Oleh KH. Ma’ruf Khozin, Direktur Aswaja NU Center Jawa Timur
Akhir-akhir ini, tren mewasiatkan organ tubuh setelah kematian untuk ditransplantasikan atau didonorkan untuk orang lain sedang berkembang di Barat. Hal ini didasari keinginan untuk menolong atau menyelamatkan manusia lain yang amat membutuhkan organ tersebut.
Lalu bagaimana pandangan Islam tentang wasiat donor organ tubuh?
Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan/atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Transplantasi organ umumnya mencakup organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik seperti kornea, ginjal, jantung, hati, dsb.
Bentuk transplantasi organ tubuh sendiri ada dua macam. Pertama, transplantasi organ tubuh dari seseorang yang masih hidup, dan kedua transplantasi organ tubuh dari seseorang yang sudah meninggal.
Dalam literatur klasik, ulama Syafii Imam Ar-Rafi’i (w. 505) menjelaskan persoalan yang mirip dengan persoalan transplantasi. Yakni persoalan tentang cangkok organ tubuh. Ia berkata:
ﻭﺻﻞ اﻟﻌﻈﻢ ﻭﻣﻦ اﻧﻜﺴﺮ ﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﻋﻈﺎﻣﻪ ﻓﺠﺒﺮﻩ ﺑﻌﻈﻢ ﻃﺎﻫﺮ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﻭﺇﻥ ﺟﺒﺮﻩ ﺑﻌﻈﻢ ﻧﺠﺲ ﻭﻳﻨﺒﻐﻰ ﺃﻥ ﻳﺘﺬﻛﺮ ﺃﻭﻻ اﻥ ﻫﺬا ﻳﺘﻔﺮﻉ ﻋﻠﻲ ﻇﺎﻫﺮ اﻟﻤﺬﻫﺐ ﻓﻲ ﻧﺠﺎﺳﺔ اﻟﻌﻈﺎﻡ ﻓﻴﻨﻈﺮ اﻥ اﺣﺘﺎﺝ ﺇﻟﻲ اﻟﺠﺒﺮ ﻭﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﻋﻈﻤﺎ ﻃﺎﻫﺮا ﻳﻘﻮﻡ ﻣﻘﺎﻣﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﻌﺬﻭﺭ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﻧﺰﻋﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺤﺘﺞ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﻭ ﻭﺟﺪ ﻃﺎﻫﺮا ﻳﻘﻮﻡ ﻣﻘﺎﻣﻪ ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻨﺰﻉ اﻥ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﺨﺎﻑ اﻟﻬﻼﻙ ﻭﻻ ﺗﻠﻒ ﻋﻀﻮ ﻣﻦ ﺃﻋﻀﺎﺋﻪ ﻭﻻ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ اﻟﻤﺤﺬﻭﺭاﺕ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ ﻓﻲ اﻟﺘﻴﻤﻢ
Bab menyambung tulang. Seseorang yang mengalami pecah tulang lalu dicangkok dengan tulang yang suci maka tidak ada masalah. Jika dicangkok dengan tulang yang najis, maka perlu diketahui tentang perinciannya: (1) Jika perlu dicangkok dan tidak menemukan tulang selain yang najis yang setara, maka boleh karena darurat dan tidak wajib melepas (2) Jika posisi sedang tidak perlu mencangkok dan masih ada benda suci selain tulang najis tadi, maka ia wajib melepasnya, jika tidak ada kekhawatiran rusaknya organ tubuh atau lainnya seperti kekhawatiran dalam bab tayammum (Fathul Aziz, 4/27).
Setidaknya, persoalan cangkok organ tubuh telah menjadi pembahasan fikih sejak abad keenam hijriyah. Ada dua poin penting yang menjadi catatan ulama tentang persoalan cangkok organ tubuh di atas.
Pertama, bahwa donor organ tubuh (cangkok tulang) diperbolehkan selama organ yang digunakan mencangkok suci.
Kedua, jika pencangkokan menggunakan tulang najis (tulang hewan yang najis atau yang disembelih tidak secara islami) , maka ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, jika tidak ada tulang lain selain tulang najis dan dalam keadaan darurat, maka hal tersebut diperbolehkan. Kedua, jika pencangkokan tidak darurat dan masih ditemukan benda lain selain benda najis, jika sudah terlanjur mencangkok dengan tulang najis, maka wajib dilepaskan.
Memberikan kemudahan dan pertolongan kepada orang lain untuk kebaikan adalah ajaran Islam. Bahkan, memelihara kehidupan adalah tugas manusia kepada manusia lainnya. Allah berfirman:
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (QS. Al-Ma'idah [5]: 32).
Sementara itu, ulama fikih Syeikh Wahbah Az-Zuhaili berkata:
ﻭﺃﺟﺎﺯ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻟﻠﻤﻀﻄﺮ ﺃﻛﻞ ﺁﺩﻣﻲ ﻣﻴﺖ ﺇﺫا ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﻣﻴﺘﺔ ﻏﻴﺮﻩ؛ ﻷﻥ ﺣﺮﻣﺔ اﻟﺤﻲ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﺣﺮﻣﺔ اﻟﻤﻴﺖ
Ulama Syafiiyah membolehkan bagi orang yang dalam keadaan darurat untuk memakan bangkai manusia jika tidak menemukan yang lain, sebab kemuliaan orang yang hidup lebih besar daripada kemuliaan orang yang mati (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 4/2607).
Hukum transplantasi
Para ulama juga menetapkan ijma’ (konsensus) tentang transplantasi dalam Muktamar Islam pada 18 Jumadil Akhir 1408/ 6 Februari 1988. Ijma’ tersebut menetapkan beberapa poin penting antara lain:
1. Jika transplantasi dilakukan dalam bentuk organ luar seperti kulit dan darah, maka diperbolehkan.
2. Transplantasi bisa haram jika yang diambil dari pendonor dapat menghilangkan nyawanya atau menyebabkan hilangnya keselamatan hidup. Misalnya, mengambil organ hati atau jantung pendonor yang tentunya akan berakibat kematian bagi pendonor. Pendapat ini juga sama dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Wasiat donor organ tubuh
Selain dua keputusan di atas. Ijma’ ulama di atas juga menetapkan keputusan tentang hukum mewasiatkan organ tubuh ketika seseorang wafat. Syeikh Wahbah Zuhaili menjelaskan:
ﺳﺎﺩﺳﺎ: ﻳﺠﻮﺯ ﻧﻘﻞ ﻋﻀﻮ ﻣﻦ ﻣﻴﺖ ﺇﻟﻰ ﺣﻲ ﺗﺘﻮﻗﻒ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ اﻝﻋﻀﻮ، ﺃﻭ ﺗﺘﻮﻗﻒ ﺳﻼﻣﺔ ﻭﻇﻴﻔﺔ ﺃﺳﺎﺳﻴﺔ ﻓﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ. ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﻳﺄﺫﻥ اﻟﻤﻴﺖ ﺃﻭ ﻭﺭﺛﺘﻪ ﺑﻌﺪ ﻣﻮﺗﻪ، ﺃﻭ ﺑﺸﺮﻁ ﻣﻮاﻓﻘﺔ ﻭﻟﻲ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ اﻟﻤﺘﻮﻓﻰ ﻣﺠﻬﻮﻝ اﻟﻬﻮﻳﺔ ﺃﻭ ﻻ ﻭﺭﺛﺔ ﻟﻪ.
Boleh memindah orang tubuh orang yang sudah wafat kepada orang yang masih hidup, jika memang menjadi satu-satunya jalan hidup baginya, atau pekerjaan pokok tertentu yang mengharuskan ditransplantasi. Dengan syarat (1) mendapat izin dari mayit sebelum meninggal, dan (2) izin dari ahli waris. Atau dengan syarat mendapat izin dari pemerintah umat Islam bagi jenazah yang tidak dikenal atau tidak memiliki keluarga (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 7/4124).
Berdasarkan penjelasan di atas, wasiat donor organ tubuh diperbolehkan dalam Islam selama diberikan izin oleh si mayit sebelum meninggal (atau kehendak si mayit), diizinkan ahli waris, atau diizinkan oleh pemerintah Islam setempat bagi jenazah yang tidak dikenali.
Bahkan, ulama Mesir Syeikh Al-Akbar Jad Al-Haq dan Syeikh Athiyyah Shaqr memiliki pendapat yang serupa seperti di atas sebelum keputusan ijma’ ulama di atas dikeluarkan.
Silang pendapat ulama
Sekalipun sebagian ulama kontemporer menghukumi boleh wasiat donor organ tubuh, ada juga ulama yang tidak menyetujuinya. Mereka beralasan bahwa menyakiti tubuh mayit sama seperti menyakitinya saat dia hidup. Mereka mengutip hadis berikut sebagai dalil:
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
Mematahkan tulang mayat sama seperti mematahkan saat dia hidup (HR. Abu Dawud No. 3207).
Namun demikian, sebagian ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud oleh hadis di atas adalah perintah untuk menghormati mayat dan larangan melakukan sesuatu terhadap mayat tanpa alasan yang jelas atau tujuan yang buruk.
Misalnya, melakukan penistaan atau bahkan mutilasi terhadap mayat yang gugur dalam peperangan. Kita tahu bahwa dalam sejarah Islam, paman Nabi Muhammad ﷺ Hamzah bin Abdul Muthalib gugur dalam perang Uhud, kemudian dimutilasi oleh Hindun binti Utbah. Hal ini tentunya bukanlah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam.
Pada esensinya, hadis di atas menggarisbawahi pentingnya menghormati mayat selayaknya dia masih hidup. Nah, melakukan suatu tindakan pada tubuh mayat dengan tujuan baik misalnya otopsi jenazah untuk mencari pelaku yang membunuhnya atau melakukan operasi mengeluarkan bayi (masih hidup) yang ada di kandungan ibu yang meninggal pada saat persalinan dihukumi boleh.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa hukum transplantasi dan wasiat donor organ tubuh dihukumi boleh (setidaknya) dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Transplantasi dilakukan dari organ tubuh orang yang sudah wafat ke orang yang masih hidup. Transplantasi dari orang yang masih hidup ke orang yang masih hidup lain berlaku persyaratan-persyaratan lain.
2. Sudah mendapat izin atau wasiat dari orang yang sudah wafat dan persetujuan ahli warisnya.
3. Kondisi darurat bahwa memang organ tubuh itu dibutuhkan untuk kelangsungan hidup penerima donor.
4. Prosedur donor organ dan transplantasi dilakukan oleh petugas medis yang kompeten dan terpercaya.
Wallahu A’lam bish Ash-Shawabi.
###
Sumber : https://kesan.id/feed/feed-wasiat-donor-organ-tubuh-4332
#Ma'ruf Khozin