Jangan Menjadi Lebih Buruk

Jangan Menjadi Lebih Buruk - Kajian Medina
JANGAN MENJADI LEBIH BURUK

Sekitar sembilan tahun yang lalu, saya pernah diundang ke suatu daerah untuk khutbah hari raya Idul Fitri oleh sebagian teman-teman dari salah satu komunitas salafy . Waktu itu saya dijemput dari rumah langsung menuju lapangan yang akan digunakan untuk pelaksanaan shalat hari raya. Setiba di sana, saya agak heran karena suasana sangat sepi sekali. Padahal jama’ahnya banyak. Tidak ada gema takbiran sedikitpun, baik sendiri-sendiri atau berjama’ah sebagaimana lazimnya tempat-tempat lain.

Setelah duduk di tempat yang telah disediakan, saya iseng bertanya kepada beberapa jama’ah yang duduk di kanan dan kiri saya. “Kenapa tidak takbir, pak ? tanyaku. Mereka menjawab dengan raut muka kecut dan jengkel: “Lha katanya tidak boleh, karena termasuk bid’ah”. Saya : “Siapa yang tidak memperbolehkan ?”. Mereka menjawab dengan menunjuk kepada beberapa ikhwan salafy di tempat tersebut. Setelah itu saya perintahkan mereka untuk bertakbir sebagaimana adat yang sudah biasa berjalan sekaligus saya jelaskan bahwa hal itu boleh. Setelah itu barulah suara takbir mengema kembali dengan begitu indahnya.

Saya tidak tahu, dari mana kawan-kawan salafy tersebut menyimpulkan bahwa takbir di hari raya itu di larang secara mutlak ? sependek pengetahuan saya, ulama’ sepakat disyari’atkannya bertakbir di hari raya. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal awal waktunya. Ada yang menyatakan sejak Matahari tenggelam di malam hari raya (madzhab Syafi’iyyah), ada juga yang menyatakan saat akan berangkat ke tanah lapang. Berakhirnya, saat shalat hari raya dimulai.

Atau mungkin yang dipermasalahkan masalah pelaksanaannya yang dilakukan secara berjama’ah ? hal inipun dibolehkan sebagaimana dinyatakan Imam Syafi’i –rahimahullah- dalam kitab “Al-Umm” :

فَإِذَا رَأَوْا هِلالَ شَوَّالٍ أَحْبَبْتُ أَنْ يُكَبِّرَ النَّاسُ جَمَاعَةً وَفُرَادَى فِي الْمَسْجِدِ وَالأَسْوَاقِ

“Maka apabila mereka melihat hilal bulan Syawwal, aku menganjurkan agar manusia bertakbir secara BERJAMA’AH dan sendiri-sendiri di masjid dan pasar-pasar.”

Lantas apa yang menjadi dasar mereka melarang masyarakat untuk bertakbir di hari raya secara mutlak ? wallahu a’lam. Saya juga tidak tahu, apakah hal itu didapatkan dari ustadz-ustadz mereka, atau hanya kesimpulan mereka sendiri. Saya hanya mengkhawatirkan, sering kali seorang itu mengingkari suatu perkara yang mereka anggap tidak disyari’atkan –walau hakikatnya hal itu masih diperselisihkan ulama’ dan justru disyari’atkan menurut pendapat yang kuat -, tapi akhirnya mereka sendiri tidak mengamalkan apa yang menjadi lawan perkara itu yang mereka yakini sebagai perkara yang sunnah. Seperti dalam kisah di atas, mereka menganggap takbiran secara berjama’ah bid’ah –walau hakikatnya bukan bid’ah-, akan tetapi mereka sendiri tidak mengamalkan apa yang menjadi lawannya, yaitu takbir secara sendiri-sendiri. Bahkan akhirnya terjatuh kepada pelarangan takbir secara mutlak, baik berjama’ah atau sendiri-sendiri. Wallahul musta’an !

Sungguh benar apa yang dinyatakan dan dikeluhkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- saat beliau berkata :

كثير من المنكرين لبدع العبادات والعادات تجدهم مقصرين في فعل السنن من ذلك، أو الأمر به. ولعل حال كثير منهم يكون أسوأ من حال من يأتي بتلك العبادات المشتملة على نوع من الكراهة

“Kebanyakkan dari orang-orang yang mengingkari terhadap berbagai perkara bid’ah dalam ibadah atau adat, engkau akan mendapatkan mereka sangat kurang sekali dalam melakukan berbagai perkara sunnah dari hal itu, atau kurang dalam memerintahkan hal itu. (bahkan) sangat mungkin keadaan kebanyakkan dari mereka lebih buruk dari keadaan orang-orang yang melakukan berbagai ibadah yang mengandung suatu jenis dari perkara yang dibenci.”[ Al-Iqtidha’ : 2/126]

Sebagian orang mengingkari amaliah “taddarus Al-Qur’an” di bulan Ramadhan, akan tetapi dia sendiri sangat kurang atau bahkan tidak penah membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan. Sebagian orang mengingkari dengan keras berdzikir dengan biji tasbih, akan tetapi mereka menjadi seorang yang paling jauh dari dzikir itu sendiri. Seorang mengingkari tradisi saling memaafkan di hari raya, namun dia seorang yang sangat jauh dari sifat maaf kepada keluarga dan kerabatnya. Seorang mengingkari ziarah kubur di bulan Ramadhan, ternyata dia seorang yang hampir tidak pernah menziarahi kubur orang tuanya. Seorang mengingkari tradisi saling berkunjung di hari raya dalam rangka untuk menyambung silatur rahmi, namun dia menjadi orang yang tidak pernah menyambung silatur rahmi, bahkan telah memutus hubungan dengan kerabatnya hanya karena persoalan yang sangat sepele dalam kurun waktu bertahun-tahun. Dan dalam perkara-perkara yang lainnya (silahkan ditambahkan sendiri).

Sudah seharusnya kita (Salafiyyun) mengambil nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas. Agar kita menjadi pribadi yang lebih baik. Ahlus sunnah itu menerima apa yang menjadi pujian untuk mereka, tapi juga menerima apa yang menjadi kritik bagi mereka. Semangat saja itu belum cukup, tanpa dibarengi dengan ilmu dan hikmah. Barakallahu fiikum. (sekedar menasihati diri sendiri dan berbagai kepada siapa saja yang membutuhkan).

Solo, 9 Safar 1440 H

Abdullah Al-Jirani
[Pembina dan pengasuh di Lembaga Dakwah dan Bimbingan Islam “Darul Hikmah”, Solo – Indonesia]

Abdullah Al Jirani
2 jam ·

Sumber : https://web.facebook.com/abdullah.aljirani.37/posts/345596319545007

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.