Risalah Maulid (5)

Risalah Maulid (5) - Kajian Medina
RISALAH MAULID (5)

(Syubhat) Para Salaf Shalih Tidak Pernah Merayakan Mawlid al-Nabi.

Sebagian orang beragumentasi bahwa kalau sekiranya perbuatan tersebut baik tentu para ulama Salaf Shalih telah melakukan hal tersebut, sebagaimana kaidah yang mereka tetapkan:

لَوْ كَانَ خَيْراً لَسَبَقُوْنَا إلَيْهِ.

Artinya: “Kalau sekiranya perbuatan tersebut baik, maka para Salaf Shalih telah mendahului kami dalam melakukannya.”
Yakni para Salaf Shalih tidak pernah melakukan, oleh karena itu hal tersebut adalah Bid’ah yang diharamkan.

1. Mawlid al-Nabi Memiliki Landasan dalam Syariat
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa amalan Mawlid al-Nabi merupakan perkara Bid’ah yang Hasanah karena memiliki landasan dari Syariat atas keabsahannya, meskipun hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh para Salaf.

Berkata al-Imam al-Mufassir al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an:

كُلُّ بِدْعَةٍ صَدَرَتْ مِنْ مَخْلُوْقٍ، فَلاَ يَخْلُو أنْ يَكُوْنَ لَهَا أَصْلٌ فِي الشَرْعِ أَوْ لَا، فَإنْ كَانَ لَهَا أصْلٌ، كَانَتْ وَاقِعَةً تَحْتَ عُمُوْمٍ مَا نَدَبَ اللهُ إلَيْهِ، وَ حَضَّ رَسُوْلُهُ عَلَيْهِ، فَهِيَ فِي حَيِّزِ المَدْحِ.

Artinya: “Setiap perkara Bid’ah (yang baru) yang berasal dari makhluk, apakah hal tersebut memiliki asal dalam Syariat atau tidak, apabila memiliki asal, maka perkara tersebut masuk kepada keumuman apa yang dianjurkan Allah, dan Rasul-Nya, maka hal tersebut termasuk ranah (perkara) yang terpuji.”

Sesungguhnya Imam Dar al-Hijrah Malik bin Anas rahimahullah wa radhiya anhu, beliau tidak akan menunggangi kendaraan (kuda, keledai, baghal dsb) selama berada di dalam kota Madinah, perbuatan tersebut dibuat sendiri (pertama kali) oleh beliau yang tidak pernah dilakukan oleh para Shahabat radhiyallahu anhum yang merupakan orang-orang yang paling mencintai Nabi shalallahu alayhi wa sallam, disamping itu, al-Imam Malik menganggap perbuatan tersebut tidak mengapa untuk dilakukan, dan tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari hal tersebut. Berkata al-Imam al-Qadhi Iyyadh al-Maliki rahimahullah dalam al-Syifa:

كَانَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللهُ لاَ يَرْكَبُ بِالْمَدِيْنَةِ دَابَةً و كان يَقُولُ: أسْتَحْيِ مِنَ اللهِ أنْ أَطَأَ تُرْبَةً فِيْهَا رَسُولُ اللهِ بِحَافِرِ دَابَةٍ.

Artinya: “al-Imam Malik rahimahullah tidak akan menaiki hewan kendaraan di dalam kota Madinah, beliau berkata: “Aku malu kepada Allah, bahwa aku akan mengotori tanah yang dimana Rasulullah dikebumikan dengan tapak hewan kendaraan.”

2. Konsep Tark

Sesungguhnya mereka tidak melakukan amalan Mawlid bukan berarti bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang ditinggalkan yang berimplikasi pada keharaman atau kemakruhan, hal ini masuk dalam pembahasan mengenai konsep Tark (meninggalkan).

Al-Imam al-Muhaddits al-Ashri Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari rahimahullah menjelaskan dalam risalahnya Husn al-Tafahhum wa al-Dark li Mas’alah al-Tark, bahwaTark adalah perbuatan baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam meninggalkan sesuatu atau perbuatan yang ditinggalkan oleh para ulama Salaf Shalih tanpa ada hadits atau atsar dengan makna larangan (nahy) mengenai hal yang ditinggalkan tersebut yang berimplikasi keharaman atau kemakruhannya.

3. Macam-Macam Tark
Baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam meninggalkan suatu perkara memiliki beberapa kemungkinan, selain keharaman diantaranya:

a. Tark karena Adat Kebiasaan
Yakni baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan karena bukan kebiasaan beliau, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Walid radhiyallahu anhu sebagai berikut:

أَتَي النَّبِيَ صَلَى اللهُ عليه وسلم بٍضَبٍّ مَشْوٍي، فَأَهْوَى إٍلَيْهِ لٍيَأْكُلَ، فَقٍيْلَ لَهُ: إٍنَّهُ ضَبٌّ، فَأَمْسَكَ يَدَهُ، فَقَالَ خَالِدٌ: أَحَرَامٌ هُوَ؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ بِأَرضِ قَوْمِي، فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ. فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.

Artinya: “Dihidangkan kepada baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam hidangan Dhabb (kadal gurun) yang dipanggang, maka beliau hendak mengambilnya untuk dimakan, maka dikatakan kepada beliau shalallahu alayhi wa sallam: “Itu adalah Dhabb, maka beliau menghentikan tangan beliau, maka Khalid bertanya: “Apakah itu haram?, beliau shalallahu alayhi wa sallam bersabda: “Tidak, namun hewan itu tidak ada di negeri kaumku, maka aku mendapati diriku tidak berminat. Maka Khalid pun makan, sedangkan Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam melihat.”

Al-Imam al-Muhaddits Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari rahimahullah mencatat dua poin dari kisah hadits di atas:

Pertama; Apa yang ditinggalkan baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam meskipun setelah dihadapkan kepadanya, tidak menunjukkan keharaman;

Kedua; Menganggap jijik sesuatu tidak menunjukkan kepada keharaman pula.

b. Tark karena Lupa

Baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam lupa dalam shalat, maka beliau meninggalkan sesuatu di dalamnya (dari bagian shalat), maka beliau shalallahu alayhi wa sallam di tanya:

هَلْ حَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيءٌ؟ فَقَالَ: إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِي.

Artinya: “Apakah ada sesuatu (yang baru) dalam shalat?, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia yang bisa lupa sebagaimana kalian lupa, apabila aku lupa, maka ingatkanlah aku.”

c. Tark karena Khawatir Diwajibkan atas Ummat

Yakni sebagaimana beliau meninggalkan shalat Tarawih secara berjama’ah ketika para Shahabat telah berkumpul untuk shalat Tarawih bersama beliau shalallahu alayhi wa sallam.
Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah al-Shiddiqah radhiyallahu anha:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُواْ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم، فَلَمَّا أَصْبَحَ، قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَ لَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ، وَ ذَلِكَ فِي رَمَضَانَ.

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam suatu malam di masjid, maka orang-orang shalat bersamanya, kemudian beliau shalat dengan sekelompok orang, maka orang semakin banyak, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, maka Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam tidak keluar kepada mereka, ketika subuh hari, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidak ada hal yang menahanku untuk keluar kepada kalian melainkan aku khawatir nanti akan diwajibkan ke atas kalian.”, dan hal tersebut pada bulan Ramadhan.”

d. Tark karena Tidak Terlintas di Benaknya
Yakni, dahulu baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam berkhutbah jum’at kepada batang pohon kurma, dan beliau belum memikirkan tentang penggunaan kursi yang dapat beliau gunakan berdiri di atasnya pada saat khuthbah, tatkala beliau disarankan untuk menggunakan mimbar agar beliau dapat berkhuthbah dengannya, beliau menyetujuinya karena hal tersebut lebih jelas dalam menyampaikan sesuatu untuk didengarkan.

e. Tark karena Telah Masuk kepada Keumuman Ayat dan Hadits
Yakni sebagaimana beliau meninggalkan shalat Dhuha’, atau banyak dari amalan-amalan yang dianjurkan (mandubah), karena hal tersebut telah tercangkup dalam firman Allah ta’ala:

... وَٱفۡعَلُواْ ٱلۡخَيۡرَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ۩ ٧٧

Artinya: “… Dan berbuatlah kebaikkan, agar kamu beruntung.”

f. Tark karena Khawatir Hati Para Shahabat Berubah
Baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam bersabda kepada Sayyidah Aisyah al-Shiddiqah radhiyallahu anha:
لَوْ لاَ حَدَاثَةُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَإِنَّ قُرَيْشاً اسْتَقْصَرَتْ بِنَاءَهُ.

Artinya: “Kalau sekiranya tidak pernah ada (jejak) kekufuran kepada kaummu, maka sungguh akan aku bongkar Ka’bah tersebut, kemudian akan aku bangun lagi di atas pondasi Ibrahim alayhissalam, karena kaum Quraysy menganggap pendek bangunan beliau alayhissalam.”

Al-Imam al-Muhaddits Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari rahimahullah berkata bahwa beliau meninggalkan untuk membongkar dan membangun kembali Ka’bah karena menjaga perasaan para Shahabat dekat beliau dari penduduk Makkah.

4. Tark Tidak Berimplikasi Keharaman (Tahrim)

Tark itu sendiri apabila tidak bersamaan dengan Nash yang menunjukan bahwa perkara yang ditinggalkan tersebut adalah terlarang, maka hal tersebut tidak menjadi hujjah. Adapun perkara yang ditinggalkan tersebut akan menjadi sesuatu yang terlarang, maka hal tersebut tidak berasal dari Tark itu sendiri, melainkan diperoleh dari suatu dalil yang menunjukkan hal tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa Tark tidak bisa dijadikan hujjah dalam mengharamkan sesuatu, sebagai berikut:

Pertama; Diantara redaksi yang menunjukan keharaman adalah sebagai berikut:

a. Al-Nahy
Sebagaimana dalam firman Allah ta’ala:

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُ… ٣٢

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina…”

وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ … ١٨٨

Artinya: “Dan janganlah kamu memakan harta mereka diantara kamu secara batil…”

b. Lafal al-Tahrim
Sebagaimana dalam firman Allah ta’ala:

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ... ٣

Artinya: “Dan diharamkan atas kalian bangkai…”

c. Celaan Atau Ancaman Adzab atas Perbuatan Tersebut
Sabda baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam:

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا.

Artinya: “Barangsiapa yang suka melakukan penipuan, maka dia bukan bagian dari kami.”
Adapun Tark tidak termasuk dalam hal ini.
Kedua; Allah ta’ala berfirman:

... وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ ... ٧

Artinya: “…Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”
Allah tidak berfirman: “Apa yang ditinggalkan olehnya, maka tinggalkanlah.”, maka Tark tidak berimplikasi keharaman.

Ketiga; Sabda baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam:

وَ مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْ مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَ مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فاجْتَنِبُوْهُ.

Artinya: “Apa yang aku perintahkan kalian dengannya maka turutilah semampu kalian, dan apa yang aku larang kalian darinya maka jauhilah.”
Beliau shalallahu alayhi wa sallam tidak bersabda: “Apa yang aku tinggalkan, maka jauhilah.”. Bagaimana bisa Tark menunjukkan keharaman?

Keempat; Para ulama ahli Ushul mendefinisikan Sunnah sebagai perkataan, perbuatan, dan taqrir baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam, mereka tidak mengatakan: “Dan apa yang ditinggalkan beliau.”, oleh karena itu Tark bukan merupakan hujjah.

Kelima; Hukum adalah khitab (titah) Allah, para ulama ahli Ushul menyebutkan bahwa hal tersebut adalah apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas, sedangkan Tark tidak termasuk di dalamnya, maka tidak termasuk dalil Syariat.

Keenam; Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Tark memiliki beberapa kemungkinan makna, sedangkan keharaman tidak masuk di dalamnya, dan kaidah yang ditetapkan oleh para ulama Ushul bahwa sesuatu yang masuk di dalamnya suatu kemungkinan atau interpretasi lain, maka dengannya tidak bisa dijadikan dalil, bahkan telah kami sebutkan sebelumnya bahwa tidak ada riwayat bahwa baginda Nabi shalallahu alayhi wa sallam meninggalkan sesuatu menunjukkan bahwa sesuatu itu adalah haram.

Ketujuh; Tark pada asalnya adalah tidak adanya perbuatan, oleh karena itu, tidak ada merupakan asalnya, sedangkan perbuatan bukan asalnya, dan asal tersebut tidak menunjukkan kepada sesuatu baik secara bahasa atau Syariat, maka tidak berimplikasi keharaman.

Al-Imam al-Muhaddits Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari rahimahullah berkata:

وَ أَيْضاً فَإنَّنَا لاَ نُنْكِرُ اتِّبَاعَهُ صلى الله عليه و سلم فِي كُلِّ مَا يُصْدَرُ عَنْهُ، بَلْ نَرَى فِيْهِ الْفَوْزَ وَ السَّعَادَةَ لَكِنْ مَا لَمْ يَفْعَلْهُ كَالْإِحْتِفَالِ بالْمَوْلِدِ النَّبَوِي وَ لَيْلَةِ الْمِعْرَاجِ، لاَ نَقُوْلُ إِنَّهُ حَرَامٌ، لِأَنَّهُ افْتِرَاءٌ عَلَى اللهِ، إِذْ التَّرْكُ لَا يَقْتَضِي التَّحْرِيْمَ.

Artinya: “Dan juga, sesungguhnya kami tidak mengingkari untuk mengikuti beliau shalallahu alayhi wa sallam dalam setiap hal yang berasal dari beliau, bahkan kami menganggap hal tersebut di dalamnya adalah kejayaan dan kebahagiaan, namun apa saja yang tidak dilakukan beliau seperti perayaan Mawlid al-Nabi dan (perayaan) malam Mi’raj, kami tidak mengatakan bahwa hal tersebut adalah haram, karena hal tersebut merupakan kedustaan kepada Allah, dimana Tark tidak berimplikasi kepada keharaman.”

Wallahu a'lam.
____________
Oleh: al-Ustādz Shadiq Sandimula hafizhahullāh

NSS. Kampung Arab Manado, 7 Rabi' al-Awwal 1440.

Risalah Maulid (5) - Kajian Medina

Risalah Maulid (5) - Kajian Medina


Robi Maulana Saifullah
19 November pukul 07.52 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.