Ahmad Sarwat, Lc., MA
Saking bencinya dengan perbuatan taqlid yang terlanjur diberi status haram mutlak, banyak orang awam yang merasa risi dengan statusnya sendiri. Mereka tidak terima kalau tata cara beragamanya selama ini dianggap sebagai taqlid. Dan lebih tidak suka lagi kalau dirinya disebut sebagai muqallid.
Sebab dalam cara berpikir mereka, yang namanya bertaqlid dengan segala bentuknya haram hukumnya. Doktrinasinya, menjadi muqallid itu selain perbuatan hina sekaligus berdosa.
Entah dari mana didapat pemahaman menyimpang seperti ini. Barangkali kerangka berpikirnya mengikuti ijtihad satu dua tokoh semacam Ibnu Abdil Barr (w. 463), Ibnul Qayyim (w. 751) dan Asy-Syaukani (w. 1250 H). Ketiga tokoh ini memang menegaskan bahwa bertaqlid itu haram dan berdosa, tetapi tidak serta merta mereka bilang bahwa semua orang awam itu berdosa. Tentu ada penjelasan dan klasifikasinya yang harus dipahami secara cermat.
Tetapi apa mau dikata, sudah terlanjur memusuhi taqlid dan muqallid, maka untuk itu mereka gunakan istilah baru yang agak lebih keren, bukan taqlid tetapi ittiba'. Orangnya disebut dengan muttabi'.
Dalam rangking yang mereka buat itu, kedudukan muttabi' berada satu lapis di atas orang yang taqlid. Muttabi' sudah tidak taqlid lagi, kata mereka.
Namun kalau dibilang sebagai mujtahid, tentu saja bukan. Tetap saja mereka mengakui bahwa kedudukannya masih di bawah mujtahid. Jadi dengan mengaku sebagai muttabi', setidaknya mereka sudah mereka terlepas dari level taqlid. Intinya, cuma tidak mau dibilang muqallid, tetapi masih tahu diri untuk tidak mengaku-ngaku sebagai mujtahid.
Memang para ulama ushul agak berbeda pendapat ketika menjelaskan level mujtahid dan bukan mujtahid.
Sebagian dari mereka membagi manusia itu hanya ada dua saja, yaitu mujtahid dan bukan mujtahid. Dan yang bukan mujtahid itu adalah muqallid, posisinya ada di level taqlid, tanpa membedakan apakah dia termasuk muqallid atau muttabi'.
Tetapi memang ada juga barisan ulama yang menambahkan satu 'kasta' lagi di tengah-tengah, yaitu muqallid. Keyakinannya, yang termasuk di dalamnya berarti sudah bukan lagi muqallid, walaupun juga belum sampai ke level mujtahid.
Kita tentu bukan berada pada posisi untuk memperdebatkan masalah klasik ini. Kita pun tidak keberatan kalau ada penambahan posisi di tengah-tengah antara mujtahid dan muqallid.
Hanya saja yang jadi masalah, jangan sampai taqlid dibilang haram dan muqalliad dituduh berdosa semua. Karena tidak semua orang bisa menjadi muttabi', apalagi mujtahid.
Beda Muqallid dan Muttabi'
Lantas, apa beda antara orang yang berada di level muqallid dengan yang berada di level muttabi'? Apa yang menyebabkan seseorang bisa 'naik kelas', dari kelas muqallid menjadi muttabi'?
Kalau saya tanyakan kepada para pendukung keberadaan muttabi', umumnya mereka menjawab bahwa muttabi' itu adalah orang mengikuti suatu pendapat tetapi dengan mengetahui dalilnya. Sedangkan muqallid, cuma ikut saja tanpa pernah tahu dalilnya.
Jadi kurang lebih yang membedakan antara muqallid dan muttabi' adalah sekedar tahu atau tidak tahu dalilnya. Kalau menjalani agama tanpa tahu dalilnya, dia disebut muqallid. Tetapi begitu dia tahu dalilnya, maka tiba-tiba dia naik kelas langsung jadi muttabi'.
Wah, ternyata gampang juga ya menjadi muttabi'. Pokoknya asal tahu dalilnya, kita bisa langsung naik kelas.
Tetapi apa teori seperti ini benar di tataran implementasi? Apa benar kalau saya beribadah tanpa tahu dalil, berarti saya berdosa karena saya cuma taqlid? Dan kalau saya tahu dalilnya, tiba-tiba saya naik pangkat menjadi muttabi' dan sudah tidak lagi berdosa?
Misalnya begini. Waktu shalat tadi imam melakukan sujud tilawah di tengah bacaan Al-Quran. Saya sebagai makmum, tidak tahu dali hadits yang menerangkan tentang sujud tilawah. Lalu apa yang harus saya lakukan saat imam sujud? Ikut sujud bersama imam atau saya tetap berdiri saja?
Kalau ikut sujud bersama imam, berarti saya sudah bertaqlid. Sebab saya mengerjakan sesuatu yang saya tidak tahu haditsnya. Apakah saya berdosa saat ikut imam?
Dan kalau saya tidak ikut sujud bersama imam karena takut tidak mau taqlid, apakah tindakah saya dibenarkan? Sah atau tidak shalat saya saat tidak ikut imam sujud?
Seharusnya kan saya ikut sujud bersama imam, urusan tahu atau tidak tahu dalilnya, tidak jadi masalah. Sebab kalau saya tidak ikut sujud bersama imam, maka otomatis shalat saya batal dengan sendirinya.
Haramkah Bertaqlid?
Kalau ada orang yang bilang, haram bertaqlid, haram menjadi muqallid dan wajib menjadi muttabi'. Tetapi apa benar cara pandang seperti ini?
Jawabannya sederhana saja. Para ulama yang sudah sampai level mujtahid sekalipun, kadang dalam kondisi tertentu lebih memilih untuk bertaqlid kepada imam lain. Itu berarti tidak selamanya taqlid itu haram.
Mari kita dengarkan perkataan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Beliau sesungguhnya seorang mujtahid mutlaq mustaqil, tetapi dalam beberapa hal ternyata masih bertaqlid.
إِذَا سُئِلْتُ عَنْ مَسْأَلَةٍ لَمْ أَعْرِفْ فِيهَا خَبَرًا أَفْتَيْتُ فِيهَا بِقَوْلِ الشَّافِعِيِّ لأَنَّهُ إِمَامٌ عَالِمٌ مِنْ قُرَيْشٍ
Bila Aku ditanya tentang masalah yang aku tidak tahu dalilnya, maka aku berfatwa dengan menggunakan perkataan Asy-Syafi'i. Karena beliau seorang alim dari kalangan Quraisy.
Ungkapan Al-Imam Ahmad di atas bisa kita baca dalam kitab Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha jilid 6 halaman 448. Yang dimaksud dengan 'tidak tahu dalilnya' adalah bahwa Imam Ahmad tidak menemukan nash hadits, baik marfu atau yang mauquf. Dan saat itu beliau malah bertaqlid kepada guru beliau sendiri, yaitu Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.
Pertanyaannya, apakah tindakan Al-Imam Ahmad itu berdosa, lantaran telah bertaqlid kepada orang lain? Apakah beliau tiba-tiba turun derajat menjadi muqallid lagi gara-gara bertaqlid kepada orang lain?
Jawabnya tentu saja tidak. Sebab tidak selamanya seorang mujtahid itu tahu jawaban semua masalah. Dan tidak semua mereka tahu dalil-dalil atas suatu masalah. Sehingga halal-halal saja bagi seorang mujtahid ketika tidak tahu suatu hukum dan tidak tahu dalilnya untuk bertaqlid kepada mujtahid lain.
Kalau mujtahid yang sudah sangat ahli itu saja masih boleh bertaqlid, kenapa orang awam yang tidak bisa baca Al-Quran, tidak tahu hadits, tidak mengerti bahasa Arab, tidak mengerti ushul fiqih, qawaid fiqhiyah, kok harus dipaksa berijtihad sendiri dan kenapa harus tahu semua dalil?
Tahu Dalil Tetap Saja Taqlid
Dan yang paling penting untuk dicatat, bahwa tidak mentang-mentang seseorang sudah tahu suatu dalil, lantas dia terbebas dari taqlid.
Mengapa demikian?
Sebab keabsahan dalil yang dia gunakan itu kan masih dipertanyakan juga, shahih apa tidak dalil itu. Sebab kalau tidak shahih kan percuma saja. Haram hukumnya kita berdalil dengan dali yang tidak shahih.
Terus, dari mana kita tahu bahwa dalil yang kita pakai itu shahih?
Jawabannya tentu dari ulama hadits yang ahli di bidang penshahihan hadits. Misalnya dari pendapat Al-Bukhari atau Al-Imam Muslim, yang dituliskan di dalam dua kitab shahih mereka.
Berarti dalam hal keshahihan dalil yang digunakan, ternyata kita masih bertaqlid dengan orang lain, yaitu Bukhari dan Muslim. Tidak berijtihad sendiri, tidak melakukan pengecekan sendiri, tidak melakukan penelitian sendiri.
Inilah yang dikatakan bahwa meski mengaku sebagai muttabi', ternyata masih taqlid-taqlid juga.
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/y.php?id=16 (Fri 14 February 2014 05:19)
#Ahmad Sarwat
#Website