Ahmad Sarwat, Lc., MA
Saya punya teman baik yang juga aktif sebagai ustadz, rajin ceramah kemana-mana. Jadwalnya padat tiap hari naik pentas.
Suatu hari beliau bercerita tentang masa lalu. Beliau mengaku kalau dahulu termasuk golongan yang kurang respek dengan ilmu fiqih, apalagi dengan mazhab-mazhab fiqih para ulama.
Menurutnya dulu, mazhab-mazhab fiqih itu sudah jadi 'tuhan-tuhan' yang disembah selain Allah. Sehingga saya dan teman-teman yang sejak kecil bermazhab Asy-Syafi'iyah disamakannya dengan orang-orang yahudi dan nasrani yang telah menyembah rahib dan pendeta.
Rupanya dalam pandangan teman yang satu ini, para ulama mazhab-mazhab fiqih itu dianggap tak ubahnya seperti rahib dan pendeta yang sembah-sembah. Maka dia rajin mengutip ayat berikut :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. At-Taubah : 31)
Memang menyembahnya bukan dengan ruku' dan sujud, tetapi dengan cara bertaqlid kepada mereka, begitu katanya. Padahal sudah ada Al-Quran yang merupakan kitab yang jelas dan terang benderang, mengapa pula masih berpaling kepada hasil otak dan akal manusia.
Menurutnya, para ulama mazhab itu pun juga seharusnya ikut Al-Quran juga dan bukan malah menggunakan akal pikirannya sendiri. Dan kita ini, tidak perlu lagi ikut ulama mazhab, cukup buat kita ikut Al-Quran saja. Sebab Al-Quran adalah kitab petunjuk yang sudah sempurna dan lengkap, tidak butuh dicampuri dan dikotori tangan-tangan manusia.
Selain itu Al-Quran adalah kitab suci resmi dari Allah SWT buat umat manusia. Kalau sudah ada Al-Quran tetapi masih saja ikut-ikut dengan hasil pikiran manusia, walaupun bergelar ulama, maka sama saja dengan menyembah mereka. Kurang lebih begitulah logika dan alur pikiran teman saya ini.
Terus terang sebenarnya saya dulu termasuk orang yang mengidolakan teman ini, khususnya dengan pemikiran-pemikirannya yang menurut saya waktu amat masuk akal, logis dan rasional. Apalagi posisinya saat itu memang jadi ustadz di berbagai tempat kajian. Cukup banyak juga murid dan pengikutnya dan salah satunya adalah saya.
Namun ketika saya kuliah di LIPIA, khususnya di fakultas syariah, saya bertemu dengan banyak profesor dan doktor, baik di bidang ilmu fiqih ataupun di bidang ilmu ushul fiqih. Dari mereka saya pun juga banyak menimba ilmu. Dan yang menarik adalah saya banyak menemukan ilmu dan wawasan yang sama sekali baru, yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Salah satunya terkait dengan cara kita memandang ilmu fiqih dan ushul fiqih, khususnya masalah mazhab fiqih.
Rupanya apa yang dahulu pernah saya yakini bahwa mazhab itu sebuah kejumudan yang harus diperangi, perlahan dan sedikit demi sedikit mulai runtuh di hadapan para dosen LIPIA. Mereka yang seharusnya mengajarkan hal-hal yang terkait dengan anti mazhab, justru malah punya pandangan yang lebih luas, maju dan terbuka.
Dalam pandangan mereka, mazhab-mazhab fiqih itu justru bukan ruang untuk bertaqlid, malah sebaliknya belajar mazhab-mahzab fiqih itu malah jalan bagi kita untuk menjadi mujtahid. Kitab fiqih yang kita gunakan pun judulnya menarik, yaitu permulaan untuk menjadi mujtahid (Bidayatul Mujthid).
Tentu saja yang disangka bahwa para ulama mazhab itu tidak pakai Al-Quran justru malah keliru dan salah duga. Para ulama mazhab itu justru orang-orang yang paling paham dan paling mengerti Al-Quran, bahkan termasuk berada pada garda terdepan dalam membela Al-Quran.
Dan para ulama itu tidak pernah memaksa kita untuk bertaqlid kepada mereka. Sebab pada dasarnya kita punya hak kebebasan 100% untuk berijtihad sendiri.
Namun yang jadi masalah, berijtihad itu bukan pekerjaan yang mudah. Tidak mentang-mentang orang bisa bahasa Arab, punya koleksi kitab-kitab hadits, lantas ujug-ujug sudah jadi mujtahid.
Menjadi mujtahid itu ibaranya menjadi pilot pesawat terbang. Tetapi sebelum jadi pilot, kita harus ikut pendidikan sekolah penerbangan dulu. Bahkan harus punya sertifikat tertentu dan izin tertentu untuk boleh bisa menerbangkan pesawat.
Tiap orang tentu saja boleh bercita-cita jadi pilot, bahkan boleh jadi seluruh siswa Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) se-Indonesia, umumnya bercita-cita jadi pilot. Tetapi apakah semuanya pasti jadi pilot? Tentu saja tidak, bukan?
Kenapa?
Karena pesawat terbang tidak bisa disopiri oleh anak-anak TK dan SD yang sekedar bercita-cita jadi pilot. Untuk bisa jadi pilot, anak-anak TK dan SD itu harus lulus sekolah dulu, melanjutkan ke SMP dan SMU. Setelah itu mendaftar ke sekolah penerbagnan, hingga lulus dan mendapat sertifikat terbang.
Kalau sekedar baru bisa main playstation yang menerbangkan pesawat, tentu tidak bisa dijadikan klaim bahwa kita sudah bisa mengemudikan pesawat betulan.
Mewajibkan Taqlid
Lucunya meski teman saya sangat anti dengan mazhab-mazhab fiqih, justru beliau sangat fanatik dengan satu dua tokoh ulama yang dia kagumi. Semua fatwa dan pandangan agama yang dia sampaikan selalu merujuk kepada fatwa-fatwa dari tokoh-tokoh itu.
Jadi sambil mencaci taqlid kepada ulama mazhab yang empat, tetapi sambil mengkultuskan tokoh-tokoh lain. Bahkan ketika tokoh lainnya itu tidak punya dalil qath'i yang masuk akal sekalipun, dia tetap saja membelanya.
Kurang lebih isi materi kajiannya adalah 'pengadilan' atas semua karya para ulama dari empat mazhab. Semua divonis bersalah, baik para ulama atau pun kita yang dianggap bertaqlid kepada mereka. Sebaliknya, yang jadi jaksa penuntut umumnya adalah tokoh-tokoh yang dia kagumi itu. Dan dia lah yang menjadi hakimnya, dimana semua tuduhan dan tuntutan dari jaksa semua diamini oleh sang hakim.
Karena teman saya ini aktifis dakwah dan tokoh sejuta umat, maka dengan mudahnya pemikiran semacam itu pun disuntikkan di semua majelis dan kesempatan. Akibatnya, tidak sedikit umat Islam yang ikut arus pemikirannya juga.
Alhamdulilah Akhirnya Sadar Juga
Namun Allah SWT ternyata baik sekali kepada teman yang satu ini. Sekarang saya bersyukur bahwa ustadz muda berbakat satu ini akhirnya mendapatkan pencerahan juga. Entah bagaimana akhirnya beliau bertemu dengan beberapa tokoh yang ilmunya jauh lebih tinggi dan lebih luas. Lalu dengan sangat intensif melakukan pertemuan berkali-kali, sampai akhirnya sang ustadz ini pun sedikit demi sedikit mulai terbuka wawasannya.
Sekarang beliau rajin belajar ilmu agama kepada para ulama dan mengurangi jam-jam ceramahnya. Beliau konsen belajar agama khususnya ilmu ushul fiqih, bahasa Arab, dirasah madzahib serta rajin meneliti kitab-kitab turats para ulama salaf.
Sekarang malah semua pemikiran lamanya itu dia nasakh sendiri. Sekarang beliau ceramah kemana-mana memberikan pencerahan kepada khalayak ramai yang dulu pernah dicekokinya dengan pemahaman Islam yang agak dangkal dan sederhana, mudah menyalahkan orang serta merasa benar sendiri.
Padahal track recordnya dalam menuntut ilmu terbilang masih rendah, levelnya masih di bawah orang awam. Cuma penampilan dan retorikanya saja yang sering mempesona banyak kalangan.
Namun orang yang seperti ustadz satu ini terus terang masih belum terbilang banyak. Ustadz-ustadz muda yang penuh semangat yang memenuhi jagad panggung dakwah kebanyakannya masih belum tercerahkan. Saya masih menyaksikan mereka yang stagnan, tidak mendapatkan kemajuan, masih jumud dengan semangat anti mazhab tetapi paling doyan taqlid kepada orang jahil.
Ya Allah, mohon percepat turun hidayah kepada mereka agar umat Islam segera terbebas dari kejumudan hakiki dan dapat meraih ilmu-Mu yang luas. Amin ya rabbal 'alamin.
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/y.php?id=312 (Wed 30 December 2015 07:15)
#Ahmad Sarwat
#Website