Tahmid, Kalimat Thayyibah dan Wirid Yang Di-Bid'ah-kan

Tahmid, Kalimat Thayyibah dan Wirid Yang Di-Bid'ah-kan - Kajian Medina
Seri Tafsir Quran ala Koran (11) : Al-Fatihah (2)

TAHMID, KALIMAT THAYYIBAH, DAN WIRID YANG DI-BID'AH-KAN

Suatu hari, unta Rasulullah Saw dicuri. Mengetahui itu, di tengah-tengah para sahabat, beliau menggumam, "Aku akan bersyukur kepada Allah, apabila unta itu ditakdirkan oleh-Nya kembali kepadaku."

Benar saja, beberapa hari kemudian, unta tersebut kembali. Rasul pun lalu tampak bergembira dan melafalkan "Alhamdulillah".

Begitu saja?

Ya. Dan itulah sebabnya para sahabat jadi bertanya-tanya, "Bukankah Rasul telah berjanji untuk bersyukur apabila untanya kembali?" Mereka menunggu kapan Rasul akan menunjukkan rasa syukurnya tersebut; Apakah beliau akan melakukan shalat secara khusus? Ataukah beliau akan menambah puasa?

Yang ditunggu pun tak kunjung terlihat. "Ah, barangkali beliau lupa," pikir sahabat. Sampai salah seorang dari mereka akhirnya memberanikan diri bertanya, "Wahai Utusan Allah, bukankah Anda telah berjanji untuk bersyukur apabila unta Anda kembali?" Nabi mengiyakan, dan sahabat itu melanjutkan, "Lalu apa bentuk syukur yang telah Anda lakukan? Kami kok sama sekali tak melihatnya." Rasul tersenyum dan menjawab, "Bukankah aku sudah membaca 'alhamdulillah'?"

Sahabat Nabi tak keliru ketika mereka memutlakkan definisi syukur sebagai tindakan. Pemaknaan seperti ini pernah dicontohkan dalam al-Quran surat Saba' ayat 13, i'maluu aala dawuda syukra, "Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur". Di sini, syukur dipraktikkan dengan bekerja. Dan definisi ini seperti hendak menunjukkan bahwa implementasi syukur tidak bisa tidak harus berupa perbuatan badani.

Sementara itu sebaliknya, seperti disebutkan Imam al-Suyuthi dalam Nawaridul Abkar wa Sawaridul Afkar, ahli lughah (para linguis arab) meng-generilasasi arti syukur sebagai hanya perwujudan lisan. Contohnya adalah apa yang telah dilakukan Nabi seperti disebut dalam hadits riwayat Imam al-Thabrani di atas. Imbasnya, orang sudah dapat disebut bersyukur hanya dengan melontarkan ungkapan yang merujuk pada perasaan tersebut.

Syukur adalah, secara sederhana, berterimakasih. Ini seperti dalam man lam yasykurin naas lam yasykurillah, "orang yang tidak berterima kasih pada sesamanya, maka ia belum berterima kasih (bersyukur) kepada Allah". Ekspresi lisan dari rasa terimakasih (syukur) tersebut adalah dengan pelafalan hamdalah.

Sementara hamdu berarti pujian dan memiliki antonim berupa dzammu (caci maki), maka syukur berkebalikan makna dari kufur. Ini berarti orang-orang yang kafir itu pada dasarnya merupakan orang-orang yang tidak bersyukur. Mereka tahu bahwa mereka adalah makhluq (ciptaan yang berawal dan berakhir), yang diciptakan oleh khaliq (pencipta yang tidak berawal dan tidak berakhir), tetapi mereka enggan berterima kasih kepada-Nya; tak mau menyembah-Nya.

Imam Al-Razi, pada bagian hal-hal rasional yang dapat dipetik dari surat al-fatihah (al-asrar al-'aqliyah al-mustanbithah min hadzihis surah) dalam Mafatih al-Ghaib, menunjukkan bahwa setiap orang bisa saja bersepakat bahwa pencipta itu ada, tapi hal itu tak serta merta dapat membuat mereka lantas mau bersyukur. Sebab syukur selalu dimulai dengan nikmat, dan orang tetap tak akan mampu bersyukur apabila ia tak tahu siapa yang memberi nikmat. Memang, kata Al-Razi, ada orang-orang tertentu yang menyangka bahwa kita dapat melanjutkan hidup ini, berjalan dari satu ke lain nikmat, semata-mata karena diri kita sendiri, dan bukan karena "campur tangan Allah".

Dari sinilah para pakar teologi, Ahli Ushul, mendefinisikan syukur sebagai cara berterima kasih yang mesti melibatkan lisan, hati, dan anggota badan. Dalam hal ditujukan kepada Tuhan, syukur berarti ibadah, yang di dalamnya terdapat elemen pelafalan lisan, pemusatan perhatian hati, dan pergerakan anggota badan.

Tetapi apakah itu berarti bersyukur dengan hanya melalui ucapan, dengan hanya menampakkan pelafalan hamdalah umpamanya, tidak dapat dikategorikan sebagai bersyukur?

Yang jelas, seperti kata Imam al-Suyuthi, tiap syukur tidak boleh tidak mengandung pujian (hamdu). Atau sebetulnya, pertanyaan ini sudah dijawab oleh hadits Imam Al-Thabrani yang dikutip di permulaan. Tetapi, ada baiknya kita bermain penalaran sederhana, bahwa pertanyaan tersebut dapat dibalas dengan pertanyaan lagi; apakah Anda sudah dapat disebut sebagai orang yang berterima kasih tanpa mengucapkan terima kasih sama sekali?

Anda sedang sangat butuh duit. Anda tak tahu harus kemana mencarinya. Tiba-tiba tetangga Anda datang mengulurkan bantuan. Tapi, alih-alih memicingkan senyum dan lantas berucap terima kasih, Anda malah memasang muka masam dan memaki-maki. Lalu Anda kian marah ketika banyak orang menyebut Anda tidak tahu terima kasih!

Sejumlah kata memang sangat penting untuk dieksplisitkan. Maka Anda, yang lelaki, jangan pernah menganggap sepele perkara ini. Penyataan verbal bahwa Anda betul-betul mencintai si dia adalah pernyataan yang amat ditunggu, sebab tanpanya Anda akan dianggap membuatnya merasa digantung. Kalau itu berlangsung terlalu lama, bisa-bisa si dia akhirnya berlari melupakan Anda, betapapun perasaan Anda tulus dan Anda sudah menampakkan itu melalui tindak-tanduk yang implisit. Ungkapkanlah cinta Anda, atau kalau perlu, segera pinang!

Itulah barangkali sebab kenapa Nabi Saw bersabda, "Alhamdulillah ra'sus syukri, Alhamdulillah adalah inti dari syukur. Ma Syakarallaaha man lam yahmadhu, tidaklah disebut bersyukur kepada Allah, orang yang tidak memuji-Nya."

Hamdalah merupakan bagian yang sangat penting dari pernyataan syukur. Dan hamdalah atau tahmid lalu menjadi bagian dari kalimat-kalimat thayyibah yang dianjurkan untuk dijadikan sebagai bacaan harian, disamping tasbih, istighfar, tahlil, dan sebagainya.

Imam An-Nawawi, dalam Arba'in-nya, mengutip sebuah hadits, yang artinya:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bersuci itu sebagian dari iman, ucapan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) itu memenuhi timbangan. Ucapan subhanallah (Mahasuci Allah) dan alhamdulillah (segala puji bagi Allah), keduanya memenuhi antara langit dan bumi...’

Bagaimana mungkin sejumput ucapan dapat memenuhi mizan (timbangan), dan ukurannya setara dengan jarak antara langit dan bumi?

Di tempat lain disebut sebuah hadits yang menegaskan bahwa kalau saja ada orang yang berhasil mendapatkan seluruh dunia beserta isinya, dan lalu karena itu ia mengucap alhamdulillah, maka sesungguhnya alhamdulilah itu lebih baik baginya.

Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam 'Uddatus Shabirin menjelaskan kenapa dunia seisinya tidak lebih baik daripada sejumput ucapan tahmid? Sebab dunia seisinya akan habis, sementara pahala bacaan hamdalah akan tetap berlaku sampai akhirat.

Tidak setiap orang yang beroleh nikmat juga diberi kemampuan untuk bersyukur, bahkan untuk sekedar menyenandungkan tahmid. Tapi yang amat musykil hari-hari ini adalah tren sebagian kalangan yang bukannya bahagia saat melihat banyak orang menggemakan tahmid, tasbih, tahlil, dan lain-lain, tetapi malah mem-bid'ah-kannya. Dengan bacaan tahmid, Nabi telah dianggap bersyukur, tetapi di tangan orang-orang ini, ucapan yang sama malah dianggap sebagai biang kekufuran. Na'udzu billahi min dzalik.

Maka berwirid pun (dengan kalimat thayyibah atau bacaan-bacaan mulia lainnya), kalau bukan dianggap sebagai ekspresi kekafiran, maka dinilai sebagai sia-sia. "Buat apa banyak dzikir, kalau kemudian jadi kian terbelakang?" kata mereka, atau yang agak lebih modern, "Untuk apa berbuih ibadah ritual, kalau mengalpakan ibadah sosial?"

Ini belum lagi bacaan-bacaan wirid yang ultra bid'ah bagi mereka, seperti bacaan-bacaan shalawat yang memang 'diampu' secara khusus oleh para ulama dan auliya, macam shalawat nariyah, shalawat munjiyat, dan segala bentuk ratib populer di kalangan ahli tasawuf. Padahal mereka bukannya tidak tahu bahwa suatu saat Nabi mendengar seseorang berdoa menggunakan potongan ayat dari surat Al-Ikhlas. Doa seperti ini tidak pernah sama sekali beliau ajarkan. Tapi apa komentar Nabi, "Dia telah berdoa dengan isim a'zham, dan Allah mendengar doa hamba-Nya". Dus, Nabi ridha, dan dalam ushul fiqh yang seperti ini dikenal sebagai sunnah taqririyah.

Akhirnya, Anda sudah tahu, kenapa mulut Anda masih tetap harus dibasahi dengan bacaan-bacaan mulia. Kalau kemudian Anda merasa bahwa yang seperti itu sudah tidak penting lagi, dengan alasan se-shahih apapun menurut Anda, itu juga tidak masalah. Cuma biarkan orang-orang yang gandrung wirid itu tetap seperti itu. Sebab mereka ini percaya bahwa dalam setiap wirid pasti terkandung warid (semacam karunia yang langsung diberikan oleh Allah). Atau bahwa, seperti ucapan Sayyid Abdurrahman Assegaf, "Man lam yakun lahu wirdun fahuwa qirdun, orang yang tidak memiliki wirid maka ia tak ubahnya kera."

Wallahu a'lam bis shawab.

Rumah Cahaya,
Lukman Hakim Husnan

Lukman Hakim Husnan bersama Bem Stiq Al-Lathifiyyah dan 3 lainnya.
11 Agustus ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.