Keberadaan Yang Ada Tanpa Awal Mula

Keberadaan Yang Ada Tanpa Awal Mula - Kajian Medina
KEBERADAAN YANG ADA TANPA AWAL MULA
(Kajian #AWAramadhan18 ke 5: Sifat Qidam)

Oleh: Abdul Wahab Ahmad

Bila kita amati seluruh apa yang ada di semesta ini mulai hal yang terkecil sampai terbesar, maka kita bisa tahu ternyata semua hal itu punya awal mula kejadiannya. Ketika kita melihat kerikil di halaman rumah, meskipun kita tak tahu kapan, tetapi kita bisa tahu dengan pasti bahwa krikil itu tidaklah tiba-tiba dengan sendirinya ada di sana melainkan ada suatu proses alam yang membuatnya ada di halaman rumah kita. Demikian juga ketika kita melihat sebuah meja di taman bermain, meskipun kita tak tahu kapan, tetapi kita bisa memastikan bahwa sebelumnya meja itu adalah sebuah pohon yang kemudian diolah dan dibentuk sedemikian rupa menjadi meja lalu diletakkan di taman. Demikian seterusnya untuk semua hal yang kita lihat dan kita kenal, bahkan sesuatu yang paling abstrak sekalipun seperti khayalan atau ide semuanya punya awal mula kemunculannya.

Permulaan segala sesuatu itu ada dua macam, yakni:

1. Permulaan dari tiada berubah menjadi ada. Permulaan dalam makna ini adalah permulaan yang sejati yang memang menjadi awal mula keberadaan sesuatu. Dalam bahasa Arab, kata untuk menggambarkan permulaan seperti ini adalah خلق (mencipta sesuatu dari awal). Misalnya, dunia ini dari awalnya tidak ada menjadi ada. Karena itulah Allah disebut al-Khaliq, artinya pencipta sesuatu dari tiada menjadi ada. Penggunaan kata "khalaqa" ini pada manusia hanya mencakup sedikit hal, seperti menciptakan konsep, menciptakan rumusan dan semisalnya yang memang tak perlu bahan baku apapun.

2. Permulaan dari suatu bentuk berubah menjadi bentuk lainnya. Permulaan dalam makna ini dalam bahasa Arab menggunakan redaksi جعل (menbentuk sesuatu menjadi sesuatu yang lain). Misalnya, roti dari awalnya benih gandum menjadi gandum menjadi tepung lalu menjadi roti. Permulaan model ini adalah ranah penciptaan yang bisa dilakukan oleh makhluk. Tak ada satu pun makhluk yang mempu membuat sesuatu ada dari ketiadaan, melainkan hanya mengubah suatu hal atau gabungan beberapa hal menjadi hal lain yang tidak ada sebelumnya. Sebuah komputer tercanggih di masa ini yang pada masa lalu tidak ada tetap saja dibentuk dari bahan baku yang sudah ada di alam semesta ini yang dioleh sedemikian rupa sehingga membentuk komponen elektronik yang akhirnya dirangkai menjadi komputer yang belum pernah ada itu.

Inilah yang terjadi pada seluruh hal yang ada di dunia ini, semuanya pasti punya awal mula dan berproses menjadi ada. Untuk permulaan tipe kedua di atas, ini adalah fakta yang disepakati semua orang sehingga tak perlu diperjelas lagi. Tetapi untuk tipe perubahan yang pertama dari tiada menjadi ada, maka kita perlu membahasnya agak rinci sebab ini adalah poin di mana ketauhidan dimulai.

Pertanyaannya, bisakah sesuatu menjadi ada dari ketiadaan dengan sendirinya? Akal yang sehat akan menjawab tidak bisa. Ketiadaan adalah suatu kondisi yang tidak punya efek apa-apa terhadap dirinya ataupun hal diluar dirinya sehingga ketiadaan tidak dapat menciptakan keberadaan. Dengan ungkapan yang lebih sederhana, ketiadaan tak mungkin berubah menjadi ada tanpa campur tangan pihak luar yang menciptakannya. Hal ini adalah fakta yang tak dapat dibantah kecuali oleh orang yang akalnya tidak beres.

Sayangnya, orang yang akalnya tidak beres ini ternyata ada banyak di dunia ini dan anehnya banyak dari mereka yang bergelar professor. Mereka mengatakan "nothing created everything", ketiadaan telah menciptakan semua keberadaan atau dengan kata lain: Awal mula alam semesta ini adalah ketiadaan namun tiba-tiba semua berubah menjadi ada dengan sendirinya. Ini lawakan paling lucu dalam sejarah manusia yang dibungkus dengan istilah-istilah ilmiah sehingga dianggap fakta oleh para ateis tak berakal itu. Bagaimana bisa suatu hal yang tak ada kemudian berubah menjadi ada dengan sendirinya? Bagaimana bisa ketiadaan menciptakan sesuatu yang ada? Ketiadaan ya ketiadaan, artinya tidak ada apa-apa dan tidak punya efek apa-apa. Para ateis yang berlagak ilmiah itu tak lebih dari sekedar pelawak saja pada hakikatnya. Meyakini menara Eiffel ada dengan sendirinya saja mustahil, lah kok ini malah ada yang meyakini bahwa alam semesta yang begitu rumit ini ada dengan sendirinya tanpa butuh pencipta.

Jadi, bila kita paham bahwa ketiadaan hanya bisa berubah menjadi ada apabila ada sosok Pencipta yang membuatnya ada, maka kita bisa memastikan bahwa alam semesta pastilah punya awal mula di mana ia berubah dari tiada menjadi ada dengan peran sosok Pencipta. Para ulama ahli kalam menyebut susuatu yang punya awal mula ini sebagai sifat "huduts" atau sifat baru. Dengan demikian, maka seluruh isi jagat raya bisa dipastikan mempunyai sifat "huduts" ini. Hal yang punya sifat "huduts" juga disebut dengan istilah "muhdats" atau hal yang dibuat ada dari sebelumnya tidak ada. Adapun pencipta yang mengubah sesuatu dari tiada menjadi ada disebut sebagai "muhdits" atau "khaliq" itu tadi.

Ini ketika kita membahas tentang alam semesta, pasti muhdats semua. Lalu bagaimana ketika kita membahas tentang Tuhan yang pada kajian sebelumnya sudah dibahas bahwa Tuhan adalah penyebab paling pertama dari segala sesuatu menjadi ada? Apakah Tuhan juga muhdats atau punya sifat huduts? Ada dua opsi jawaban untuk ini:

1. Tuhan itu juga muhdats seperti lainnya. Bila ini jawaban kita, maka kita akan terjebak pada lingkaran tanpa ujung (tasalsul) yang mustahil. Bila Tuhan juga muhdats atau ada dengan awal mula, maka siapa yang menciptakan-Nya? bila diyakini ada yang menciptakan Tuhan itu, maka siapa yang mencipta pencipta Tuhan itu? dan begitulah seterusnya tanpa akhir sebab semua akan dianggap muhdats sedangkan semua yang muhdats pasti butuh pencipta (muhdits). Karena itulah, para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah sepakat bahwa tidak mungkin Tuhan itu muhdats. Dengan kata lain, sifat huduts merupakan salah satu sifat mustahil bagi Tuhan.

2. Tuhan tidak muhdats. Ini berarti keberadaan Tuhan sudah ada tanpa awal mula. Maksudnya, keberadaan Tuhan sama sekali tidak didahului ketiadaan. Jawaban ini paling logis dan mampu menghentikan lingkaran tanpa ujung (tasalsul) seperti di jawaban pertama. Di ujung pangkal lingkaran penciptaan segala hal yang muhdats pastilah ada sesuatu yang menjadi muhdits dan muhdits paling awal ini pastilah tidak muhdats. Dalam istilah para ulama, keberadaan tanpa awal mula ini disebut sebagai "Qidam". Jadi, Qidam adalah sifat yang pasti dimiliki oleh Tuhan (sifat wajib) sebab mustahil Tuhan bersifat kebalikannya, yakni muhdats.

Dengan sifat Qidam ini, kita tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan berikut sama sekali tidak relevan: Pertanyaan siapa yang menciptakan Tuhan tidak relevan sebab Tuhan tak diciptakan; Pertanyaan kapan Tuhan ada tidaklah relevan sebab keberadaannya tidak punya awal mula sehingga bisa ditanya kapan; Pertanyaan bagaimana keadaan sebelum ada tuhan juga tidak relevan sebab Tuhan tak pernah tidak ada.

Ini adalah penalaran rasional yang tak bisa dibantah siapapun tetapi sekaligus dapat dilakukan siapapun yang mau jujur dalam berpikir. Tak peduli apapun agamanya, apapun bangsanya, bagaimanapun dia dididik oleh lingkungannya, semua orang bisa sampai pada penalaran seperti ini. Ini juga adalah akidah Ahlussunnah Wal Jama'ah yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk berakal.

Dalam bocoran Wahyu dari langit, kita umat islam mendapat firman Allah yang juga sama persis dengan penalaran di atas sehingga kita makin yakin bahwa Firman ini berasal dari Sang Khaliq, Sang Muhdits paling awal yang menciptakan seluruh muhdats, Sang Qidam. Allah berfirman tentang sifat Qidamnya dalam ayat berikut:

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ [الحديد: 3]
"Dialah Yang Maha Awal [yang tidak didahului ketiadaan] dan Maha Akhir [yang tidak diikuti ketiadaan]"

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ [الإخلاص: 3]
"Dia tak melahirkan sesuatu dan tak dilahirkan/berasal dari sesuatu".

Rasulullah juga bersabda dengan gamblangnya:

كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (بخاري)
"Allah sudah ada dan tak ada apapun selain Dia".

Tentang sifat huduts seluruh alam, Allah berfirman sebagai berikut:

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ أَمْ خَلَقُوا السَّمَوَاتِ وَالأرْضَ بَل لَا يُوقِنُونَ[الطور: 35-36]
"Apakah mereka diciptakan tanpa berasal dari sesuatupun [yang menciptakan mereka] ataukah mereka yang menciptakan [diri mereka sendiri]? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)".

Seluruh penjelasan panjang di atas yang dilakukan para ulama mutakallimin Ahlussunnah pada hakikatnya hanyalah ulasan mendetail atas firman-firman Allah tersebut bagi mereka yang belum menerima al-Qur'an sebagai risalah dari Tuhan. Adapun bagi kaum muslimin, maka firman Allah di atas cukup menjadi patokan pertama bagi timbulnya penalaran seperti di atas sehingga keimanan dan pengetahuannya tentang sifat ketuhanan makin kokoh dan tak bisa digoyahkan oleh siapapun.

Kesimpulan faktual bahwa Allah bersifat Qidam sedangkan selain Allah pastilah muhdats ini adalah akidah seluruh ulama Ahlusussunnah Wal Jama'ah. Adapun di kalangan muslimin di luar Aswaja, ada juga para filosof muslim yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini juga bersifat qidam. Menurut mereka, Allah itu Qidam dan alam juga Qidam. Kesimpulan para filosof ini cacat secara logika dan bertentangan dengan firman Allah. Bagaimana mungkin alam semesta bersifat Qidam sedangkan kita tahu pasti bahwa alam semesta ada awal mulanya? Para Saintis modern juga membantah keyakinan para filosof kuno ini dengan berbagai bukti ilmiah bahwa semuanya punya awal mula. Teori terkini menyatakan bahwa alam semesta ini dimulai dari sebuah titik ledakan mega besar yang disebut Big-Bang. Mereka semua sepakat bahwa sebelum Big-Bang tak ada apa-apa di semesta ini tapi mereka kemudian terpecah menjadi dua: Ada yang meyakini bahwa ledakan itu didesain oleh Tuhan yang Maha Pencipta, mereka ini kaum kreasionis. Dan, ada pula yang meyakini semua itu ada dengan sendirinya, mereka ini kaum ateis yang kita bahas tadi. Hanya saja perlu dicatat bahwa detail proses penciptaan ini bukan persoalan akidah, mau teori Big-Bang atau teori apapun itu bukan ranah akidah sehingga bisa saja diperdebatkan oleh ahlinya.

Ada juga segelintir tokoh muslim yang meyakini bahwa Allah itu Qidam bersama beberapa makhluk yang juga Qidam bersamanya. Ini akidah bid'ah tak berdasar yang dikenal dengan teori "hawadits la awwala laha", adanya beberapa hal muhdats yang tak punya awal mula. Dari namanya saja sudah kontradiktif, hal-hal muhdats tapi tak punya awal mula atau dengan kata lain hal muhdats tapi qidam. Ini teori paling kontradiktif dalam ranah ilmu kalam.

Di antara pendukung teori kalam yang kontradiktif ini adalah Ibnu Taymiyah dalam berbagai kitabnya dan orang-orang yang bertaklid buta kepadanya. Mereka meyakini Arasy sebagai makhluk yang Qidam bersama Allah, demikian pula suara dan huruf dalam kalamullah dianggap sebagai muhdats yang tak berawal. Keyakinan aneh dan bid'ah ini tak muncul dari penalaran yang sehat atau dalil yang qath'iy melainkan hanya muncul sebagai turunan akidah mereka yang terlanjur meyakini bahwa Allah selalu bersifat "duduk" di atas Arasy (baik secara menempel sehingga menimbulkan athit/rintihan Arasy yang merasa berat sebab berat badan Allah atau secara tidak menempel berada di luar alam tanpa kaifiyah yang kita tahu). Sehingga bila Allah disebut Qidam maka Arasy sebagai "tempat duduknya" atau tempat istawanya juga harus Qidam. Ujung pangkal akidah ini hanyalah paham yang terkontaminasi tajsim dan tasybih. Sayangnya, ini bukan bahasan utama kita saat ini sehingga bisa kita kupas panjang lebar. Yang jelas, teori "hawadits la awwala laha" ini bertentangan dengan firman Allah dan hadis Rasulullah di atas.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani al-Asy'ary menjelaskan soal sifat huduts Arasy ini dalam syarahnya terhadap hadis di atas. Beliau berkata:

فتح الباري لابن حجر (6/ 289)
وَفِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ لَا الْمَاءُ وَلَا الْعَرْشُ وَلَا غَيْرُهُمَا لِأَنَّ كُلَّ ذَلِك غير الله تَعَالَى وَيكون قَوْله وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ مَعْنَاهُ أَنَّهُ خَلَقَ الْمَاءَ سَابِقًا ثُمَّ خَلَقَ الْعَرْشَ عَلَى الْمَاءِ
"Dalam hadis tersebut ada petunjuk bahwa tidak ada sesuatupun selain Allah, tidak ada air, tidak ada Arasy dan tidak ada selain keduanya sebab semua itu adalah selain Allah Ta'ala. Jadi, sabda Nabi "dan Arasynya ada di atas air" itu maknanya Allah menciptakan air dahulu kemudian menciptakan Arasy di atasnya".

فتح الباري لابن حجر (13/ 410)
وَهِيَ أَصَرْحُ فِي الرَّدِّ عَلَى مَنْ أَثْبَتَ حَوَادِثَ لَا أَوَّلَ لَهَا مِنْ رِوَايَةِ الْبَابِ وَهِيَ مِنْ مُسْتَشْنَعِ الْمَسَائِلِ الْمَنْسُوبَةِ لِابْنِ تَيْمِيَّةَ
"Hadis itu adalah dalil paling jelas dari sekian hadis dalam bab ini untuk menolak orang yang menetapkan adanya hal-hal muhdats tak berawal. Ini adalah sebagian dari masalah-masalah buruk yang dinisbatkan pada Ibnu Taymiyah".

Ada juga pihak di luar Aswaja yang mengakui akidah Ahlusunnah wal Jamaah Asy'ariyah ini tetapi karena ketidak sukaannya pada Asy'ariyah akhirnya mengatakan bahwa penyifatan Allah sebagai Qidam adalah bid'ah sebab bukan istilah ayat atau hadis. Gugatan semacam ini menggelikan sekali sebab maksud kata "Qidam" ini tak lain adalah sifat al-Awwal dalam al-Qur'an dan hadis dan padanan kata dari al-Muqaddim dalam suatu hadis di mana Rasulullah menyebut Allah dengan sebutan demikian. Kata ini adalah suatu istilah yang digunakan mutakallimin untuk merujuk pada semua makna dalam al-Qur'an dan hadis itu sekaligus. Pada hakikatnya, tak masalah sifat ini mau diungkapkan dengan redaksi apapun selama maksudnya sama, sesuai kaidah yang berbunyi "la musyahata fil istilah". Sama seperti kata "al-Maujud" tak kita temukan dalam al-Qur'an, dalam panggilan Rasulullah kepada Allah atau dalam Asma'ul Husna tapi kita semua sepakat memakainya untuk menyifati Tuhan.

Demikian kajian kedua dari sifat yang pasti dimiliki Tuhan ini, yakni sifat Qidam. Intinya, Tuhan pasti Qidam dan selain Tuhan pastilah muhdats. Segala sesuatu yang punya awal mula, pasti bukan Tuhan sebab masih diciptakan oleh sesuatu selain dirinya sendiri.

Semoga bermanfaat.

Abdul Wahab Ahmad
26 Mei 2018 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.