Oleh : Abdullah Al Jirani
Judul di atas merupakan salah satu permasalah yang ditanyakan berkaitan dengan artikel kami yang sebelumnya yang berjudul “JENIS PENDAPAT DAN RESIKO MENYELISIHINYA”. Ijma’, merupakan salah satu sumber hukum Islam selain Al-Qur’an, Sunnah dan Qiyas. Lantas, apakah yang dimaksud ijma’ di sini hanyalah ijma’ kurun sahabat saja ? ataukah juga kurun setelahnya ?
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan ini, perlu kiranya kita ketahui terlebih dahulu akan pengertian ijma’ menurut istilah syar’i. Dalam kitab “Mukhtashar Ibnul Lahham “ hal : (74) dinyatakan, bahwa ijma’ adalah :
إتفاق مجتهدي عصرٍ من العصور من أمة محمد - صلى الله عليه وسلم - بعد وفاته على أمر ديني
“Kesepakatan para ulama’ mujtahid di suatu masa dari masa-masa, dari umat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- setelah wafatnya beliau di atas perkara agama.”
Dalam pengertian di atas, tidak ada pembatasan dan pengakuan keabsahan ijma’ hanya terjadi kurun sahabat saja. Karena disebutkan dengan kalimat “di suatu masa dari masa-masa”. Yang kedua, kalimat “umat Muhammad”, bersifat umum, meliputi para sahabat dan generasi yang setelahnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
“Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul di atas kesesatan.” [HR. Ibnu Majah : 3950 dari Anas bin Malik dan sanadnya shahih].
Yang menjadi illat (sebab) hukum di dalam hadits di atas, hanyalah “kesepakatan umat Muhammad”, tanpa ada pembatasan pelaku ijma’ dan kurun atau masa ijma’. “Dan hukum akan berputar bersama illatnya”, sebagaimana dinyatakan dalam kaidah yang masyhur di kalangan para ulama’. Oleh karena itu, dalam kitab “Ma’alim Ushul Fiqh” (2/1303) dinyatakan :
أن هذه النصوص تدل على أن الإجماع حجة ماضية في جميع العصور، سواء في ذلك عصر الصحابة وعصر من بعدهم
“Sesungguhnya dalil-dalil ini menunjukkan, bahwa ijma’ adalah hujjah yang telah berlalu di seluruh masa. Baik hal itu terjadi di masa sahabat atau setelah mereka.”
Adapun ucapan imam Ahmad yang masyhur yang berbunyi :
«من ادعى الإجماع فهو كاذب»
“Barang siapa yang mendaku ijma’, sungguh dia pendusta.”
Tidaklah menunjukkan, bahwa ijma’ yang sah dan mungkin terwujud hanya pada kurun sahabat saja. Karena ucapan beliau ini memiliki beberapa makna di sisi para ulama’, diantaranya :
1). Ucapan tersebut beliau ucapkan karena sifat wara’ (berhati-hati). Karena khawatir ada khilaf (perbedaan) pendapat yang belum diketahui, atau
2). Perkataan itu beliau ucapkan kepada seorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang masalah khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama’ salaf, atau
3). Untuk meminimalisir sifat bermudah-mudah dalam menetapkan ijma’ dalam suatu masalah, tanpa diiringi dengan penelitian yang cermat dan luas, atau
4). Menunjukkan bahwa setelah kurun sahabat, kemungkinan terjadinya ijma’ sulit terwujud, akan tetapi bukan suatu hal yang tidak mungkin terjadi, atau
5). Kalimat tersebut ditujukan untuk seorang yang menolak sunnah yang shahih dengan dalih adanya ijma’ secara sepihak yang isinya bertentangan dengannya.
[ Lima point di atas diringkas dari kitab “Majmu’ Fatawa”-Ibnu Taimiyyah dan “Shawaiqul Mursalah” karya Ibnul Qoyyim]
Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata :
وأنت قد تصنع مثل هذا فتقول: هذا أمر مجتمع عليه، قال: لست أقول ولا أحد من أهل العلم هذا مجتمع عليه إلا لما لا تلقى عالمًا أبدًا إلا قاله لك وحكاه عمن قبله؛ كالظهر أربع، وكتحريم الخمر وما أشبه هذا" "الرسالة" (534)
“Engkau telah membuat semisal ini, lalu engkau mengatakan : “Ini perkara yang telah disepakati”. Beliau berkata : “Tidaklah aku dan seorangpun dari kalangan ahli ilmu mengatakan “ini perkara yang telah disepakati”, kecuali terhadap perkara yang engkau tidak bertemu seorang alim-pun, kecuali dengan mengatakannya kepadamu dan dia menghikayatkannya dari orang sebelumnya, seperti shalat Dhuhur empat rekaat, dan seperti pengharaman khamer serta yang semisal ini.” [Ar-Risalah : 534].
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata :
وليس مراده - أي: الإمام أحمد - بهذا استبعاد وجود الإجماع، ولكن أحمد وأئمة الحديث بُلُوا بمن كان يرد عليهم السنة الصحيحة بإجماع الناس على خلافها ". "مختصر الصواعق" (506)
“Tidaklah Imam Ahmad menghendaki dengan ucapannya ini akan kemustahilan terwujudnya ijma’. Akan tetapi Ahmad dan para imam ahli hadits mengarahkan ucapan tersebut kepada mereka yang menolak hadits shahih dengan menukil ijma’ yang menyelisihinya.”
[Mukhtashar Ash-Shawaiq : 506].
Pendapat yang menyatakan akan kehujjahan ijma’ setelah kurun sahabat, merupakan pendapat jumhur ulama’. Tidak ada yang menyelisihi kecuali Dawud Adz-Dzahiri dan pengikutnya.
Imam Al-Ghazali –rahimahullah- (wafat : 505 H) dalam kitab “Al-Mustashfa” (149) berkata :
المستصفى (ص: 149)
ذَهَبَ دَاوُد وَشِيعَتُهُ مِنْ أَهْلِ الظَّاهِرِ إلَى أَنَّهُ لَا حُجَّةَ فِي إجْمَاعِ مَنْ بَعْدَ الصَّحَابَةِ.وَهُوَ فَاسِدٌ لِأَنَّ الْأَدِلَّةَ الثَّلَاثَةَ عَلَى كَوْنِ الْإِجْمَاعِ حُجَّةً، أَعْنِي الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَالْعَقْلَ، لَا تُفَرِّقُ بَيْنَ عَصْرٍ وَعَصْرٍ. فَالتَّابِعُونَ إذَا أَجْمَعُوا فَهُوَ إجْمَاعٌ مِنْ جَمِيعِ الْأُمَّةِ، وَمَنْ خَالَفَهُمْ فَهُوَ سَالِكٌ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ.
“Dawud dan pengikutnya dari kalangan ahli dzahir berpendapat, sesungguhnya tidak ada hujjah pada ijma’ setelah masa sahabat. INI PENDAPAT RUSAK. Karena tiga dalil (Al-Qur’an, Sunnah, dan akal), tidak pernah membedakan antara masa yang satu dengan masa yang lainnya. Maka apabila generasi tabi’in bersepakat dalam suatu masalah, maka itu ijma’ dari seluruh umat. Barang siapa yang menyelisihi mereka, dia telah berjalan bukan dijalannya orang-orang yang beriman.”
Demikian pembahasan sederhana kali ini. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita sekalian. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Abdullah Al Jirani
7 Juli pukul 06.49 ·
Sumber : https://www.facebook.com/abdullah.aljirani.37/posts/262011827903457
7 Juli pukul 06.49 ·
Sumber : https://www.facebook.com/abdullah.aljirani.37/posts/262011827903457
#Abdullah Al Jirani