Kalau menanyakan pertanyaan itu ke orang muslim kebanyakan, maka kemungkinan besar akan dijawab buruk sebab dalam etika standar kita seringkali dilarang pamer. Alasannnya tentu untuk menghindari riya' (ingin dipuji orang) atau sombong.
Padahal sebenarnya tak sesederhana itu. Pamer atau menunjukkan sesuatu yang dipunyai atau dilakukan pada dasarnya netral atau mubah. Ia tak bisa disebut baik atau buruk. Namun ia bisa menjadi baik dan buruk tergantung dari motif pelakunya.
Bila pamer dalam rangka sombong, maka jadilah pamer yang buruk. Namun bila pamer dalam rangka kebaikan, maka jadilah pamer yang baik. Begini beberapa contohnya:
Betapa banyak orang yang bersedekah terang-terangan diketahui orang banyak, ternyata dalam al-Qur'an disebut "betapa baiknya hal itu" (al-Baqarah: 271). Meskipun sedekah diam-diam lebih baik, tapi sedekah yang diperlihatkan pada orang banyak tetaplah terpuji. Yang mencela sedekah terang-terangan tentu tak paham al-Qur'an.
Demikian juga betapa banyak ahli ilmu yang memamerkan ilmunya pada masyarakat dengan tujuan supaya masyarakat tak ragu untuk menerima apa yang ia katakan. Betapa banyak guru yang memamerkan keuletannya mencari ilmu dan kesuksesannya mendapatkan ilmu dengan tujuan agar murid-muridnya terinspirasi dan mau memngikuti jejaknya. Kalau mereka menyimpan ilmunya rapat-rapat, lalu siapa yang bisa mengambil manfaatnya?
Demikian juga hal-hal yang harus nampak supaya bisa memberi perubahan. Semuanya tanpa ragu harus ditunjukkan dan dipamerkan supaya efeknya terasa. Seorang panutan harus menunjukkan kebaikannya supaya ditiru, seorang pemimpin harus menampakkan kualitasnya supaya tak diremehkan bawahannya, seorang pengelola zakat harus memamerkan keberhasilannya membantu banyak orang supaya orang-orang tertarik dan percaya pada lembaganya, dan demikian seterusnya untuk hal lain yang seyogyanya tak disembunyikan.
Yang buruk dari pamer adalah bila dalam rangka sombong, meremehkan orang lain dan haus pujian. Inilah penyakit utamanya yang menjadi aib bagi segala macam tindakan. Bila tak ada unsur ini, maka pamer bukan masalah, bahkan bisa wajib dalam beberapa kondisi seperti di atas.
Adapun ajakan jangan pamer, secara umum itu benar karena dalam pamer memang ada celah untuk setan bermain. Namun dalam ajakan tidak pamer juga sama ada celah bagi setan untuk mempermainkan manusia. Betapa sering setan menggagalkan rencana sedekah dengan bisikan: "hey, masih ada orang lihat", menggagalkan rencana perbuatan baik dengan bisikan: "hey nanti riya' loh", menggagalkan upaya seseorang untuk bertindak positif dengan bisikan: "hey, nanti orang bilang kamu pamer loh". Itu semua bisikan setan dan kadang setannya berwujud manusia. Kata sebagian ulama, menggagalkan perbuatan baik karena takut riya' justru merupakan riya' itu sendiri.
Seringkali justru dalam ajakan melarang pamer terselip pamer yang tercela. Ungkapan seperti: jangan pamer kekayaan sebab itu buruk, yang baik seperti saya ini; jangan pamer ilmu sebab itu buruk, yang baik seperti saya ini; jangan pamer amal baik sebab itu buruk, yang baik seperti saya ini; dan semisal itu justru merupakan wujud pamer yang buruk. Pelakunya memburukkan pamer yang dilakukan orang lain yang belum tentu dianggap buruk oleh Allah dengan menunjukkan pamer yang dilakukan dirinya sendiri yang belum tentu lebih diridoi oleh Allah.
*ini hanya catatan sebagai pengingat diri, bukan untuk menilai orang.
Abdul Wahab Ahmad
17 Januari pukul 22.18 ·
#Abdul Wahab Ahmad