Seorang yang memahami bahwa kaidah : إرتكاب أخف الضرارين "Melakukan mudharat yang paling ringan dari dua madharat yang ada", hanya terbatas dalam perkara yang darurat (terpaksa) saja, berarti dia tidak mengerti akan makna kaidah ini dengan baik.
Tahukah anda, bahwa salah satu dalil yang dipakai untuk membangun kaidah ini, adalah kisah Arab Badui yang kencing di dalam masjid Nabi. Saat itu nabi dihadapkan pada dua pilihan, antara mencegah langsung atau membiarkan saja sampai selesai baru diberi nasihat.Dua pilihan ini sama-sama mudharat. Jika dicegah langsung, resikonya orang ini akan melawan yang sangat mungkin air kencing akan menyebar kemana-mana (lebih luas). Jika dibiarkan sampai selesai, mudharatnya masjid nabi akan terkena najis, namun arena yang terkena najis lebih sempit.
Akhirnya, nabi memilih yang kedua, yaitu membiarkan saja sampai selesai kencingnya, sebagai mudharat yang lebih ringan. Kondisi yang dihadapi nabi dalam kisah di atas masuk kondisi dharar, bukan darurat. Tapi toh nabi tetap memilih salah satu dari dua pilihan yang ada.
Darurat (kondisi terpaksa yang akan membahayakan/mengancam nyawa, atau agama, atau akal, atau anggota tubuh, atau kehormatan) itu, merupakan salah satu jenis dharar (kerusakan). Tapi sifatnya lebih khusus. Adapun dharar, sifatnya lebih umum, baik meliputi kondisi darurat atau di bawahnya (kerusakan secara umum).
Jika ada dua calon antara muslim dan non muslim, pilih yang muslim. Jika sama-sama muslim, pilih yang paling lebih baik dari keduanya dan paling ringan mudharatnya dengan memperhatikan paslon itu sendiri serta siapa saja yang menjadi pendukungnya. Karena jika kita umat Islam yang paham agama saja tidak memilih, maka kaum yang jelek (PKI, atheis, non muslim, LGBT, munafik, ahli maksiat, liberal, SYIAH, dan yang semisal mereka) yang akan memilih sesuai dengan selera mereka.
Ingat ! Mereka memberikan dukungan kepada paslon tertentu itu tidak gratis, akan tetapi ada "mahar politik" yang harus dibayar sesudahnya, serta berbagai misi/rencana yang akan mereka "goolkan". Contoh : LGBT memberi dukungan, salah satu misinya supaya kalau jagonya menang, mereka mendapatkan keluasan untuk mendapatkan legalitas. Ini baru LGBT nya, belum yang lainnya.
Ikut memilih itu mudharat, tapi tidak memilih itu mudharatnya lebih besar. Maka ambillah yang lebih ringan. Karena di Indonesia ini, satu-satunya cara untuk memilih pemimpin adalah dengan cara pemilu, tidak ada yang lain. Mari kita gunakan hak pilih kita untuk ikut mewujudkan pemimpin yang lebih baik dan paling ringan mudharatnya. Semoga bisa dipahami dengan baik. Barakallahu fiikum.
✒Abdullah Al-Jirani
-----------
Catatan : setelah selesai menulis artikel ini, saya dapat kiriman terkait fatwa Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad -hafidzahullah-. Karena isinya bagus dan lebih memperkuat akan artikel saya, sekalian saya lampirkan di sini :
Pandangan Ulama kibar Robbani Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad mengenai masalah Pemilu atau mencoblos Capres di Pemilu Indonesia.
Pada tanggal 31 Maret 2019 M, Ust Iqbal Gunawan -hafizhahullah- (kandidat doktor di bidang akidah UIM) telah bertanya kepada Syeikh Abdul Muhsin Al'Abbad -hafizhahullah- (ulama hadits paling senior di Madinah, bahkan di Arab Saudi) dg pertanyaan kurang lebih seperti ini:
"Dua pekan lagi di INDONESIA akan diadakan pemilu utk memilih presiden, ada dua calon yg maju.
Ketika tdk tahu mana yg lbh ringan mudharatnya, apakah kita lebih baik golput?"
Syeikh bertanya: "Semuanya muslim?"
Ust Iqbal: "Iya, semuanya muslim".
Syeikh menjawab: "Tanya siapa yg lebih baik (dari keduanya), tanya orang yg tahu (tentang hal itu)".
------
Lihatlah, bagaimana beliau tetap menganjurkan utk TIDAK GOLPUT .. Beliau menganjurkan agar kita tetap berusaha mencari tahu siapa yg lebih baik dari keduanya, tidak lain utk dijadikan sebagai sandaran pilihan kita.
Kalau kita ingin ikut ulama kibar .. karena berkah itu bersama ulama kibar .. maka saya melihat beliau lebih kibar dari ustadz² yg ada di negeri kita, wallahu a'lam.(Dari Fb : Ust. Musyaffa ad dariny).
Abdullah Al Jirani
1 April pukul 13.44 ·
#Abdullah Al Jirani