Bid'ah

Bid'ah - Kajian Medina
*BID’AH*
*(Syarh Hadis No. 5 Kitab Al-Arba’un An-Nawawiyah)*

*Oleh: Robi Pamungkas*
*(Santri Ma’had Khadimussunnah Bandung)*

عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه، فهو ردّ)) : رواه البخاري ومسلمٌ ، وفي روايةٍ لمسلمٍ : ((من عمل عملًا ليس عليه أمرنا، فهو ردٌّ ))

Dari Ummu al-Mu’minin Ummu Abdillah ‘Aisyah رضي الله عنها beliau berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barang siapa yang membuat-buat dalam urusan kami (agama) ini yang tidak ada dasar (agamanya) maka tertolak” (HR. Bukhari & Muslim). Dalam riwayat Muslim: “Barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada dasarnya dalam urusan kami (agama) maka tertolak”.

*Keutamaan Hadis*

Imam Ibnu Rajab al Hanbali berkata: “Hadis ini adalah termasuk pondasi penting dalam Islam, sebagaimana hadis (“amal tergantung niatnya”) adalah ukuran untuk amal yang bersifat batin, maka hadis (Aisyah) adalah ukuran untuk amal yang bersifat dzahir. Sebagaimana setiap amal yang tidak dimaksudkan untuk mengharapkan ridha Allah tidak ada baginya pahala, begitupun setiap amal yang tidak sesuai denga perintah Allah dan Rasulnya maka amal itu tertolak” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 68)

Hadis ini salah satu pondasi penting didalam Islam, Imam Ahmad berkata: “Pondasi Islam berputar pada tiga hadis: hadis (إنما الأعمال بالنيات ) , hadis (من أحدث في أمرنا ), dan hadis (الحلال بين والحرام بين ) (al-Asybah wa an-Nazhair. Hal. 33) .

*Penjelasan Hadis*

Hadis ini menjadi takhsis (pengkhusus) dari keumuman hadis:

حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنه ، وفيه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول في خطبته : ( إن أصدق الحديث كتاب الله ، وأحسن الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار )

Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنه: Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata dalam khutbahnya : “Sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad صلى الله عليه وسلم, seburuk-buruknya perkara adalah perkara yang diada-adakan, setiap perkara yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan didalam neraka” (HR. An-Nasai)

Hadis ini datang dengan lafadz umum (كل بدعة) . Lafadz umum adalah lafadz mufrad yang memiliki makna satu tetapi mencakup dua bagian atau lebih dibawahnya, tanpa keutamaan salah satu bagiannya terhadap yang lain dalam dilalahnya (penunjukan maknanya), kecuali apabila terdapat takhsis (Taysir al-Wushul ila al-Ushul, hal. 202)

Artinya bid’ah yang ditunjukan oleh hadis Jabir ini mencakup semua hal, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan ibadah, baik ada dalilnya walaupun bersifat umum ataupun tidak ada dalilnya sama sekali. Sedangkan hadis ibunda Aisyah mentakhsis keumuman hadis Jabir dengan lafadz (ما ليس منه: yang bukan bagian dari urusan kami), dalam riwayat lain disebutkan (من أحدث في ديننا ما ليس فيه فهو رد: barang siapa yang mengada-adakan dalam agama kami yang bukan termasuk agama maka tertolak). Hadis ini sangat jelas sekali, bahwa bid’ah yang dimaksudkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah perkara bid’ah dalam urusan agama yang sama sekali tidak bisa dikembalikan kedalam dalil manapun (agama). Hal ini berdasarkan mafhum mukhalafah dari kalimat (ما ليس منه ), karena kalimat tersebut datang dengan bentuk sifat sehingga bisa ditarik mafhum mukhalafahnya (pemahaman kebalikan), bahwa setiap perkara yang masih ada dalam naungan agama (dalil) maka hal tersebut bukan termasuk kedalam bid’ah yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam hadis Jabir. Ini senada dengan perkataannya Ibnu Rajab: “hadis ini secara tersurat menunjukan bahwa setiap amal yang tidak ada dasar syariatnya maka tertolak. Sedangkan secara tersirat hadis ini menunjukan bahwa setiap amal yang ada dasarnya dalam syariat maka tidak tertolak” (Jami al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 68)

Sehingga bid’ah yang ada dalam hadis Jabir tidak mencakup semua perkara baru, karena ada dalil pentakhsis yang menjelaskan jika masih ada dalam naungan dalil maka hal tersebut bukan termasuk bid’ah yang tercela. Maka kalimat (كل بدعة ) dalam kajian ilmu balaghah termasuk majaz mursal dengan ‘alaqah (إطلاق الكل وإرادة الجزء ) menyebutkan semua tetapi yang dimaksud sebagian. Sebagaimana dalam hadis riwayat Bukhari , Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

الحبة السوداء شفاء من كل داء إلا السأم

“Habat as-Sauda (biji hitam) adalah obat dari segala penyakit kecuali kematian”
hadis ini ada dalam Shahih Bukhari, para pensyarah hadis sepakat bahwa hadis ini tidaklah bersifat umum walaupun didalam hadis ini terdapat lafadz (كل) (as-Sunnah wa al-Bid’ah, hal. G), dan kalimat yang berisfat umum tetapi yang dimaksud khusus banyak bertebaran didalam Al Quran dan Sunnah jika kita mau menelitinya.

Sikap suka membid’ahkan amalan orang lain hanya karena dianggap tidak ada contoh atau perintah dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم itu dibangun berdasarkan pemahaman yang keliru terhadap bid’ah, yaitu dengan men-generalisir semua perkara baru baik ada dalilnya ataupun tidak kalau tidak dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah maka bid’ah, dan juga dibangun berdasarkan kesalahan pemahaman akan sunnah yang menjadi lawan dari bid’ah.

Berdasarkan itu sebelum kita masuk kedalam makna bid’ah, terlebih dahulu kita harus pahami makna sunnah yang menjadi lawan bid’ah. Kalau kita perhatikan hadis-hadis yang berbicara bid’ah pasti diiringi oleh kalimat sunnah atau petunjuk Nabi (هدى النبي). Contoh dalam hadis-hadis berikut:

1. حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنه ، وفيه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول في خطبته : ( إن أصدق الحديث كتاب الله ، وأحسن الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار )

Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنه: Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata dalam khutbahnya: “Sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad صلى الله عليه وسلم, seburuk-buruknya perkara adalah perkara yang diada-adakan, setiap perkara yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan di dalam neraka” (HR: An Nasai)

2. فَقَالَ الْعِرْبَاضُ " صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا؟ فَقَالَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ "

Berkata al-‘Irbadh: Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada suatu hari mengimami kami, kemudian beliau menghadap kami lalu beliau memberikan nasihat yang sangat menyentuh yang menjadikan mata menangis dan hati berguncang. Lalu ada seseorang berkata: Wahai Rasulullah seolah-olah ini adalah nasihat perpisahan, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami ? Rasulullah bersabda: “aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dan taat patuh sekalipun kepada hamba sahaya habasyi, karena siapa yang hidup dari kalian setelahku, dia akan melihat banyak perbedaan. Maka peganglah oleh kalian sunnahku dan sunnah khulafa ar-Rasyidin, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR: Abu Dawud, Tirmidzi, dll)

3. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ "

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barang siapa yang membuat dalam Islam sunnah yang baik maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka, dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa dan dosa yang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka” (HR: Muslim)

Maka kita perhatikan dihadis yang pertama lawannya perkara baru dan bid’ah adalah petunjuk Nabi, dan petunjuk Nabi adalah sebaik-baiknya petunjuk, dan buruknya perkara baru yang menyelisihi petunjuk Nabi dan itu adalah bid’ah. Sedangkan dalam hadis kedua lebih jelas lagi lawannya sunnah Nabi dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin adalah perkara muhdats dan bid’ah. Hadis ketig jelas sunnah hasanah adalah asala, maka apa yang keluar darinya adalah sunnah sayyiah yang itu dijelaskan dalam hadis nomor satu dengan bid’ah (as-Sunnah wa al-Bid’ah, hal. 6)
Artinya makna sunnah yang berlawanan dengan bid’ah bukanlah sunnah dalam arti fiqh, uhsul fiqh atau pun hadis.Melainkan bermakna metode atau cara hidup, karena sunnah secara bahasa adalah jalan (ath-Thariqah), sedangkan secara makna syar’i sunnah adalah jalan (petunjuk) Nabi صلى الله عليه وسلم yang ada dalam hadis Jabir dan juga hadis: لتتبعن سنن من قبلكم (janganlah kalian mengikuti sunnah-sunnah (cara/metode hidup) orang-orang sebelum kalian). Sehingga ini menjadi penafsir dari hadis (من سن في الإسلام سنة حسنة ) bahwa sunnah yang dimaksud adalah cara Nabi dalam menerima dan menolak suatu amalan dalam kehidupan beliau, juga bermakna cara menerima dan menolaknya para khulafa ar rasyidin suatu amalan dalam kehidupan mereka. Kesimpulannya sunnah yang dimaksud oleh Nabi dalam hadis-hadis yang berlawanan dengan bid’ah adalah qawaid (kaidah) yang digunakan oleh Nabi dan khulafa ar-rasyidin dalam menerima dan menolak suatu amalan.

Contoh Nabi menerima suatu amalan:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ أَبِي حَيَّانَ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، " أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قال لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ: يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ "

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata kepada Bilal ketika shalat subuh: wahai bilal ceritakan kepadaku amalan apa yang engkau paling sukai dalam Islam, karena aku mendengar suara kedua terompahmu disurga. Bilal berkata: tidaklah aku beramal dengan amal yang paling aku sukai kecuali aku bersuci baik pada siang atau pun malam hari kecuali aku shalat dengan bersuci itu yang telah Allah tuliskan aku untuk shalat” (HR: Bukhari)
Imam Ibnu Hajar al Asqalani berkata dalam Fathu al Bari : “dari hadis ini bisa diambil faidah bolehnya berijtihad dalam penentuan waktu ibadah, karena Bilal telah sampai kepada (kesimpulan) yang telah disebutkan dalam hadis dengan istinbatnya (penggalian hukum), lalu Nabi membenarkan perbuatan Bilal” (Fathu al-Bari, 8/312; As-Sunnah wa al-Bid’ah, hal. 12)

Dalam hadis ini sangat nyata Bilal melakukan suatu amalan yang tidak pernah dicontohkan dan diperintahkan oleh Nabi, namun Nabi bukan menyalahkan Bilal tapi justru menyanjungnya dengan mengatakan suara terompahnya ada dalam surga. Hal itu karena Bilal melakukan suatu amalan yang masih ada pijakan dalilnya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam al Hakim:

الصَّلَاةُ خَيْرُ مَوْضُوعٍ، فَمَنْ شَاءَ اسْتَقَلَّ، وَمَنْ شَاءَ اسْتَكْثَر

“Shalat adalah sebaik-baiknya tempat, maka barang siapa yang ingin (shalat) sedikitkanlah dan barang siapa yang ingin (shalat) perbanyaklah”

Contoh hadis lain:

عنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيِّ، قَالَ: " كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ، قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟ قَالَ: أَنَا، قَالَ: رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا
يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ "

“Dari Rifa’ah bin Rafi az Zuraqiy dia berkata: pada suatu hari kami shalat dibelakang Nabi صلى الله عليه وسلم, ketika Nabi mengangkat kepalanya dari rakaat pertama (dari ruku’ ke i’tidal) Nabi berkata: سمع الله لمن حمده , lalu seseorang dibelakang Nabi berkata: ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه. Ketika Nabi selesai shalat, beliau berkata: siapa yang berkata seperti itu? , maka seseorang tadi berkata: saya, lalu Nabi berkata: “aku melihat 35 malaikat saling berebut untuk mencatatnya pertama kali” (HR. Bukhari)

Berkata Ibnu Hajar: “hadis ini dijadikan dalil akan bolehnya membuat-buat dzikr dalam shalat yang tidak diriwayatkan dari Nabi apabila tidak bertentangan dengan yang ma’tsur dan juga bolehnya mengangkat suara dengan dzikr selaam tidak mengganggu” (as-Sunnah wa al-Bid’ah, hal. 13)

Hadis ini menunjukan bahwa qaidah yang digunakan oleh Rasulullah adalah selama amalan itu masih tercakup dalam dalil umum maka tidak bisa dikategorikan bid’ah, buktinya Nabi justru malah memuji perbuatan seseorang tadi padahal tidak diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi.

Kesimpulannya bid’ah itu perkara yang diada-adakan dalam urusan agama yang tidak ada sama sekali dalil yang menanunginya seperti shalat subuh tiga rakaat dan inilah yang disebut dengan bid’ah menurut syara’. Sedangkan perbuatan yang tidak dilakukan oleh Nabi atau diperintahkan, namun masih dinaungi oleh dalil umum atau bisa dikembalikan kepada syariat, maka ini bukan termasuk ke dalam bid’ah menurut syara’. Waallahua’lam

Majelis Kajian Hadits Khadimus Sunnah
21 November 2018 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.