Perbandingan Mazhab

Perbandingan Mazhab - Kajian Medina
Perbandingan Mazhab 

Para ulama fiqih kontemporer agak bersilang pendapat ketika membahas tema : Fiqih Perbandingan Mazhab, antara yang setuju dengan yang tidak. 

Yang setuju diajarkannya perbandingan mazhab melihat kita jangan terlalu terkekang dengan mazhab masing-masing, karena di luar mazhab kita, boleh saja ada mazhab lain yang juga benar. 

Setidaknya kalau ada urusan yang mentok misalnya, bisa 'pinjam'  sebentar mazhab lain, sehingga tetap bisa menjalankan syariat dengan lurus.

Pihak yang kurang setuju dengan kajian Fiqih Perbandingan Mazhab punya hujjah berbeda. Menurut mereka, selain bikin bingung, muridnya pasti akan terjerembab pada jurang talfiq antar mazhab yang sebenarnya justru terlarang. 

Seharusnya seseorang belajar satu mazhab dulu sampai tuntas, sampai benar-benar sudah memahami secara lengkap dan total, baru lah kalau sudah kelas tinggi, cerdas, ilmunya luas, dia boleh mempelajari mazhab lain sekedar untuk perbandingan.

Kalau belum apa-apa sudah diperkenalkan banyak pendapat, khawatir dia malah akan kebingungan, dan ujungnya malah menyepelekan. Atau yang paling runyam adalah cenderung untuk mentalfiq masing-masing mazhab.

Dikhawatirkan ketika shalat justru malah tidak sah shalatnya, karena menerapkan aturan yang saling bertabrakan alias Crash. Istilah crash ini biasa digunakan pada komputer rakitan, dimana suatu sparepart tidak cocok ditancapkan di sebuah motherboard dan malah bikin sistemnya hang.

Kedua-belah pihak sama-sama punya hujjah yang amat kuat dan tak terbantahkan.  Oleh karena itulah penilaian positif dan negatif kajian Fiqih Perbandingan Mazhab tetap hangat di kalangan ulama fiqih kontemporer. 

Saya sendiri kuliah S-1 memang di jurusan Perbandingan Mazhab. Kalau diwajibkan belajar fiqih satu mazhab dulu, sebenarnya sih sudah belajar juga, setidaknya ketika di program Takmili sudah selesai kitab Kifayatul Akhyar.  Dan ketika di I'dad Lughawi, juga selesai Matan Al-Ghayah Abu Syuja'.

Jadi kalau di Fakultas Syariah terus lanjut ke Perbandingan Mazhab, ya tidak salah-salah amat sih. Setidaknya buat saya pribadi, sejak kecil sudah ikutan ngaji fiqih, baik kepada ayah saya sendiri, atau kepada guru-guru ngaji lain, ya pastilah mazhab Syafi'i. 

Bukannya sok fanatik dengan mazhab Syafi'i, tapi kita di Indonesia ini memang tidak ada guru yang bisa ngajar ilmu fiqih betulan, pakai kitab, kecuali mazhabnya pasti Syafi'i. 

Kalau pun ada yang ajarannya tidak sesuai dengan mazhab Syafi'i, sebenarnya dapatnya bukan dari kajian ilmu fiqih, tapi dari ilmu lain, seperti ilmu hadits, ilmu tafsir atau ilmu-ilmu lain, yang bukan sejak awal bicara ilmu fiqih.

Terjadi kebocoran lewat jalur ilmu lain, yang seharusnya tidak perlu sampai membahas hukum-hukum syariat, karena bukan core bisnisnya. Tapi memang dalam kenyataannya, itulah yang terjadi. 

Pengajiannya bukan pengajian fiqih, tapi mengajian hadits. Bacanya Bulughul Maram, tapi isinya menyalah-nyalahkan pendapat mazhab Syafi'i. Kayak gitu itu banyak banget memang. 

Tapi saya bisa katakan sejak awal, yang ngajar pastilah bukan guru di bidang ilmu fiqih. Kitabnya pun pasti bukan kitab fiqih. Nama mata pelajarannya pun pasti bukan fiqih. 

Karena kalau dari awal sudah pakai nama fiqih, ya pastinya ikut satu mazhab. Dan mazhabnya pastilah mazhab Syafi'i.

Namun memang kadang ada juga di negeri kita, ngakunya belajar fiqih, menamakan kitabnya juga kitab fiqih, tapi begitu dibuka, isinya kumpulan ayat dan hadits saja. Tidak ada kajian fiqihnya, kecuali penjelasan dari penyusun kitab, dimana mazhabnya hasil ngarang sendiri. 

Tidak merujuk ke kitab fiqih manapun dari salah satu kitab fiqih empat mazhab. Lucunya, judul kitabnya dikasih nama fiqih juga. 

***

Doktor Wahbah Az-Zuhaili ketika menerbitkan AL-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, memang saya rasa cukup menggebrak juga. Bukan apa-apa, karena di tengah perdebatan antara yang membolehkan fiqih perbandingan mazhab dengan yang tidak membolehkan, justru kitabnya itu sangat-sangat perbandingan mazhab sekali.

Malah sampai ada yang salah duga mengira bahwa Syeikh WAhbah Az-Zuhaili ini  bermazhab Hanafi, padahal beliau itu 100% bermazhab Syafi'i. 

Kok bisa? 

Ternyata masalah teknis saja. Setiap kali menguraikan suatu masalah, memang seusai tradisinya, akan dibahas mazhab Hanafi terlebih dahulu, baru kemudian Mazhab MAliki, Syafi'i dan terakhir Hambali. Urusan ini seusai kaidah akademik, yaitu mengurutkan berdasarkan tahun wafat mujtahidnya. 

Padahal beliau jujur dan menjaga amanah ilmiyah. Tidak mentang-mentang bermazhab Syafi'i, terus isi kitabnya hanya memenangkan mazhab Syaf'i saja. Beliau bukan kelas macam itu. 

Jadi kadang pembaca pun ikut terkecoh juga. Sebab kadang pendapat di mazhab tertentu kok terasa lebih bagus dan lebih mantab, ketimbang di mazhab sendiri. 

Mungkin ada juga yang agak khawatir kalau baca kitab perbandingan mazhab, lama-lama ke-Syafi'iy-annya lumer dan meleleh serta terhapus, jadi pindah ke mazhab lain. 

Makanya saya jadi maklum kalau sampai ada beberapa ulama kontemporer yang rada keukeuh, tidak boleh belajar perbandingan mazhab. Misalnya Syeikh Hasan Hitou, Habib Ali al-Jufri dan beberapa lainnya.

Saya sendiri memang pernah juga jadi korban paham anti mazhab ini. Pokohnya semua kembali ke Al-Quran dan Hadits. Yah dari zaman kuda masih pakai plat nomer ampe ginihari masih ada aja yang model begituan.

Tapi justru ketika belum masuk LIPIA dan belajar fiqih perbandingan mazhab, malah saya balik lagi jadi bermazhab Syafi'i tulen. Justru karena tiap hari kena doktrin dosen-dosen di LIPIA. LIPIA nya memang punya Saudi, yang nota bene dibiayai oleh Saudi Arabia. Tapi dosennya kadang malah dari Mesir (Al-Azhar) dan kalau ngajar fiqih itu mantab sekali. 

Salah satu yang saya kagumi dari tokoh ulama Azhar kalau bicara perbandingan mazhab adalah Syeikh Ali Jum'ah dalam kitabnya Al-Madkhal ila Dirasati Al-Madzahib Al-Fiqhiyah.

Perbandingan Mazhab - Kajian Medina

Perbandingan Mazhab - Kajian Medina

Ahmad Sarwat

23 November 2020· 

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.