Di antara kemungkinan jawabannya (bisa salah satunya atau beberapa di antaranya):
1. Tidak pernah belajar fiqih ala madzhab. Bagi yang belajar fiqih madzhabi, meski mereka menganggap pendapat madzhabnya yang lebih kuat, biasanya tak akan terlalu keras pada pendapat berbeda, terlebih jika itu masih dalam lingkup empat madzhab Ahlus Sunnah.
2. Tidak pernah mencicipi fiqih perbandingan madzhab. Bagi yang pernah mencicipinya, tentu akan sedikit paham bahwa pendapat masing-masing madzhab tersebut, meski berbeda-beda, semuanya berlandaskan dalil. Terlepas ada yang rajih dan ada yang marjuh.
3. Tidak pernah belajar ushul fiqih, sehingga tak pernah mengerti rumitnya memahami dalil dan menyimpulkan hukum darinya.
4. Tak pernah belajar perkara khilaf dan ijma'. Sehingga menganggap semua pendapat yang menyelisihi ustadznya atau kelompoknya dianggap sesat dan menyimpang, padahal itu perkara khilaf di kalangan ulama, yang harus disikapi secara toleran.
5. Tak pernah bercermin, sehingga tak sadar diri.
Apa solusinya?
Belajar agama betul-betul, bertafaqquh fid diin secara serius. Tak perlu ikut-ikutan keributan di dunia maya.
Jangan sampai: Orang awam melakukan kesalahan fatal, kemudian dikritik oleh orang awam yang lain, yang ternyata kritiknya juga salah fatal. Dua-duanya terjatuh pada kesalahan, karena sama-sama tak sadar diri. Dulu perdebatan ilmiah itu hanya di antara orang-orang berilmu. Di era media sosial sekarang, orang-orang awam ikut berdebat dan bicara hal-hal besar dan rumit. Bukan malah mengurai masalah dan meluruskan yang bengkok, malah menambah kekeruhan.
~ Muhammad Abduh Negara ~
Muhammad Abduh Negara II
23 Januari pukul 20.05 ·
Bagi kalangan awam, taqlid wajib hukumnya. Ini pendapat mayoritas ulama, baik klasik maupun kontemporer.
Hal ini juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah, di kitab beliau Al-Ushul Min 'Ilm Al-Ushul.
Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa taqlid haram secara mutlak. Namun pendapat ini lemah dan sulit sekali dilakukan. Jika taqlid haram secara mutlak, meniscayakan semua orang harus paham dalil dan cara menyimpulkan hukum dari dalil tersebut. Dan itu perlu penguasaan Nash serta berbagai cabang ilmu syar'i, yang faktanya hanya sedikit orang yang bisa menguasainya.
~ Muhammad Abduh Negara ~
Muhammad Abduh Negara II
24 Januari pukul 11.48 ·
Banyak kitab yang membahas tentang persoalan khilafiyyah, pembagian dan berbagai ketentuannya. Salah satunya adalah kitab berjudul: Al-Khilaf Anwa'uhu Wa Dhawabithuhu Wa Kayfiyatut Ta'amul Ma'ahu, yang aslinya merupakan risalah magister di Universitas Ummul Qurra, Makkah Al-Mukarramah. Di kitab ini dijelaskan, mana khilaf yang diterima, mana yang tercela, dengan berbagai ketentuannya.
Dalam membahas persoalan khilafiyyah, perlu landasan ilmiah. Tak semua bisa ditoleransi. Dan jelas, tak semua harus ditolak atau dituduh menyelisihi Sunnah. Ada ketentuannya secara ilmiah. Bukan sekadar perasaan, juga bukan sekadar ikut-ikutan pernyataan gurunya, yang bisa jadi juga belum menyelami bahasan tersebut.
Lalu bagaimana?
Nasihat untuk kita semua. Kurangi tergesa-gesa dalam pengingkaran dan bantah-bantahan. Pengingkaran dan bantah-bantahan sebelum matang ilmu, khawatirnya termasuk berbicara tentang Allah ta'ala tanpa ilmu. Wal 'iyadzu billah.
~ Muhammad Abduh Negara ~
Muhammad Abduh Negara II
25 Januari pukul 18.55 ·
#Muhammad Abduh Negara II