Menegakkan Benang Basah Khilafiyah : Mengembalikan Semangat Ukhuwah Islamiyah yang Tergerus Ego Perbedaan Pendapat

Oleh : Khairudin Aji Laksono

Menegakkan Benang Basah Khilafiyah : Mengembalikan Semangat Ukhuwah Islamiyah yang Tergerus Ego Perbedaan Pendapat
Sudah bukan menjadi hal yang langka lagi jika dalam tubuh umat Islam sering terjadi perbedaan pendapat dan pandangan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena setiap individu-meski terbentuk dalam kesatuan Islam- memiliki pemikiran yang berbeda-beda sehingga berbeda pula pandangan mereka tentang pemaknaan ajaran Islam itu sendiri.

Berbeda yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah berbeda dalam hal fiqh, bukan dalam hal syariat Islam. Menyalahi syariat Islam merupakan kesalahan yang sangat fatal karena menyelisihi dalil yang qath’i. Sedangkan jika berselisih hanya dalam ranah fiqh maka itu tidak disebut kesalahan fatal karena yang diperselisihkan adalah dalil-dalil yang bersifat dzanny. Namun inilah yang sering memunculkan problematika di kalangan umat. Kurangnya sikap toleransi dan menghargai perbedaan pendapat menjadi biang keladi mengeruhnya semangat ukhuwah islamiyah. Padahal jika perbedaan disikapi dengan arif bijaksana maka akan menciptakan nuansa atau kultur kehidupan umat Islam yang lebih berwarna. Apalagi letak perbedaan tersebut bukan sesuatu yang substansial (syariat), tetapi hanya yang bersifat furu’iyah saja.

Lebih parah lagi, terlalu kukuhnya seseorang dalam mempertahankan apa yang menjadi keyakinannya justru menjadikan ia bersifat intoleransi dan pro anarkisme. Tak jarang mereka yang lebih bersifat ekslusif tidak mau menerima pendapat dari kelompok lain dan memaksakan kehendak sesuai dengan apa yang diyakinnya. Sifat inilah yang seharusnya dihindari. Merasa benar dan merasa paling sholeh adalah pikiran-pikiran yang harus dihilangkan karena seolah-olah ia mampu mendikte Tuhan dengan keyakinan kebenarannya tersebut.

Dengan melihat fakta-fakta yang telah terjadi di kalangan internal umat Islam, penulis merasa perlu untuk membahas tentang adab dan sikap kita sebagai umat Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fiqh. Dengan mengetahui sejarah dan sebab sebab terjadinya pendapat maka kita akan menjadi lebih terbuka dan lebih dewasa dalam memandang masalah khilafiyah dalam fiqh.

Khilafiyah dan Kemunculannya dalam Fiqh

Secara bahasa, khilafiyah berasal dari kata ( خالف ) yang diartikan sebagai kebalikan dari sepakat. Sedangkan secara istilah, yang dimaksud dengan khilafiyah disini adalah perbedaan pendapat dalam umat Islam yang berkaitan dengan pengalaman beragama mereka. Bisa dalam bidang akidah maupun ibadah. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang khilafiyah dalam bidang ibadah karena sesuai judul dan memang ibadah lebih mudah diamati daripada akidah.[1]

Khilafiyah dalam islam bukanlah produk baru. Telah 14 abad lamanya islam lahir dan berkembang hingga saat ini. Problematika khilafiyah bukan hanya dihadapi oleh umat masa kini, tetapi sudah ada sejak masa peradaban Islam muncul, bahkan pada masa sahabat. Meskipun secara kuantitas jarang ditemui, tetapi pada masalah tertentu para sahabat memiliki perbedaan pandangan.

Salah satu contoh perbedaan pendapat di kalangan sahabat adalah menyoroti permasalahan tentang masa iddah bagi wanita. Ketika ada istri yang hamil lalu suaminya meninggal dunia, maka masa iddahnya menurut Umar bin Khatab adalah sampai anaknya lahir. Sementara Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa jika seorang istri hamil lalu suaminya meninggal maka masa iddahnya bisa sampai sang anak itu lahir atau empat bulan sepuluh hari. Dilihat mana yang lebih lama.[2]

Dalam lain masalah, Abu Bakar juga berbeda pendapat dengan Umar bin Khatab soal harta rampasan perang. Abu Bakar berpendapat bahwa pembagian harta rampasan perang (ghanimah) dibagi secara merata untuk semua orang tanpa mengutamakan orang tertentu atas orang lain. Sedangkan menurut Umar, dalam pembagian harta rampasan perang perlu ada proses stratifikasi dimana pembagian tersebut berdasarkan peran yang dijalankan selama peperangan, jadi tidak dibagi secara merata.[3]

Itulah tadi sekelumit masalah tentang perbedaan pendapat di kalangan sahabat terutama mengenai masalah-maslah fiqh. Sebenarnya masih banyak perbedaan pendapat di kalangan sahabat, namun tidak mungkin dituliskan seluruhnya dalam karya kecil ini. Perbedaan baru terasa kelam setelah terjadinya fitnah besar dalam umat Islam yang menimbulkan perpecahan dalam golongan yang berbeda-beda. Pada awalnya perpecahan tersebut hanya terjadi dalam ranah politik atau kekuasaan, tetapi lama-lama pecah juga dalam hal akidah, lalu juga berimbas dalam bidang ibadah (fiqh).

Mengapa Bisa Terjadi Khilafiyah?

Barangkali kita sering bertanya-tanya dalam benak masing-masing, mengapa bisa terjadi perbedaan pendapat padahal dasar yang digunakan adalah sama (Al-Quran dan Sunnah)? Seharusnya jika acuan hanya satu, maka juga akan terdapat satu prespektif saja dalam memaknainya.

Kita tidak akan membahas hal-hal apa saja yang terdapat dalam Al-Quran yang dimaknai beragam oleh para ulama. Tetapi kita akan bahas faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan pendapat dalam fiqh tersebut. Tetapi yang perlu digarisbawahi, perbedaan dalam fiqh yang dimaksud bukanlah perbedaan secara prinsipal seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, haji. Karena hal-hal tersebut merupakan syariat dan telah disepakati sehingga tidak diperselisihkan.

Khilafiyah dalam fiqh dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya

     1. Tentang Bagaimana Syarat Suatu Hadis sehingga dapat Diamalkan.

Masalah ini muncul menyangkut tentang hadis-hadis yang bersifat ‘amaliyah, yaitu segala hal yang dilakukan oleh Rasulullah baik berupa perkataan (perintah untuk melakukan sesuatu) maupun perbuatan (yang dicontohkan). Problematika yang membahas keabsahan suatu hadis lalu dapat diamalkan. Implikasinya ialah terletak pada bagaimana derajad kesahihan suatu hadis sehingga dapat dijadikan hujjah untuk menggali dan mengeluarkan sebuah hukum dalam fiqh. Penetapan kesahihan inilah yang sering menimbulkan ikhtilaf, padahal hadis yang memiliki derajat kesahihan memiliki kriteria tertentu.[4]

      Kesenjangan tentang perbadaan pendapat tentang hadis-hadis ini dilatarbelakangi oleh perbedaan riwayat. Dalam periwayatan suatu hadis, tidak menutup suatu kemungkinan seorang ulama menerima suatu riwayat tentang suatu persoalan, tetapi tidak memperoleh riwayat yang shahih tentang masalah yang lain. Akibatnya ada ulama yang dengan terpaksa mengamalkan hadis yang kurang shahih, padahal ulama lain berpendapat bahwa hadis yang kurang shahih tidak dapat dijadikan hujjah lebih-lebih hadis dhaif maupun mursal.

    2. Perbedaan dalam menghadapi dalil-dalil

Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah dan semuanya berbahasa Arab. untuk memahaminya diperlukan pemahaman bahasa Arab yang baik. Lafal dalam Al-Quran maupun hadis terkadang memiliki beberapa makna. Ada kalanya lafadz dalam bahasa Arab bersifat musytarak[5] (ambigu), haqiqah maupun majaz, kata umum merujuk kepada kata yang khusus dan sebaliknya, serta masih banyak yang lainnya.[6]

Keterbatasan dalam memaknai makna dalil yang sesungguhnya selain karena Al-Quran ada yang bersifat mutasyabih, juga karena keterbatasan akal manusia itu sendiri. Setiap ulama memilki pendapat tersendiri dalam memaknai ayat yang mutasyabih tersebut. Sehingga perbedaan pendapat tidak dapat dihindarkan keberadaannya. Hal ini di setiap wilayah yang menggunakan bahasa Arab memiliki lajnah (dialek) yang berbeda serta pemaknaan suatu benda yang juga berbeda. Serta terkadang kurangnya penjelasan redaksi dari sumber hukum kedua yaitu hadis sebagai bayan al-tafsir.

    3. Perbedaan dalam Metodologi Istinbath Hukum

Setelah ilmu ushul fiqh muncul, muncul juga beberapa metode dalam rangka mengeluarkan hukum dari sebuah dalil. Selama ini kita mengenal bahwa sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab, Mashlahah Mursalah, Urf dan lain sebagainya.

Memang tidak ada yang membantah bahwa Qur;an dan Sunnah adalah sumber hukum Islam, begitu halnya dengan dengan ijma’. Akan tetapi dalam metode perumusan hukum yang dimulai pada qiyas terjadi banyak perbedaan pendapat. Mereka yang menganut rasionalis (madzab Abu Hanifah) lebih condong menggunakan metode qiyas jika mendapati masalah yang tidak terdapat dalam hadis. Sedangkan madzab Maliki mereka menggunakan adat/kebiasaan orang Madinah sebagai sumber hukum juka tidak mendapatinya di Quran maupun Sunnah. Namun sebenarnya metode apapun yang dipakai tidak akan menyelisihi Al-Qur’an.

Adapun terkadang terdapat dua ayat atau lebih yang secara teks terlihat kontradiktif. Para ulama juga berbeda pendapat dalam proses penyelesaiannya. Ada yang menggabungkan dan mengkompromikannya (al-jamu’ al-taufiq). Ada pula yang menggunakan metode nasakh (pembatalan). Lalu yang lainnya dengan cara tarjih yaitu mencari dalil yang lebih kuat[7]. Letak perbedaanya nantinya adalah pada urutan dan sistematika dalam penyelesaian dalil yang bertentangan (taarudh wal adillah)[8]

    4. Perbedaan Penguasaan Para Ulama terdahap As-Sunnah

Khilafiyah seringkali meuncul dari berbedanya para ulama dalam menguasai sunnah itu sendiri. hal ini dikarenakan tidak ada manusia yang sempurna, pasti pemahaman manusia tidak akan lengkap dan cenderung parsial. Kemampuan yang berbeda-beda ini sesungguhnya jika digabungkan akan membentuk pengetahuan yang luas, akan tetapi jika tetap dipelihara sebagaimana adanya, maka yang terjadi hanya ada perbedaan yang seakan tiada ujungnya.

Selain itu sebagian ulama juga ada yang meralat fatwa yang telah dikeluarkannya hal ini karena muncul dalil yang berlawan dan tak lain tak bukan disebabkan karena luputnya pengetahuan dari mereka. Ditambah lagi dengan kebingungan sebagian orang yang menerima hadis mursal maupun dhaif sehingga ia ragu dalam menjadikanya dasar hukum suatu ibadah.

Seharusnya Kita Bersikap

Keretakan dalam tubuh umat Islam menjadi ancaman yang serius bagi generasi umat terbaik ini. Bagaimana tidak, seharusnya umat Islam saat ini berlomba dengan umat agama lain (Barat), justru terkungkung dalam kubangan perselisihan yang tidak ada gunanya dan tidak akan berkesudahan jika saja diteruskan.

Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan agar terhindar dari dampak negatif khilafiyah ini. Cara-cara tersebut antara lain,[9]

    1. Kesadaran akan adanya perbedaan

Banyaknya seorang atau sekelompok muslim yang memiliki sifat intoleran terhadap pendapat orang lain ditengarai sebagai akibat dari kurangnya kesadaran bahwa memang perbedaan adalah suatu keniscayaan.

Manusia diciptakan beragam tentu juga memiliki corak pemikiran yang beragam pula. Penyebab dari kurangnya kesadaran tersebut karena seolah-olah ia sudah merasa menjadi orang yang paling benar, paling beriman dan paling diterima ibadahnya. Padahal dalam memahami dan menafsirkan itu masih mengandung sedikit relativitas, artinya tidak benar secara mutlak dan menyeluruh.

    2. Tidak berkutat hanya pada masalah furu’

Fiqh memang berasal dari hal-hal yang bersifat furu’iyah yaitu hanya cabang. Meskipun demikian, tetapi dampak sosial yang ditimbulkan justru menjadi lebih besar dari bobot permasalahan itu sendiri. sering kita temui, hanya terjadi perbedaan sedikit saja langsung terjadi gap yang memisahkan antara umat satu dengan umat lainnya.

 Memang kelemahan dalam fiqh itu disebabkan karena hanya membahas persoalan yang bersifat cabang-cabang saja. Akibatnya umat muslim dalam mempelajari Islam tidak bersifat global dan substansial. Mempelajari fiqh hanya secara parsial saja. ulama-ulama yang tradisional jika ditanya tentang suatu masalah, misalnya tentang sholat, maka yang dibahas hanya rukun, sunat, makruh dalam shalat. Dapat dikatakan bahwa jika ajaran Islam dipelajari dengan prespektif makna dan tujuan maka masalah-masalah furu’ tidak akan mengganggu kerukunan antar umat Islam.[10]

    3. Kesadaran akan Ukhuwah

Banyak orang yang merasa sempurna dalam beribadah. Mereka merasa apa yang dikerjakannya sudah sesuai dengan dalil yang diperintahkan dan yakin bahwa dialah satu-satunya yang diterima ibadahnya, sedangkan orang lain yang berbeda tidak akan diterima ibadahnya. Pemikiran tersebut yang telah membuat orang sampai rela berjauhan dengan saudara muslim lainnya lantaran berbeda dalam tatacara ibadah.

Jika kita cermati dan sadari, menjaga ukhuwah, persaudaraan dan tali silaturahmi hukumnya adalah wajib, sangat wajib. Sedangkan untuk masalah fiqh, selama bukan menyentuh syariat itu hukumnya hanya sunnah saja. Lalu secara logika, apakah kita akan meninggalkan perkara yang wajib demi perkara sunnah yang belum tentu akan kebenarannya (masih relatif)?

    4. Saling Menghargai dan Tidak Mencela

Sikap anti toleransi yang berujung bada tindak kekerasan biasanya disebabkan oleh perkataan bernada mencela kepada kelompok lain yang tidak sependapat. Seringkali kita temui ada sekelompok aliran tertentu yang gemar menjelek-jelekkan aliran yang lain hanya lantaran berbeda. Pemberian label (labeling) yang negatif terhadap umat lain haruslah dihindari. Contoh labeling yang sering kita dengar ialah julukan Islam tradisonalis, skriptualis, liberal. Pelabelan-pelabelan tersebut justru menciptakan jarak yang jauh antara umat satu dengan umat yang lainnya.

    5. Mengedepankan Persamaan daripada Perbedaan

Kita seringkali memperdebatkan perbedaan yang berujung pada perselisihan dan permusuhan. Selalu saja yang kita kedepankan adalah masalah perbedaan. Padahal jika mindset tersebut kita ubah, artinya yang kita kedepankan adalah persamaan, maka tentu akan tercipta kerukunan. Toh, kita sama-sama Islam, sama-sama syahadat, sama-sama sholat, puasa, haji dan lain-lain, lalu kita kurang Islam apa lagi?

    6. Berpegang Teguh pada Prinsip-prinsip Islam

Jika kita mendapati perselisihan karena berda pendapat, maka kita perlu menilik pada acuan dasar dalam Islam, yaitu kembali kepada Qur’an. Setiap orang memilki pandangan dan keyakinan sendiri akan ibadahnya masing-masing. Dengan berpegang teguh pada prinsipnya dengan tidak mengesampingkan sifat toleransi maka akan tercipta kerukunan. Apabila terjadi perbedaan yang sangat pelik hingga menimbulkan perdebatan kusir maka kita kembalikan kepada Qur’an.

Simpulan

Problem khilafiyah bukanlah problem kekinian, ia sudah ada sejak Islam lahir dan berkembang selama empat belas abad lamanya. Lahirnya perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan oleh berbagai hal. Perselisihan tentang kriteria hadis yang shahih yang dapat dijadikan pedoman mengawali terjadinya perbedaan pendapat tersebut. Kata dalam bahasa Arab yang terkadang memiliki makna yang bermacam-macam juga menjadi salah satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat. Belum lagi dengan perbedaan metodologi para ulama dalam mengeluarkan hukum dalil semakin menambah jarak akan perbedaan. Pada akhirnya pengetahuan manusia itu sangat terbatas sehingga tidak menutup kemungkinan masih banyak hal-hal yang ternyata belum diketahui dalam sunnah sehingga dengan penetahuan yang parsial muncul perbedaan-perbedaan.

Sebagai muslim yang cerdas dan menginginkan kemajuan dalam Islam, maka perlu menyikapi perbedaan tersebut dengan dewasa dan bijaksana. Perbedaan tersebut harus kita sadari, jangan merasa paling benar dan paling sholeh karena itu dekat dengan kesombongan. Fiqh memang membahas hal yang bersifat furu’ atau cabang. Jika hanya masalah cabang saja, tidak perlu kita berkukuh hati sampai bermusuhan dengan orang lain yang berbeda dengan kita. Saling menghargai dan tidak mencela adalah cara agar tidak terjadi konflik antar umat Islam yang sesungguhnya saling bersaudara. Perbedaan seharusnya tidak untuk ditonjolkan, akan tetapi melalui persamaan kita bangun umat Islam yang solid. Dengan berpegang teguh pada prinsip Islam dan memiliki sifat toleransi yang tinggi maka fragmen-fragmen konflik dalam tubuh Islam lama-lama akan berkurang dan berhenti.

Kita selalu saja menjadi umat yang terbelakang dari persaingan dunia. Di saat orang-orang Barat berlomba-lomba untuk menciptakan peradaban dengan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Kita sebagai umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk dua justru terjebak dalam perdebatan dalam rangka “berebut surga”. Padahal surga itu bukan barang rebutan. Jadi tak perlu berebut, yang perlu kita lakukan itu hanya menambah ketakwaan dan Ibadah dengan sungguh-sungguh kepada Allah.

Perdebatan yang tiada ujung tersebut justru membuat kita lengah, sehingga kita mudah sekali diadu domba oleh pihak luar. Umat Islam dengan kuantitasnya yang mayoritas sesungguhnya memiliki keuntungan yang besar untuk menjadi hegemoni masyarakat dunia. Namun apa yang terjadi. Lihat saja konflik di Timur Tengah, atau aksi terorisme di negeri kita ini dan masih banyak lagi hal yang membuktikan bahwa umat Islam hanya dijadikan “pupuk bawang” oleh orang-orang Barat.

Oleh sebab itu, mulai sekarang, marilah kita menyudahi perdebatan-perdebatan yang tiada ujungnya yang justru berdampak pada konflik dan kekerasan.setiap individu memilliki pandangan yang berbeda-beda mengenai masalah dalam fiqh. Lakukanlah apa yang diyakini dan teruslah belajar karena dengan banyak belajar maka akan semakin mendewasakan pikiran dan semakin luas pemahaman sehingga kita tidak terjebak pada kebenaran yang sempit.

Referensi

Al-Turabi, Hasan. Fiqh Demokratis : Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis. Trans. Abdul Haris and Zaimul Am. Bandung: Arasy, 2003.

Awwamah, Muhammad. Melacak Akar Perbedaan Mazhab. Trans. Zarkasyi Chumaidy. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos, 1996.

Maimun, Achmad. Mengurai Kebekuan Khilafiyah. Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2009.

[1] Achmad Maimun, Mengurai Kebekuan Khilafiyah, (Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2009) h. 1.

[2] Ibid. h. 3. Pendapat Ali bin Abi Thalib tersebut didasarkan pada penggabungan dua dalil sekaligus yaitu istri yang ditinggal mati suaminya maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari dan iddah bagi wanita hamil yang ditalak adalah sampai melahirkan. Karena ada dua nash itulah Ali kemudian mengambil mana yang lebih lama.

[3] Ibid, h. 3.

[4] Syarat-syarat agar suatu hadis dapat digolongkan sebagai hadis yang shahih apabila: (a) sanadnya-jalur periwayatan hingga sampai kepada Nabi- bersambung, (b) keadilan–sifat/karakter-perawinya, (c) perawi yang memiliki daya ingat yang kuat-dhabit, (d) sanad dan matan hadis terhindar dari kejanggalan, (e) redaksi dan sanad hadis terhindar dari cacat dan tercela. Untuk poin “a” terdapat perbedaan pendapat, yaitu syarat bersambungnya sanad harus ada pertemuan antara perawi bawahnya dengan perawi atasnya maupun tidak. Lebih lengkap baca Muhammad Awwamah, Melacak Akar Perbedaan Mazhab, (Bandung: Pustaka Hidayah) 1997. h. 26.

[5] Misalnya kata quru’ yang bisa berarti haid yang juga bisa berarti suci

[6] Achmad Maimun, Loc.cit, h. 9

[7] Muhammad Awwamah, loc.cit. h. 71.

[8] Letak perbedaan dari metodologi/sistematika dalam taarudh wal adillah ini misalnya pada madzab Hanafiyah yang memulai dari nasakh, lalu tarjih, kemudian al-jamu’ wa al- taufiq, dan tasaqut at-dalilain. Sedangkan untuk madzab lain, Syafi’iyah misalnya, justru dimulai dari jamu’ al-taufiq, lalu tarjih, kemudian nasakh, dan tasaqut at-dalilain. Selengkapnya baca Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta:Logos) 1996. h. 175

[9] Achmad Maimun, loc.cit. h. 14.

[10] Hasan Al-Turabi, Fiqh Demokratis: dari Tradisonalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, (Bandung : Arasyi) 2003, h. 17.

Sumber : https://anfieldvillage.wordpress.com/2015/11/06/menegakkan-benang-basah-khilafiyah-mengembalikan-semangat-ukhuwah-islamiyah-yang-tergerus-ego-perbedaan-pendapat/

Related Posts

There is no other posts in this category.

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.