Allah berfirman:
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak dan Yakub yang mempunyai tangan-tangan dan penglihatan-penglihatan. [Surat Shad 45]
Kata "aydiy" dalam ayat itu secara literal berarti tangan-tangan. Sedangkan kata "abshar" secara literal berarti "penglihatan-penglihatan".
Namun ketika diterjemah secara literal seperti di atas, maka ada kejanggalan makna. Ah, apa istimewanya menyebut para nabi itu punya tangan dan penglihatan? Semua orang juga punya bukan?
Kejanggalan ini tak bisa dijawab dengan jawaban: "Tangan dan penglihatan ketiga Nabi itu beda dengan tangan orang lain. Kaifiyahnya beda, sidik jarinya beda dan bentuk kornea matanya juga beda". Meski benar bahwa kaifiyahnya berbeda, tapi apa spesialnya menyebut itu? Tetap ada kejanggalan sebab bagaimana pun kaifiyah tangan dan penglihatan, ya tetap saja itu tangan dan penglihatan.
Agar kejanggalan ini hilang, para ulama ahli tafsir, dari kalangan sahabat dan setelahnya mentakwil kata "tangan" dan "penglihatan" itu. Tangan dimaknai dengan kekuatan sedangkan "penglihatan" dimaknai dengan keluasan ilmu atau wawasan. Dengan arti demikian, maka ayat itu menjelaskan bahwa ketiga Nabi itu mempunyai kelebihan dalam hal kekuatan dan ilmu dibanding orang lain. Dengan ini kejanggalan di atas terjawab.
Kalau anda paham ini, maka pasti anda tahu bagaimana memaknai kata "mata Tuhan" dan "tangan Tuhan" yang ada dalam beberapa ayat al-Qur’an. Bila kita anggap artinya sebagai "mata" dan "tangan" dalam arti literalnya, maka apa spesialnya? Kejanggalan ini takkan terjawab hanya dengan berkata "itu kaifiyahnya berbeda". Apa pun kaifiyahnya, mau besar atau kecil, kuat atau lemah, tetaplah tangan ya tangan, mata ya mata.
Apalagi ini yang dibahas adalah Tuhan yang sudah jelas Maha Berbeda dari apa pun, laisa kamitslihi syai'un, makin tak jelas maknanya kalau diartikan secara literal. Kalau untuk makhluk saja (para nabi) redaksi semacam ini tak bisa diartikan secara literal, bagaimana mungkin untuk Tuhan lantas wajib diartikan secara literal apa adanya? Ini tak mungkin.
Karena itulah, ulama Ahlussunnah wal Jama'ah kemudian memilih satu dari dua opsi berikut agar kejanggalan itu hilang:
Opsi pertama, sudahlah cukup dibaca saja apa adanya tak perlu dibahas maknanya sebab dimaknai secara literal tak mungkin. Tetapi kalau ditentukan makna lain, juga takut salah sebab yang tahu pasti maknanya hanya Allah. Opsi ini disebut tafwidh.
Opsi kedua, langsung ditakwil saja sesuai konteksnya. Tangan bisa diartikan kekuatan, kekuasaan, janji, dan lain sebagainya sesuai konteksnya. Demikian juga mata bisa diartikan sebagai pengawasan sempurna. Makna-makna ini toh punya dasar secara linguistik. Opsi ini disebut takwil.
Pilih opsi pertama atau kedua, terserah anda. Tapi kalau pilih opsi dimaknai secara literal apa adanya, maka anda akan jadi orang aneh sebab ayat al-Qur’an akan penuh kejanggalan. Semoga bermanfaat.
Abdul Wahab Ahmad
26 Oktober pukul 20.20 ·
#Abdul Wahab Ahmad