Siang ini saya tak jadi imam jumat. Saya bisa duduk di tempat manapun di masjid dan tinggal duduk menikmati suplemen rohani dari Khatib. Ini kenikmatan tersendiri bagi saya.
Secara fikih, shalat jamaah pahalanya 27 kali lipat shalat sendirian dan setahu saya tak ada pahala tersendiri bagi posisi imam atau makmum. Jadi sama saja sebenarnya, bedanya hanya satu di depan dan satu lagi di belakang.
Namun menjadi Imam perlu kehati-hatian ekstra yang lebih dari makmum:
> Bila jadi khatib ngasih nasehat tapi tak bisa melakukannya sendiri, maka kena "kabura maqtan" alias marah besar Allah.
> Bila di hati ada rasa ingin dipuji bacaan atau khutbahnya bagus, kena ancama riya'.
> Bila di hati ada rasa lebih baik dari imam lainnya, kena ancaman ujub dan takabbur
> Bila salah baca atau salah menerangkan, jadi malu.
> Bila isi khutbah tak menarik, hanya bikin ngantuk jamaah
> Bila durasi khutbah terlalu lama, makmum bisa tak sabar.
Itulah tak enaknya kalau jadi Imam/khatib. Bebannya lebih besar, tapi pahalanya secara umum sama (kecuali kalau khutbahnya ternyata dipraktekkan oleh pendengar sehingga juga kecipratan pahalanya).
Jadi kalau saya ditanya lebih enak mana jadi imam jumat dan jadi makmum, jawaban saya jelas lebih enak jadi makmum. Tapi selera orang beda-beda sehingga ada saja yang berjuang ingin jadi imam hingga kalau tak masuk jadwal maka ngambek, bahkan ada yang sampai bikin masjid sendiri meski di kampung yang sama. Tindakan itu seperti semangat tinggi untuk memungut remahan roti di pinggir jurang.
Tapi kalau diminta masyarakat bagaimana? Ya diterima saja sambil jaga hati dengan harapan diterima Allah.
Abdul Wahab Ahmad
26 April pukul 13.29 ·
#Abdul Wahab Ahmad