماعه ومعرفته

“Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Suci dari tempat, ujung, arah dan bahwasanya Allah tidak di dalam alam dan juga tidak di luarnya. Tidak juga Ia bersambung dan tidak juga terpisah dari alam. Akal sebagian kelompok menjadi bingung sehingga mereka mengingkarinya karena mereka tidak mampu mendengar dan mengetahuinya”. (Imam Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, juz IV, halaman 434)

Meskipun mengetahui bahwa Allah tak berada di dalam alam atau di luarnya adalah aqidah yang sangat penting, namun ulama Ahlussunnah wal Jama’ah tetap memaklumi orang-orang pada umumnya yang tidak paham sebab ini adalah perkara yang memang tak dapat dijangkau oleh orang dengan kemampuan rasio yang standar. Imam Izzuddin bin Abdissalam (660 H), yang terkenal dengan julukan Sultanul Ulama, mengatakan:

فَإِنَّ اعْتِقَادَ مَوْجُودٍ لَيْسَ بِمُتَحَرِّكٍ وَلَا سَاكِنٍ وَلَا مُنْفَصِلٍ عَنْ الْعَالَمِ وَلَا مُتَّصِلٍ بِهِ، وَلَا دَاخِلٍ فِيهِ وَلَا خَارِجٍ عَنْهُ لَا يَهْتَدِي إلَيْهِ أَحَدٌ بِأَصْلِ الْخِلْقَةِ فِي الْعَادَةِ، وَلَا يَهْتَدِي إلَيْهِ أَحَدٌ إلَّا بَعْدَ الْوُقُوفِ عَلَى أَدِلَّةٍ صَعْبَةِ الْمُدْرَكِ عَسِرَةِ الْفَهْمِ فَلِأَجْلِ هَذِهِ الْمَشَقَّةِ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا فِي حَقِّ الْعَادِي.

“Sesungguhnya meyakini ada eksistensi yang tidak bergerak juga tidak diam, tidak bertempat di dalam dan juga tidak terpisah dari alam ,tidak bersambung dengan alam, tidak di dalamnya dan tidak juga di luarnya, adalah ucapan yang tidak dapat dimengerti oleh seseorang dengan kecerdasan bawaannya. Juga takkan ada yang mengerti kecuali setelah mengetahui dalil-dalil yang sulit dijangkau dan dipahami. Karena kesulitan inilah, maka Allah mengampuni orang pada umumnya yang tak mengerti”. (Izzuddin bin Abdissalam, Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, juz I, halaman 201)

Padahal kalau mau berpikir sederhana saja, tidak ada yang rumit dari istilah ini. Allah tidak bisa dikatakan di dalam alam atau di luar alam atau bersambung atau terpisah dengan alam sebab Allah memang bukan jism (materi) sehingga tidak relevan mengatakan itu semua yang menjadi ciri khas jism.

Ini sama saja dengan pertanyaan “apakah sebongkah batu adalah lelaki atau perempuan?” Dijawab lelaki salah, dijawab perempuan juga salah sebab memang sebongkah batu tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Sama juga dengan pertanyaan “Apakah seekor kambing cerdas atau bodoh?” Menjawab cerdas atau bodoh dua-duanya salah sebab kambing memang tidak punya rasio. Jadi, yang salah dari semua ini adalah pertanyaannya. Andai sejak awal dipahami bahwa Allah ﷻ bukan jism, maka pertanyaan seperti itu tak akan membingungkan. Wallahu a’lam.

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/94775/pertanyaan-jebakan-apakah-allah-di-luar-alam-ataukah-di-dalamnya (Kamis, 23 Agustus 2018 15:30)

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.