Makna Allah “Di Langit”

Makna Allah “Di Langit” - Kajian Medina
MAKNA ALLAH "DI LANGIT"

Oleh: Abdul Wahab Ahmad

Tak sedikit orang yang menyanggah tulisan-tulisan saya tentang akidah Ahlussunnah bahwa Allah tak bertempat di ruang tertentu sebab semua ruang adalah hal baru yang diciptakan belakangan sedangkan keberadaan Allah sendiri tak tergantung pada keberadaan ruang. Sebenarnya wajar saja kalau ada yang tak sependapat dengan ini, apalagi hal seperti ini tergolong sangat rumit bagi mereka yang menganggap Allah bersifat material (jisim) sebab semua materi pastilah menempati ruang tertentu. Dengan kata lain, semua yang tak menempati ruang (tempat tertentu) pasti mereka anggap tak ada. Ini argumen khas para penganut filsafat materialisme, hanya saja mereka ini versi Materialis muslim yang bersyahadat bukan versi ateis sebagaimana lumrahnya para Materialis seperti  Baron von Holbach, Feuerbach dan semisalnya.

Saya paham betapa sulitnya penganut Materialieme menerima kenyataan ini. Akan tetapi, yang agak menggelikan adalah ketika mereka berulangkali menyodorkan sanggahan yang terlampau sederhana, yaitu dengan menukil ayat al-Qur'an, hadis atau pernyataan ulama yang berbunyi في السماء (di langit). Dengan dalil yang sungguh sederhana ini mereka mau mengesankan bahwa Allah memang bertempat di langit dan berada di arah atas sana. Padahal, kata في السماء tak hanya bermakna "bertempat di langit" tetapi bermacam-macam. Imam al-Qurthuby dalam tarsirnya terhadap QS. al-Mulk: 17 menjelaskan:

تفسير القرطبي (18/ 216)

أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ. 

قُلْتُ: وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ الْمَعْنَى: أَأَمِنْتُمْ خَالِقَ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ كَمَا خَسَفَهَا بِقَارُونَ...... وَقَالَ الْمُحَقِّقُونَ: أَمِنْتُمْ مَنْ فَوْقَ السَّمَاءِ، كَقَوْلِهِ: فَسِيحُوا فِي الْأَرْضِ «1» [التوبة: 2] أَيْ فَوْقَهَا لَا بِالْمُمَاسَّةِ وَالتَّحَيُّزِ لَكِنْ بِالْقَهْرِ وَالتَّدْبِيرِ. وَقِيلَ: مَعْنَاهُ أَمِنْتُمْ مَنْ عَلَى السَّمَاءِ، كقوله تعالى: وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ «2» [طه: 71] أَيْ عَلَيْهَا. وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ مُدِيرُهَا وَمَالِكُهَا، كَمَا يُقَالُ: فُلَانٌ عَلَى الْعِرَاقِ وَالْحِجَازِ، أَيْ وَالِيهَا وَأَمِيرُهَا. وَالْأَخْبَارُ فِي هَذَا الْبَابِ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ مُنْتَشِرَةٌ، مُشِيرَةٌ إِلَى الْعُلُوِّ، لَا يَدْفَعُهَا إِلَّا مُلْحِدٌ أَوْ جَاهِلٌ مُعَانِدٌ. وَالْمُرَادُ بِهَا تَوْقِيرُهُ وَتَنْزِيهُهُ عَنِ السُّفْلِ وَالتَّحْتِ. وَوَصْفُهُ بِالْعُلُوِّ وَالْعَظَمَةِ لَا بِالْأَمَاكِنِ وَالْجِهَاتِ وَالْحُدُودِ لِأَنَّهَا صِفَاتُ الْأَجْسَامِ. وَإِنَّمَا تُرْفَعُ الْأَيْدِي بِالدُّعَاءِ إِلَى السَّمَاءِ لِأَنَّ السَّمَاءَ مَهْبِطُ الْوَحْيِ، وَمَنْزِلُ الْقَطْرِ، وَمَحَلُّ الْقُدُسِ، وَمَعْدِنُ الْمُطَهَّرِينَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، وَإِلَيْهَا تُرْفَعُ أَعْمَالُ الْعِبَادِ، وَفَوْقَهَا عَرْشُهُ وَجَنَّتُهُ، كَمَا جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ قِبْلَةً لِلدُّعَاءِ وَالصَّلَاةِ، وَلِأَنَّهُ خَلَقَ الْأَمْكِنَةَ وَهُوَ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَيْهَا، وَكَانَ فِي أَزَلِهِ قَبْلَ خَلْقِ الْمَكَانِ وَالزَّمَانِ. وَلَا مَكَانَ لَهُ وَلَا زَمَانَ. وَهُوَ الْآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ.

"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?," 

Menurut Saya (al-Qurthubi): Kemungkinan arti ayat itu adalah "Apakah kalian merasa aman dari SANG PENCIPTA PENDUDUK LANGIT yang dapat menjungkirbalikkan bumi sebagaimana Ia menjungkirbalikkan nya pada Qorun hingga bumi itu bergoncang?". ... Para ulama ahli tahqiq mengatakan bahwa maknanya "Apakah kalian merasa aman dari YANG DI ATAS langit" seperti dalam firman Allah "maka berjalanlah kalian di bumi" maksudnya adalah di atas bumi.  TETAPI TIDAK DENGAN CARA MENYENTUH DAN MEMBATASI DALAM ARAH TERTENTU, melainkan dengan kekuasaan dan perawatan. Ada ulama yang berkata: Maksudnya adalah "Apakah engkau merasa aman dari yang di atas langit"  seperti dalam firman Allah "Kami benar-benar akan menyalibmu di pelepah kurma"  maksudnya adalah di atasnya.  Makna ayat itu adalah ALLAH YANG MENGURUS DAN MEMILIKI LANGIT  seperti ungkapan "Fulan di atas Irak dan hijaz"  maksudnya adalah MENGUASAI DAN MEMIMPINNYA. 

Hadis-hadis dalam bab ini banyak sekali yang shahih dan tersebar luas yang MENGISYARATKAN KETINGGIAN. Tidak ada yang menolak sifat ketinggian ini kecuali atheis atau orang bodoh yang menentang kebenaran. Yang dimaksudkan dengan hadis-hadis itu adalah menyucikan Allah dari sifat rendah dan bawah. Adapun penyifatan Allah dengan ketinggian dan keagungan BUKANLAH DALAM MAKNA TEMPAT, ARAH DAN BATASAN sebab hal itu adalah sifat bagi Jisim (susunan materi). Sesungguhnya tangan diangkat ke arah langit waktu berdoa tidak lain karena langit adalah tempat turunnya wahyu dan hujan, tempat kesucian, tempatnya para malaikat yang suci dan ke langit itulah amal manusia diangkat. Di atasnya ada Arasy Tuhan dan surganya. [Mengangkat tangan ke langit itu] sama seperti Allah menjadikan Ka'bah sebagai kiblat bagi doa dan salat. Juga sebab Allah adalah pencipta dari semua tempat sedangkan Dia sendiri tidak butuh pada tempat.  Allah telah ada pada masa yang tidak ada awal mulanya sebelum Ia menciptakan tempat dan waktu. Saat itu tiada tempat dan tiada waktu sedangkan Allah saat ini tetap seperti apa adanya saat itu."

(Penjelasan Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya).

Penjelasan serupa dengan itu banyak sekali ditemukan dalam kalam para ulama salaf. Andai mau mengikuti gaya bahasan kawan-kawan Salafi-Wahabi yang biasanya menukil banyak kutipan dan lalu menerjemah apa ada adanya (atau sesuka hatinya), tentu tulisan ini akan panjang sekali. Tetapi intinya sama saja bahwa kata "di langit" tak selalu dipahami orang Arab sebagai "bertempat di langit" tetapi bisa juga sebagai "Berkuasa atas langit". Sama persis dengan ungkapan dalam bahasa Indonesia "Cita-citaku setinggi langit" jangan diartikan bahwa cita-citanya bertempat di langit melainkan hanya ungkapan ketinggian. Menambahkan kata "tujuh" dalam ungkapan itu hingga menjadi "Cita-citaku setinggi langit ke tujuh" tak mengubah artinya menjadi langit sungguhan, melainkan hanya menambah penekanan ketinggian.

Demikian juga yang dimaksud dengan sifat Uluw (ketinggian), tidaklah hanya berarti bertempat di lokasi yang tinggi, tetapi bisa juga bermakna ketinggian martabat. Sama dengan ungkapan dalam bahasa Indonesia "Seorang raja jauh lebih tinggi dari rakyatnya" bukan berarti raja itu rumahnya di atas gunung/gedung pencakar langit. Lumrahnya, anak SD pun paham makna ungkapan seperti ini.

Jadi, sebenarnya tak ada yang menolak ketika dikatakan bahwa Tuhan "di langit" atau Tuhan "Maha Tinggi", semua mengakui dan mengimaninya. Tinggal makna "di langit" atau "Maha Tinggi" itu yang perlu dijelaskan. Apabila maknanya adalah tempat dan arah, berarti akidahnya bermasalah sebab tak pernah sekalipun Allah dan Rasulullah dalam hadis sahih mengatakan "Tempat/lokasi Allah ada di langit", tak pernah sekalipun! Apabila makna pernyataan itu adalah Allah Maha Tinggi kekudukannya, berarti mentakwil sesuai konteks. Namun, apabila mengatakan bahwa yang penting adalah "di langit" atau "Tinggi" tetapi tak mau menjelaskan maknanya, maka berarti tafwidh. 

Biasanya, untuk mengungkapkan tafwidh ini para ulama memakai redaksi yang memalingkan dari makna dhahirnya semisal "di langit dengan makna yang layak bagi-Nya", "di langit tanpa kaifiyah/tatacara", "Di Arasy tanpa ada sentuhan" dan ungkapan lain yang punya embel-embel. Ini semua adalah istilah tafwidh sehingga tak bisa dibuat bantahan terhadap akidah Asy'ariyah yang juga mendukung tafwidh.

Sesudah saya menjelaskan dengan gamblang demikian, biasanya mereka yang gagal paham ini masih saja menyodorkan nukilan lagi yang isinya "Allah di langit" dari tokoh A, B, C, D, E, F, G, hingga Z yang semuanya disimpulkan bahwa "Allah di langit" dan inilah akidah yang benar menurut ulama salaf. Duuh..... Ya Allah..... bagaimana cara membuat mereka ini nyambung dengan omongan orang? Yang dari awal menyangkal itu siapa coba?

Harusnya kalau mereka sedikit saja nyambung, cukup sedikit saja, lalu maunya berusaha meyakinkan bahwa saya salah, maka seharusnya dilakukan dengan cara menukil Ayat atau hadis yang berbunyi مكان الله atau tempat Allah! baru selesai masalah. Hanya di mulut saja mereka bilang "menyifati Allah sesuai apa yang disifati Alllah dan Rasulnya" padahal kenyataannya mereka menambah pemahaman baru dengan konsep tempat ala filsafat materialisme.

semoga bermanfaat.

Abdul Wahab Ahmad

30 Januari 2018  · 

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.