Masalah peringatan maulid Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjadi suatu masalah yang hampir terus diperbincangkan setiap tahun. Terkhusus ketika telah memasuki bulan Rabi’ul Awwal seperti sekarang ini. Perbincangannya seputar apa hukum mengadakan peringatan seperti ini. Dan masalah ini tidak jarang menjadi pematik api permusuhan diantara kaum muslimin, antara yang pro dan yang kontra.
Menurut hemat kami, sebenarnya masalah ini termasuk masalah yang sederhana, jika kita mau berfikir dengan jernih, adil, ilmiyyah, serta mengedepankan sikap kedewasaan dan ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan karena Allah).
Jika disimpulkan, maka akan terumuskan ke dalam beberapa point berikut ini :
1). Harus diakui –dengan jujur sebagai amanat ilmiyyah-, bahwa masalah hukum peringatan maulid Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- merupakan masalah khilafiyyah ijtihadiyyah (perbedaan pendapat yang disebabkan adanya ruang ijtihad bagi para ulama’ di dalamnya). Ada sebagian ulama’ yang memperbolehkan –dengan syarat-syarat tertentu-, dan ada yang tidak memperbolehkan. Perbedaan pendapat ini secara khusus terjadi di kurun belakangan.
Diantara ulama’ yang memperbolehkan : imam Abu Syamah (guru imam An-Nawawi), Imam As-Sakhawi, Imam Al-Iraqi, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, imam As-Suyuthi, dan masih banyak lagi. Diantara ulama’ yang tidak memperbolehkan : Imam Tajuddin Al-Fakihani Al-Maliki, imam Asy-Syathibi, imam Ibnu Taimiyyah, dan yang lainnya. Kedua pendapat para imam Ahlus Sunnah ini, baik yang pro ataupun yang kontra, wajib untuk dihargai sebagai hasil ijtihad dari mereka.
2).Perkara ini bukanlah termasuk perkara ushul agama, yang apabila seorang menyelisihinya (mengamalkannya), telah dihukumi keluar dari lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Namun termasuk perkara furu’ (cabang agama) yang terbuka pintu ijtihad bagi para ulama’ mujtahidin untuk melakukan istimbath hukum (mengali hukum di dalam masalah ini).
3).Khilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah ini termasuk khilaf mu’tabar (perbedaan pendapat yang diperhitungkan), karena terjadi diantara para ulama’ ahlus sunah yang diakui akan kapabilitas keilmuannya, amanahnya, serta ketaqwaannya kepada Allah. Hal yang pantas kita lakukan, menghormati semua pendapat yang merupakan hasil ijtihad para ulama’ pendahulu kita, baik yang kita ambil pendapatnya atau tidak.
4). Jika perkara ini termasuk masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, maka berkonsekwensi adanya saling menghormati dan berlapang dada jika terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak sepantasnya seorang memaksakan pendapatnya kepada orang lain dalam perkara-perkara seperti ini. Bagi yang berpendapat boleh, hendaknya menghormati yang tidak mengamalkannya, dan bagi yang tidak memperbolehkan, hendaknya berlapang dada dari mereka yang mengamalkannya.
Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- sebagaimana dinukil oleh Ibnu Muflih Al-Hambali dalam “Al-Adabusy Syar’iyyah” berkata : “Tidak selayaknya bagi seorang untuk memaksa manusia kepada pendapatnya”.
5). Bagi yang memperbolehkan, peringatan maulid nabi –pada asalnya- bukanlah sesuatu yang disunnahkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan tidak memiliki keutamaan khusus, sebagaimana halnya bulan Ramadhan, atau yang lainnya.
6. Para ulama’ yang memperbolehkan memberikan batasan, bahwa hal itu dilakukan tanpa diiringi dengan berbagai kemungkaran, kemaksiatan, serta keyakinan-keyakinan yang menyimpang dari ajaran Islam. Jadi sekedar peringatan yang diisi dengan berbagai perkara yang bermanfaat, entah pengajian, atau pembacaan sirah nabi, atau pembacaan ayat suci Al-Qur’an, atau yang lainnya.
7. Saya pribadi (Al_jirani) tidak mengamalkan peringatan maulid nabi dan tidak menyakini hal itu sebagai sesuatu yang disunnahkan oleh nabi ataupun memiliki keutamaan secara khusus. Namun, jika saya diminta untuk mengisi ceramah pas di moment tersebut, terkadang saya terima jika ada maslahat yang besar di belakangnya atau untuk menolak mudharat yang lebih parah. Saya pun menghormati sepenuhnya bagi mereka yang mengamalkannya dengan bersandar kepada fatwa para imam yang telah disebutkan sebagian nama-nama mereka.
Demikian beberapa point yang ingin kami sampaikan. Sengaja kami tidak membahas masalah ini dari sisi hukum secara detail, untuk lebih meringkas. Karena menurut kami, masalah di atas telah selesai dibahas oleh para ulama’ kita yang menghasilkan dua pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Oleh karena itu, yang terpenting – menurut kami – saat ini, justru terletak pada bagaimana kita menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah ini dengan bijak dan adil.
Sehingga menurut kami, kita tidak perlu lagi untuk terus meributkan masalah ini tiap tahun, terkhusus ketika memasuki bulan Rabi’ul Awwal. Masih terlalu banyak masalah umat yang perlu untuk diselesaikan. Masih terlalu banyak PR bagi para da’i untuk meluruskan umat dari berbagai penyimpangan, terkhusus dalam masalah aqidah.
Kita sekalian disatukan dan dipersaudarakan dengan tali iman dan Islam. Dimana tidak ada sesuatu yang lebih agung dan lebih mulia dari keduanya. Tidak merupakan sesuatu yang tepat jika persaudaraan dikorbankan dan dihancurkan dengan sebab perbedaan pendapat dalam masalah khilafiyyah semacam ini. Semoga Allah Ta’ala menyatukan hati-hati kaum muslimin di atas ridha-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin.
(maaf, tidak menerima debat dan komentar buruk. Silahkan amalkan apa yang anda yakini, tanpa harus mencela dan memaksa orang lain yang berbeda dengan anda).
Karanganyar,11 Rabi’ul Awwal 1440 H
Abdullah Al Jirani
Abdullah Al Jirani
19 November pukul 13.38 ·
Sumber : https://www.facebook.com/abdullah.aljirani.37/posts/363634631074509
#Abdullah Al Jirani