Selama ini, definisi (pengertian) bid’ah lebih cenderung dimaknai dengan : “segala sesuatu (ibadah) yang tidak ada contohnya dari nabi”. Sehingga segala sesuatu yang tidak ada contohnya dari nabi, dikatagorikan bid’ah secara mutlak, tanpa perincian sama sekali. Pengertian ini masih belum lengkap. Oleh karenanya, jika tetap dipaksakan, akan timbul banyak kontradisi dan inkonsisten dalam penerapannya. Mau bukti ? Mari kita lihat satu contoh saja !
Sahabat Utsman bin Affan –radhiallahu ‘anhu- mengadakan (menambahkan) adzan pertama untuk shalat Jum’at. Yaitu, adzan yang dikumandangkan sebelum masuk waktunya. Lalu setelah khatib naik mimbar, baru dikumandangkan adzan lagi (yang kedua). Hal itu beliau lakukan karena manusia saat itu semakin banyak. Sebagaimana diriwayatkan As-Saib bin Yazid beliau berkata :
«كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى المِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ»
“Dulu, panggilan adzan di hari Jum’at, awalnya apabila imam telah duduk di atas mimbar di zaman nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Abu Bakar dan Umar –radhiallahu ‘anhuma-. Maka tatkala (di zaman ) Utsman –radhiallahu ‘anhu- dan manusia mulai bertambah banyak, maka beliau menambah adzan ketiga* untuk Az-Zaura’ ( sebuah tempat di pasar kota Madinah).”[HR. Al-Bukhari : 2/8 No : 912 ].
(*Disebut adzan ketiga, karena beliau menambah satu adzan dari dua adzan yang sebelumnya, yaitu adzan ketika masuk waktu shalat dan iqamah. Dimana iqamah, juga sering diistilahkan dengan lafadz adzan. Sehingga dinamakan adzan ketiga dari sisi pensyari’atannya, akan tetapi disebut adzan pertama dari sisi letak pelaksanaannya).
Perbuatan yang dilakukan oleh Utsman –radhiallahu ‘anhu- termasuk perkara yang baru dalam ibadah. Karena penambahan adzan di sini tidak pernah dicontohkan oleh nabi, tidak pula oleh dua sahabat sebelumnya (Abu Bakar dan Umar). Jika konsisten memakai definisi bid’ah di atas, maka apa yang dilakukan oleh Utsman bin Affan termasuk perkara bid’ah. Jika masuk perkara bid’ah, maka berlaku konsekwensi selanjutnya, yaitu “Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kekesatan di dalam Neraka”. Yang dimaksud “setiap kesesatan di dalam Neraka”, adalah pelakunya. Ini baru satu contoh saja, belum contoh-contoh yang lain.
Tahukah anda, bahwa ijtihad sahabat Utsman bin Affan ini menjadi pendapat mayoritas ulama’ ? bahkan ulama’ kibar salafi, yaitu syaikh Abdul Aziz bin Baz dan syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahumallahu- termasuk juga yang berpendapat dengannya ? Silahkan simak “Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baz” (12/347).
Bahkan menurut syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-, bahwa yang lebih afdhal, adzan shalat Jumat dua kali dalam rangka mengikuti sahabat Utsman bin Affan –radhiallahu ‘anhu-. Beliau –rahimahullah- berkata :
الأفضل أن يكون للجمعة أذانان اقتداء بأمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله عنه
“Yang lebih utama, hendaknya shalat Jum’at memiliki dua adzan dalam rangka mengikuti amirul mu’minin Utsman bin Affan –radhiallahu ‘anhu-.” [ Majmu’ Fatawa : 16/124 ].
Dari sini dapat kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa tidak setiap ibadah yang tidak dicontohkan oleh nabi, pasti dihukumi sebagai perkara bid’ah (secara istilah). Oleh karena itu, jangan terburu-buru untuk menjatuhkan vonis sebuah amalan sebagai perkara bid’ah, hanya karena tidak ada contohnya dari nabi. Tidak sesederhana itu persoalannya, akan tetapi diperlukan sebuah penelitian, serta pendalaman masalah secara detail dari berbagai sisi-sisi yang ada. Wallahu waliyut taufiq.
Lantas bagaimana definisi bid’ah yang lebih tepat ? anda penasaran, tunggu postingan kami berikutnya –insya Allah-.
Solo, 17 Rabi’ul Awwal 1440 H
Abdullah Al Jirani
19 jam ·
#Abdullah Al Jirani