Teori Limit atau Nazhariyat al-Hudud Syahrur adalah realisasi dari fokusnya terhadap nash-nash al-Qur’an. Dia tidak mempercayai al-Sunnah al-Nabawiyyah sebagai sumber hukum dan sebagai wahyu kedua.
Menurutnya, Sunnah Nabawiyah, baik mutawatir maupun ahad, hanya pemahaman awal terhadap ayat-ayat ahkam dalam al-Qur’an. Pemahaman Nabi tersebut menurutnya bersifat relatif dan terbatas sesuai dengan kondisi saat itu.
Syahrur telah melanggar ijma’!
Bukankah ulama sepakat bahwa seks di luar nikah (non marital) adalah zina?!
Tak aneh, karena ijma’ pun dia dekonstruksi. Bahkan dia meragukan keadilan sahabat (‘adalat al-shahabah) dan konsensus (ijma’) mereka. Ia katakan, “Kitabullah sudah cukup, tidak perlu hal lain untuk memahaminya. Kuncinya ada di dalam, bukan di luar. Maka kita tidak perlu Abu Hurairah, tidak perlu Ibnu ‘Abbas.”
Harda Armayant dalam Mengenal Syahrur dan Teori Batasnya menyebut ini sebagai kekacauan. Kumpul kebo yang dilegalkannya, menjelaskan bagaimana ketimpangan berpikir Syahrur yang lemah menggunakan akal sehatnya. Ia pasrah begitu saja pada kenyataan dan realitas pergaulan bebas dan perselingkuhan, khususnya yang terjadi di Barat.
Hal ini menjadi pemikiran Syahrur yang sangat aneh dicerna. Karena di satu sisi dia begitu kelihatan ilmiah dan bergairah ketika membahas ayat poligami, di sisi lain dia menegasikan sakralitas pernikahan dengan melegalkan perzinahan lewat kumpul kebo.
Berulang kali juga dia melanggar teori batasnya, di mana pada bentuk kelima dikatakan batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh. Jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan.
Bentuk ini berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah. Tetapi dengan statemen kumpul kebo dibolehkan sebagai ganti pernikahan, dia sendiri telah melanggar konsepnya tentang pergaulan bebas yang berujung perzinaan.
Milkul Yamin adalah konsep tentang perbudakan. Sementara saat ini sudah tak ada perbudakan. Setiap ajaran dan ujaran fikih memiliki konteks: ruang dan waktu.
Maka "menghalalkan" seks di luar nikah dengan dalih ada hubungan yang dilegalkan Islam di luar nikah atas nama “milkul yamin” adalah kesalahan dalam penempatan konsep dalam konteks di satu sisi, dan pada teori-teori istinbath al ahkam - metode penyimpulan hukum dari dalil - di sisi yang lain.
Wallahu a’lam.
Faris Khoirul Anam
3 September pukul 09.27 ·
#Faris Khoirul Anam