Pertanyaan :
Kalau saya membaca penjelasan tentang sikap para ulama kepada para pelaku bid'ah, saya dapati sikap mereka sedemikian keras. Sampai-sampai kita diharamkan untuk bertegur sapa dengan mereka.
Kita juga harus menyebarkan hal ihwal para pelaku bid'ah ini kepada khalayak. Jadi kita dibolehkan untuk berghibah (bergunjing) tentang mereka. Dan yang paling mengagetkan lagi, kita dilarang untuk menshalati jenazah mereka.
Yang jadi pertanyaan saya, apakah saya tidak boleh bergaul dan bermuamalah yang baik-baik kepada ayah dan ibu saya, mengingat keduanya adalah pelaku bid'ah, karena suka zikir berjamaah? Apakah jenazah ayah saya haram dishalati oleh umat Islam, karena dia suka qunut kalau shalat shubuh?
Sebab menurut tulisan yang saya baca, zikir berjamaah adalah bid'ah, termasuk juga qunut pada shalat shubuh. Dan tidak ada bid'ah hasanah, semua bid'ah itu sesat dan pelakunya masuk neraka. Apakaha ayah saya akan masuk neraka, pak ustadz? Mohon pencerahannya.
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bid'ah memang sebuah dosa yang sangat besar kemungkarannya. Karena esensi dosa bid'ah adalah menciptakan tata cara ritual peribadatan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sehingga pencipta bid'ah dan pelakunya, bisa dikategorikan orang-orang yang menentang kenabian Muhammad SAW sebagai pembawa risalah.
Orang yang menciptakan ritual peribadatan di luar apa yang telah disampaikan oleh Rasululah SAW adalah orang yang secara tidak langsung telah mengingkari kenabian Muhammad SAW. Dan ingkar kepada kenabian Muhammad SAW adalah bagian dari kekufuran.
Amat wajar bila para ulama banyak yang bersikap sangat keras kepada para pelaku bid'ah ini. Lantaran memang hakikat dari bid'ah adalah penentangan atas kenabian Muhammad SAW.
Bentuk Bid'ah Yang Disikapi Dengan Keras
Kalau kita perhatikan, sikap keras para ulama di masa lalu tentangbid'ah, umumnya berada di seputar bid'ah dari segi akidah. Kita sering menyebut dengan istilah penyimpangan akidah. Dan digunakan kata 'bid'ah' karena penyimpangan akidah itu memang hal yang baru dan diada-adakan, sementara Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkannya.
Padahal biasanya, kita di zaman sekarang ini, lebih sering menggunakan istilah bid'ah untuk menyimpangan di bidang fiqih peribadatan. Sehingga sikap keras para ulama di masa lalu terhadap penyimpangan di bidang akidah, tidak bisa disamakan atau disejajarkan begitu saja dengan penyimpangan di bidang ibadah di masa sekarang.
Apalagi mengingat bahwa di bidang peribadatan, memang ada begitu banyak dalil yang multi tafsir, di mana satu orang mujtahid sangat mungkin berbeda persepsi dan penarikan kesimpulan dengan rekannya yang juga sama-sama mujtahid juga. Perbedaan hasil ijtihad ini sama sekali di luar wilayah bid'ah. Sehingga tidak bisa disikapi dengan cara keras, apalagi menggunakan dalil sikap ulama di masa lalu.
1. Menutup Telingan dengan Jari
Abdurrazaq meriwayatkan dari Muammar bahwa Thawus memerintahkan anaknya untuk memasukkan jari ke dalam telinganya, ketika ada seorang yang berpaham muktazilah mendekatinya.
Sikap ini memang sangat keras, namun di masa itu, para penyebar paham muktazilah memang sangat keras, kasar, bahkan rela membunuh nyawa untuk sekedar memaksakan pendapatnya. Tentu sikap menutup telinga tidak bisa kita lakukan kepada saudara kita yang punya cara ibadah berbeda dengan kita.
2. Memboikot
Ibrahim An-Nakhai pernah berkata kepada seorang yang berpaham murjiah yang sesat, "Bila nanti kamu meninggalkan kami, maka janganlah engkau kembali."
Penyikapan inisangat sesuai untuk para penyebar paham sesat murjiah, yang secara tegas memusuhi akidah dan syariah Islam. Namun tidak boleh dijadikan landasan untuk memboikot saudara sendiri yang kebetulan punya tata cara zikir yang tidak seragam dengan kita. Tidak ada yang salah dari sikap Ibrahim An-Nakhai, yang salah ada cara kita berdalil.
3. Bergunjing
Sufyan At-Tsauri pernah berkata tentang seorang yang menyimpang dari akidah, khususnya tentang qadha dan qadar Allah. Beliau berupaya ingin melindungi masyarakat dari bahaya kesesatan penyimpangan akidah. Maka beliau berkata, "Terangkanlah ihwal orang ini kepada orang banyak." Maksudnya, ceritakan tentang bahayanya orang ini, karena dia menyebarkan paham yang menyesatkan.
Sayangnya, oleh sebagian orang di zaman sekarang, perkataan Sufyan Ats-Tauri ini dipelesetkan menjadi dalih dibolehkannya bergunjing dan menceritakan keburukan saudara sendiri, yang sebelumnya divonis secara sepihak sebagai ahli bid'ah.
4. Tidak Menshalati Jenazah
Disebutkan bahwa Sufyan Ats-Tauri membubarkan shaf (barisan) shalat jenazah. Karena jenazahnya adalah seorang yang bernama Abdul Aziz. Ternyata si Abdul Aziz ini adalah orang yang telah divonis kafir oleh mahkamah syariah, lantaran aqidahnya sesat dan tidak tertolong lagi.
Maka alangkah naifnya kalau di zaman sekarang ini ada orang yang menolak menshalatkan jenazah saudaranya, hanya lantaran beda persepsi atas suatu dalil, dan bukan di wilayah aqidah. Sikap At-Tauri ini tidak salah, yang salah adalah kita yang tidak paham hukum syariah.
Dan masih banyak lagi sikap keras para ulama di masa lalu yang sebenarnya sudah pada tempatnya. Namun yang seringkali salah adalah cara kita memahami atau cara menerapkannya. Tindakan asal comot dan asal dalil sering membuat kita terjebak sendiri.
Bid'ah di Bidang Aqidah
Sepeninggal Rasulullah SAW, muncul begitu banyak ragam penyimpangan akidah Islam. Padahal akidah yang Allah SWT jelaskan di dalam kitabullah dan sunnah rasulullah sangat jelas, tegas dan mudah dipahami siapa saja.
Namun musuh-musuh Islam datang menyerbu pada bagian aqidah ini. Sehingga bermunculan akidah-akidah yang secara tegas bertentangan dengan apa yang telah Rasulullah SAW ajarakan. Baik akidah itu datang dari eropa yang paganis, atau pun juga datang dari Persia.
Maka sikap para ulama sangat kritis dan keras kepada para penyimpang akidah itu. Dan penyimpangan aqidah ini dikategorikan oleh para ulama di masa itu sebagai bid'ah.
Misalnya, perkataan imam Ahmad bin Hanbal tentang penyimpangan akidah tasybih, tajsim dan takyif. Beliau menghentikan perdebatan bid'ah seputar bagaimana bentuk duduknya Allah SWT di Arsy. Beliau mengatakan bahwa istiwa' (bersemayam) adalah hal yang ma'ruf, semua orang tahu. Namun al-kaifu (bagaimana cara duduknya Allah) adalah majhul (tidak bisa diketahui). Dan as-su'alu anhu bid'ah. Bertanya tentang hal seperti itu bid'ah.
Zikir Berjamaah dan Qunut Shubuh: Bid'ah?
Adapun zikir ber.jamaah, sesungguhnya tidak ada seorang pun dari ulama yang membid'ahkannya. Lantaran dalil-dalil tentang adanya zikir berjamaah itu ada, shahih dan sangat kuat.
Namun yang jadi titik perbedaan adalah tentang teknis zikir berjamaahnya. Apakah dengan satu pimpinan lalu yang lain mengikuti, atau dengan secara bersama-sama satu bacaan dan satu irama, ataukah masing-masing sibuk zikir sendiri-sendiri.
Tidak ada satu pun dalil yang menegaskan tentang manakah yang dilakukan di masa Rasulullah SAW itu. Dengan demikian, dalam masalah ini kita tidak menemukan dalil yang sharih tentang teknis zikir berjamaah. Sehingga sangat besar kemungkinan munculnya variasi dalam masalah teknisnya. Pada saat itu, tidak mungkin satu sama lain saling menuding sebagai pelaku bid'ah.
Demikian juga dengan masalah qunut pada shalat shubuh, tentu saja tidak ada seorang pun yang berhak untuk memboikot saudaranya, memusuhinya, atau tidak menshalati jenazahnya, hanya lantaran melakukan doa qunut pada shalat shubuh. Memang ada sebagian ulama yang berfatwa bahwa qunut pada shalat shubuh adalah bid'ah. Namun tentu saja kita diharamkan untuk bersikap keras.
Mengapa?
Karena yang mengatakan bid'ah itu hanya satu dua ulama saja. Sebagian lagi tidak beranggapan demikian. Bahkan banyak ulama yang malah menganggapnya sunnah. Termasuk Al-Imam As-Syafi'i, beliau malah mengatakan sunnah muakkadah, bila tidak dikerjakan, disunnahkan sujud sahwi.
Kalau demikian keadaannya, tentu kita harus paham, bahwa tidak semua vonis bid'ah atas suatu ibadah yang diucapkan oleh satu dua orang ulama itu berarti ibadah itu harus bid'ah. Ternyata ada banyak pendapat tentang hal itu, dan salah satunya adalah pendapat yang mengatakan bid'ah.
Bid'ah seperti ini pada hakikatnya bukan bid'ah. Tetapi yang benar adalah satu bentuk teknis ibadah yang diklaim oleh seseorang sebagai bid'ah. Apakah klaim itu benar atau tidak, wallahu a'lam. Sebab klaim itu tidak lain hanya ijtihad, yang bisa benar dan bisa salah.
Seperti klaim bahwa zikir berjamaah dengan satu komando dianggap bid'ah, itu hanya klaim dari satu pihak tertentu. Apakah klaim itu benar atau tidak, masih harus dijelaskan lagi. Tetapi yang jelas, klaim itu hanyalah sebuah pendapat, bukan sesuatu yang didasarkan pada dalil yang sharih dan shahih. Klaim itu bisa diabaikan, selama ada banyak perbedaan pendapat, di mana masing-masing juga mendasarkan kepada ijtihad.
Sangat aneh ketika seorang muslim menggunjingkan saudaranya, memboikot, tidak mau bertegur sapa, bahkan sampai tidak mau menshalati jenazah saudaranya, hanya lantaran saudaranya itu ikut zikir berjamaah dan membaca doa qunut pada shalat shubuh.
Menggunjing itu dosa besar, bahkan di dalam Al-Quran disamakan dengan memakan daging saudaranya sendiri. Mengapa untuk menyikapi orang yang berbeda pendapat tentang masalah khilafiyah, harus dengan cara melakukan dosa besar? Apakah zikir berjamaah itu sudah dijadikan ijma' ulama dan hukumnya dosa besar? Sehingga dosa besar itu harus dihilangkan dengan cara melakukan dosa besar juga?
Tindakan tidak menshalati jenazah seorang muslim, hanya lantaran dia membaca doa qunut pada shalat shubuh, tentu tindakan yang benar-benar kurang bisa dimengerti. Apakah kita akan menuduhnya sebagai pelaku dosa besar karena dia mengikuti ijtihad imam Asy-Syafi'i yang menyunnahkan qunut? Apakah kita memperlakukannya sama dengan orang kafir, dengan cara tidak menshalati jenazahnya?
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1174639079 (Tue 3 April 2007 23:19)
#Ahmad Sarwat
#Website