Oleh : Abdullah Al Jirani
Menjahrkan (mengeraskan) atau mensirrkan (menyembunyikan) bacaan Basmalah dalam shalat jarhiyyah, termasuk salah satu contoh masalah furu’iyyah (cabang) yang bersifat khilafiyyah ijtihadiyyah (terjadi perbedaan pendapat di dalamnya disebabkan adanya ruang untuk berijtihad di dalamnya). Sebagian ulama’ ada yang berpendapat untuk tidak dikeraskan, seperti Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad bin Hambal. Sebagian lagi berpendapat dikeraskan, seperti Syafi’i. Masing-masing memiliki dalil dan sisi istidlal untuk pendapat mereka.
Pada artikel kali ini, kami tidak akan membahas mana yang lebih kuat dari dua pendapat di atas. Akan tetapi pembahasan kali ini lebih kepada bagaimana seorang muslim menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah ini dengan bijak, sesuai dengan rambu-rambu syari’at. Pembahasan ini tidak kalah penting dari pembahasan mana yang lebih kuat dari keduanya. Bahkan, untuk waktu sekarang ini, bisa jadi lebih penting. Karena masih minimnya para da’i yang menjelaskan tentang sikap yang benar dalam menghadapi perbedaan pendapat seputar khilafiyyah ijtihadiyyah.
Masalah ini bukanlah masalah ushul (pokok agama), dimana siapa yang berbeda layak untuk disesatkan dan dikeluarkan dari lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Akan tetapi suatu masalah yang kita diharuskan untuk saling berlapang dada, saling menghormati, saling bertoleransi serta tidak boleh saling memaksakan. Inilah manhaj salaf yang diajarkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada umatnya.
Al-Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata :
أما عمل السلف الصالح: فإن من أصول السنة والجماعة في المسائل الخلافية ، ما كان الخلاف فيه صادراً عن اجتهاد وكان مما يسوغ فيه الاجتهاد فإن بعضهم يعذر بعضاً بالخلاف ولا يحمل بعضهم على بعض حقداً، ولا عداوة، ولا بغضاء بل يعتقدون أنهم إخوة حتى وإن حصل بينهم هذا الخلاف،... كل هذا لأنهم يرون أن الخلاف الناشئ عن إجتهاد فيما يسوغ فيه الاجتهاد ليس في الحقيقة بخلاف لأن كل واحد من المختلفين قد تبع ما يجب عليه إتباعه من الدليل الذي لا يجوز له العدول عنه
“Adapun amalan para salaf sholih : Maka sesungguhnya termasuk pokok dari pokok-pokok manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah khilafiyyah, suatu perbedaan pendapat yang muncul dari ijtihad, dan termasuk perkara yang dibolehkan untuk ijtihad di dalamnya, maka sesungguhnya sebagian mereka memberikan udzur/kelonggaran terhadap sebagian yang lain dalam masalah perbedaan pendapat. Tidak boleh sebagian mereka untuk memaksakan pendapatnya kepada sebagian yang lain karena dengki, tidak boleh karena permusuhan, dan tidak boleh juga karena kebencian. Bahkan mereka menyakini, sesungguhnya mereka bersaudara walaupun telah terjadi perbedaan pendapat ini….semua ini, karena mereka berpandangan, sesungguhnya perbedaan pendapat yang muncul dari ijtihad di dalam perkara yang dibolehkan di dalamnya untuk ijtihad, pada hakikatnya bukan khilaf ( bukan perbedaan pendapat ). Karena sesungguhnya setiap orang dari yang berbeda pendapat, telah mengikuti apa yang seharusnya dia ikuti berupa dalil yang tidak boleh bagi seseorang untuk berpaling darinya….”[ Syarah Al-Ushul As-Sittah : 155 ].
Para ulama’ telah sepakat, sesungguhnya seorang yang mengeraskan atau melirihkan basmalah, shalatnya semuanya sah. Perbedaan dalam masalah ini, hanyalah perbedaan mana yang lebih utama. Bukan perbedaan antara sunnah dan bid’ah, atau antara haq (benar) dan sesat, atau antara iman dan kekafiran. Jika demikian, maka cara menyikapinya juga harus proposional, jangan berlebihan seolah sedang memerangi kebatilan.
Jika kita termasuk orang yang berpendapat lebih utama tidak dikeraskan, maka hendaknya saat kita menjelaskan perkara ini, perlu mengambil sikap bijak dan hati-hati. Kita harus tahu, bahwa mayoritas masyarakat negeri ini beramal di atas madzhab imam Syafi’i –rahimahullah-, termasuk di dalam masalah basmalah ini. Masalah ini termasuk masalah yang sangat krusial yang sangat berpotensi untuk melahirkan berbagai macam kerusakan, seperti permusuhan, percekcokan, perpecahan, bahkan pengusiran.
Kita harus pandai dalam memilih diksi yang tepat untuk menjelaskannya. Semisal, “saya lebih memilih pendapat yang tidak mengeraskan”, atau “walaupun saya berpendapat tidak mengeraskan, tapi saya tetap menghormati kaum muslimin yang berpendapat dikeraskan”, atau “masing-masing imam memiliki argument dan dalil yang sangat kuat, walaupun saya lebih condong kepada yang tidak mengeraskan”, atau “walaupun kita beda pendapat dalam masalah ini, kita tetap harus saling menghormati dan menjaga ukhuwah Islamiyyah”, atau yang semisalnya. Insya Allah, jika diksi seperti ini yang kita pilih, kondisi akan adem dan damai,walaupun kita menerangkannya “di jantung" Nahdiyyin.
Tapi kalau yang kita pilih diksi-diksi “perang”, seperti “tidak ada dalilnya”, atau “bid’ah sesat dan setiap kesesatan dalam neraka”, atau “menyimpang”, atau “mengikuti hawa nafsu”, atau “ini kebenaran sedangkan yang itu kebatilan”, atau “bodoh”, atau semisalnya, maka sangat mungkin akan timbul pergolakan di masyarakat. Fitnah kebencian dan permusuhan akan tersulut, bahkan bisa sampai kepada taraf pengusiran dan boikot.
Apalagi kita dalam posisi “numpang” di suatu masjid yang bukan milik kita. Apalagi masyarakat sekitar masjid sudah terbiasa menjarhkan (mengeraskan) Basmalah. Berarti memang itu salah kita dan kita layak untuk banyak intropeksi diri. Bukan justru menyalahkan masyarakat dengan melebeli mereka dengan lebel-lebel yang lebih keras dari sebelumnya, seperti “pengekor hawa nafsu”, atau “memerangi dakwah salafi”, atau “menentang Allah dan Rasul-Nya”, atau yang semisalnya.
Sebagaimana dinyatakan : “Bahwa setiap kondisi memiliki diksi yang sesuai”. Memilih ungkapan yang sesuai perlu untuk mempertimbangkan waktu, tempat, kondisi, dan manusia. Dan masing-masing akan sangat mungkin berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Inilah salah satu bentuk hikmah yang diajarkan Allah Ta’ala kepada kita dalam firman-Nya :
ادْعُ إِلى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah.” [QS. An-Nahl : 125].
Walaupun dianjurkan untuk melirihkan membaca Basmalah –menurut yang berpendapat demikian-, akan tetapi dianjurkan untuk mengeraskannya saat terdapat maslahat di belakangnya seperti untuk melunakkan hati-hati manusia, mengurangi fitnah, serta meminimalisir terjadinya permusuhan dan perpecahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata :
وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقْصِدَ إلَى تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ بِتَرْكِ هَذِهِ الْمُسْتَحَبَّاتِ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ التَّأْلِيفِ فِي الدِّينِ أَعْظَمُ مِنْ مَصْلَحَةِ فِعْلِ مِثْلِ هَذَا كَمَا تَرَكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَغْيِيرَ بِنَاءِ الْبَيْتِ لِمَا فِي إبْقَائِهِ مِنْ تَأْلِيفِ الْقُلُوبِ وَكَمَا أَنْكَرَ ابْنُ مَسْعُودٍ عَلَى عُثْمَانَ إتْمَامَ الصَّلَاةِ فِي السَّفَرِ ثُمَّ صَلَّى خَلْفَهُ مُتِمًّا. وَقَالَ الْخِلَافُ شَرٌّ
“Dianjurkan bagi seorang untuk menjinakkan hati-hati ( kaum muslimin ) dengan meninggalkan perkara-perkara yang dianjurkan. Karena kemashlahatan menjinakkan ( hati ) dalam agama, lebih agung dari kemashlahatan melakukan semisal perkara ini. Sebagaimana Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- meninggalkan untuk mengubah bagunan Ka’bah ( kepada bentuknya yang asli ) karena dengan tetap dibiarkan seperti itu ( walaupun tidak sesuai dengan aslinya ) terwujud adanya penjinakan hati-hati. Sebagaimana Ibnu Mas’ud mengingkari sholat Utsman bin Affan secara sempurna ( empat rekaat ) ketika safat, kemudian dia sholat di belakangnya dengan sempurna pula ( empat rekaat ketika itu ). Kemudian dia berkata : “Perselisihan itu jelek”. [ Majmu’ Fatawa : 22/407 ].
Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- termasuk yang berpendapat tidak dikeraskan. Akan tetapi beliau menganjurkan untuk mengeraskan basmalah saat dirasa akan bisa mewujudkan kemashalatan dan meminimalisir fitnah di tengah-tengah kaum muslimin. Beliau –rahimahullah- berkata :
وَمَعَ هَذَا فَالصَّوَابُ أَنَّ مَا لَا يُجْهَرُ بِهِ قَدْ يُشْرَع الْجَهْرُ بِهِ لِمَصْلَحَةِ رَاجِحَةٍ فَيَشْرَعُ لِلْإِمَامِ أَحْيَانًا لِمِثْلِ تَعْلِيمِ الْمَأْمُومِينَ وَيَسُوغُ لِلْمُصَلِّينَ أَنْ يَجْهَرُوا بِالْكَلِمَاتِ الْيَسِيرَةِ أَحْيَانًا وَيَسُوغُ أَيْضًا أَنْ يَتْرُكَ الْإِنْسَانُ الْأَفْضَلَ لِتَأْلِيفِ الْقُلُوبِ وَاجْتِمَاعِ الْكَلِمَةِ خَوْفًا مِنْ التَّنْفِيرِ عَمَّا يَصْلُحُ
“Bersama dengan ( berbagai pendapat ) ini, sesungguhnya yang benar apa yang tidak ( dianjurkan ) untuk dikeraskan, terkadang disyari’atkan agar dikeraskan untuk suatu kemashlahatan yang kuat. Maka terkadang disyari’atkan bagi imam semisal untuk mengajari makmum dan memperbolehkan bagi orang-orang yang sholat, untuk mengeraskan kalimat-kalimat ringan. Dan diperbolehkan seorang insan untuk meninggalkan perkara yang afdhol ( leih utama ) untuk menjinakkan hati-hati dan menyatukan kalimat, karena khawatir dari membuat manusia lari dari perkara baik.” [ Majmu’ Fatawa : 22/436 ].
Berbeda pendapat dalam masalah ini boleh. Ulama’ salaf-pun telah berbeda pendapat juga. Yang tidak boleh itu berseteru karena masalah ini. Perhatikan saudaraku apa yang dinyatakan oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berikut :
فتاوى نور على الدرب لابن باز (8/ 196)
ولا ينبغي فيها النزاع، ينبغي أن يكون الأمر فيها خفيفا، والأفضل تحري سنة الرسول صلى الله عليه وسلم بعدم الجهر، وإذا جهر بعض الأحيان من أجل حديث أبي هريرة، أو من أجل التعليم؛ ليعلم الناس أنها تقرأ، فلا بأس بذلك. قد جهر بها بعض الصحابة رضي الله عنهم وأرضاهم.
“Tidak seyogyanya terjadi perselisihan/pertengkaran dalam masalah ini (masalah basmalah dikeraskan atau dilirihkan). Seyogyanya perkara dalam masalah ini ringan. Yang paling utama berusaha meneliti sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- (yaitu) tanpa mengeraskannya. Apabila DALAM SEBAGIAN KESEMPATAN MENGERASKANNYA, berdasarkan hadits Abu Hurairah*, atau untuk pengajaran, atau agar manusia mengetahui bahwa anda membacanya, maka tidak mengapa dengan hal itu (boleh). Dan SEBAGIAN SAHABAT TELAH MENGERJAKANNYA...”
Di halaman lain beliau –rahimahullah- juga berkata :
فتاوى نور على الدرب لابن باز (8/ 197)
لا مانع من الجهر بالبسملة، ولكن السر بها أفضل...
“TIDAK ADA HALANGAN untuk mengeraskan basmalah. Akan tetapi yang afdhal (lebih utama) melirihkan...”
Kami beberapa kali mendengar dari syaikhuna faqihul Yaman, asy-syaikh Abdurrahman Al-Adni –rahimahullah- dalam beberapa pelajaran beliau diantaranya dalam pelajaran kitab “Umdatul Ahkam Al-Kubra” karya Imam At-Tirmidzi –rahimahullah-, anjuran dari beliau untuk menimbang kemashalatan dan kemudharatan dalam menjelaskan dan mempraktekkan masalah ini (masalah basmalah apakah dikeraskan atau dilirihkan).
Beliau sering kali menukil ucapan Ibnu Taimiyyah di atas. Beliau sering mengucapakan “pendapat saya dalam masalah ini demikian, akan tetapi saya tidak mengingkari jika ada yang berpendapat dengan pendapat yang lain”. Beliau terkenal luas wawasan keilmuannya dalam masalah fiqh, terutama dalam masalah perbedaan pendapat para ulama’ madzhab. Beliau termasuk seorang yang sangat lapang dada dan sangat menghormati orang-orang yang berbeda pendapat dengan beliau. Oleh karenanya, majelis beliau senantiasa penuh sesak oleh penuntut ilmu. Mereka tidak hanya ingin mengambil ilmu dari beliau, akan tetapi juga mengambil akhlak dan hikmah dari beliau. Demikianlah beliau mengajari murid-muridnya.
Demikian yang dapat kami susun kali ini. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan keilmuan kita sekalian. Amin ya Rabbal ‘alamin.
>>Catatan :
Insya Allah, jika diberikan kelonggaran waktu dan kemudahan, kami akan susun sebuah artikel khusus yang akan menjelaskan madzhab Imam Asy-Syafi’i dalam masalah ini. Agar praduga bahwa madzhab beliau tidak memiliki dalil, bisa diluruskan. Amin
--------
*Saya berkata : Hadits Abu Hurairah yang dimaksud oleh Asy-Syaikh bin Baz –rahimahullah- adalah :
سنن النسائي (2/ 134)
905 - أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ، عَنْ شُعَيْبٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ، عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ: صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ: {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة: 1]، ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ ....«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
“Dari Nu’aim Al-Mujmir beliau berkata : “Aku pernah shalat di belakang Abu Hurairah, maka beliau membaca “Bismillahirrahmannirrahim”, lalu beliau membaca “ummul Qur’an” (Al-Fatihah).....-sampai ucapan beliau-...Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” [HR. An-Nasai : 2/134 No : 905 dan selainnya]. ·
Abdullah Al Jirani
3 Agustus pukul 18.42 ·
3 Agustus pukul 18.42 ·
#Abdullah Al Jirani