Seorang yang golput itu, mau ikut memilih atau tidak ikut memilih, dia akan tetap mendapatkan pemimpin. Mau ikut nyoblos atau tidak ikut nyoblos, proses demokrasi akan tetap berjalan. Secara tidak langsung, orang yang tidak nyoblos pun memiliki “ANDIL” untuk menaikan seorang pemimpin. Gitu mas !
Jadi kalau ada yang bilang : “Golput itu artinya netral, bersih dan tidak bersentuhan dengan pemilu sama sekali sebagai produk demokrasi”, berarti orang ini tidak paham dengan apa yang sedang dia bicarakan. Pendekatannya begini, mas. Ada dua paslon, yang nomor satu kurang baik/buruk, dan nomor dua lebih baik/lebih ringan keburukannya. Jika mayoritas umat muslim memilih yang nomor dua, besar kemungkinan yang naik nomor dua karena mereka mayoritas. Tapi jika banyak yang golput, besar kemungkinan yang naik nomor satu. Maka dengan kegolputan anda, anda telah ikut berperan menaikan pemimpin yang kurang baik.
Jika sama-sama berperan, ya tentunya lebih baik ikut nyoblos. Kenapa ? karena nyoblos itu “aktif”, dimana kita bisa melakukan “ikhtiyar” (usaha) untuk menaikan pemimimpin yang lebih baik sesuai dengan pertimbangan kita. Tapi kalau golput, itu sifatnya “pasif” (diam saja), tidak ada “usaha” real untuk “memilih” pemimpin yang lebih baik. Sehingga kuota pemilih akhirnya diambil alih oleh orang-orang yang buruk untuk menaikan pemimpin yang sesuai dengan selera mereka. Ini sebagai bentuk aplikasi dari kaidah “Melakukan mudharat yang lebih ringan dari dua mudharat yang ada”.
Lain halnya kalau pilihan di luar sistem demokrasi. Misal anda diminta untuk memilih buang mangga yang agak baik atau buah mangga yang kurang baik , atau tidak memilih dua-duanya. jika dalam kondisi ini anda ‘golput’ alias memilih untuk tidak memilih, berarti anda tidak akan dapat apa-apa. Kosong ! Jadi, kalau anda mengqiyaskan (menganalogikan) golput dalam pemilu dengan golput di contoh ini, anda telah keliru. Karena anda sedang melakukan analogi dalam kondisi ada perbedaan di antara keduanya. Ini qiyas fasid (analogi yang rusak).
Coba cermati beberapa arahan Syaikh Muhammad bin Utsaimin –rahimahullah- berikut ini :
1).” Saya (Syaikh Inbu Utsaimin) berpendapat bahwa sesungguhnya (ikut memilih dalam) pemilu itu WAJIB, kita wajib memilih orang yang kita lihat ada kebaikan pada dirinya, karena apabila orang-orang baik tidak ikut berpartisipasi, siapa yang akan mengisi tempat mereka? Yang akan mengisi tempat mereka tentunya orang-orang buruk, atau orang-orang ‘kosong’ yang tidak punya kebaikan dan keburukan, bisanya hanya membebek kepada orang lain. Oleh karenanya kita harus memilih orang yang kita lihat baik.”
2). “Apabila ada yg berkata: kita kan hanya memilih satu orang saja, padahal mayoritas orang yang di majlis tidak baik seperti dia. Kita jawab: tidak masalah, satu orang yang baik ini, apabila Allah menjadikan keberkahan padanya, dan dia sampaikan kebenaran di majlis itu, pastinya akan memiliki pengaruh baik.” [ Liqo’ Babil Maftuh : 211/13 ].
Setelah memberikan dua arahan tersebut, beliau berpesan :
رَشِّحْ مَنْ ترى خيّرا ، وتوكل على الله
“Maka, pilihlah orang yang engkau lihat baik, dan bertawakkallah kepada Allah.” [Idem]
Ikut nyoblos, bukan berarti menghalalkan demokrasi. Tapi hanya sebatas untuk melakukan mudharat yang lebih ringan dalam hal memilih seorang pemimpin. Karena kita hidup di negera yang menganut sistem demokrasi. Dimana mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kita akan dipaksa untuk masuk ke dalam sistem ini. Baik dalam bentuk “ikut memilih” atau “golput”. Baik kita “ikut nyoblos” atau “golput”, semuanya akan ada pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Sekali lagi, jangan golput ! Kecuali golput dalam arti khusus, yaitu “memilih golongan putih (02)”.
✒Abdullah Al Jirani
#bersamaulamakibar
#jangangolput
Abdullah Al Jirani
11 April ·
#Abdullah Al Jirani