Kenapa kembali kepada sunnah itu tidak sesederhana yang kita pikirkan? Kenapa tidak sekedar baca terjamahan shahih Bukhari tiap habis shalat?
Jawabnya langsung praktek saja biar mudah memahaminya. Contohnya hadits yang memerintahkan mencuci 7 kali wadah air bila dipakai minum anjing.
Kalau urusan shahih, kita sudah selesai. Cuma ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab :
Pertanyaan pertama, kenapa yang disuruh cuci 7 kali justru wadahnya, padahal boleh jadi anjing tidak menjilat wadah itu. Teksnya menyebutkan bahwa anjing memasukkan moncongnya ke air yang berada di dalam wadah itu. Istilah yang dipakai dalam hadits walagha fihi (ولغ فيه).
Anggaplah liur (su'ru) anjing itu najis, berarti mengkontaminasi air, maka airnya ikut jadi najis. Terus air itu mengkontaminasi wadah, sehingga wadahnya ikut jadi najis juga. Saking, najisnya sampai mencucinya harus 7 kali, salah satunya pakai tanah. Begitu kah?
Pertanyaan kedua, kalau wadahnya saja sampai jadi ikut najis, lalu bagaimana dengan tubuh anjing itu sendiri? Najis apa suci? Keringatnya najis nggak? Bulunya yang rontok itu bagaimana statusnya?
Pertanyaan ketiga, angka 7 kali pencucian itu apakah hakiki atau majaz? Apakah maksudnya kudu 7 kali secara ritual, atau sampai bersih sampai ke level molekul?
Pertanyaan keempat, apa 'illat kenajisan air liur anjing ini sehingga najisnya babi pun diqiyaskan kepada najisnya air ilur anjing? Padahal babinya baik-baik saja, tidak pernah bikin keributan. Kenapa kok tiba-tiba naik kelas jadi sejajar dengan anjing? Dia salah apa?
Lagian bahwa babi itu najis mughallazhah kan tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Dasarnya qiyas ke najisnya anjing.
Kalau tidak pernah belajar ilmu fiqih, masalah seperti ini tidak pernah terpikirkan. Karena dikiranya cukup baca hadits, selesai semua urusan.
Padahal sama sekali tidak. Dalam ilmu fiqih, justru semua pertanyaan di atas malah dibedah, diteliti, didiskusikan, dicarikan 'illat kenajisannya, juga ditelaah mendalam, kenapa najis babi kudu diqiyaskan dengan najis anjing.
Lucunya, hadits-hadits itu cuma dibaca begitu saja arab dan terjemahnya, lalu selesai begitu saja. Orang yang kultum itu pun duduk. Tiap habis shalat jamaah 5 waktu ada sesi ritual pembacaan hadits, sama sekali tanpa rincian hukumnya.
Dia pikir kayak Quran, asalkan sudah dibaca, sudah dapat pahala. Urusan paham apa tidak, lain cerita. Tapi apa yang mau dijelaskan, orang dia sendiri pun tidak paham apa yang dia baca. Buku terjemhan hadits itu cuma menampilkan matan hadits, syarah atau penjelasannya tidak ada. Kalau mau ketemu penjelasannya, jangan buka kitab hadits, buka kitab fiqih 4 mazhab.
Nafsunya ingin menghidupkan sunnah, sayangnya justru tidak paham sunnah.
Ahmad Sarwat, Lc.MA
Ahmad Sarwat
24 April pukul 09.17 ·
#Ahmad Sarwat